Share

Kemarahan Rindu (2)

BAB 4

Kemarahan Rindu (2)

"Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku?

Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?"

Kutumpahkan segala sesak yang kutahan bertahun-tahun. Lelaki yang segala kemarahanku bermuara padanya. Giandra, lelaki yang lebih percaya pada orang tua dan juga temanku sendiri, Aluna. Dia gadis yang diam-diam menyukai kekasihku dan tega menghianati diriku dengan mendukung fitnah keji yang dilayangkan orang tua Giandra padaku.

"Kau masih ingat bukan, bagaimana kalimat orangtuamu padaku saat itu?" Aku mencoba mengingatkan kembali peristiwa itu.

"Kau percaya pada perkataan orangtuamu bahwa banyak lelaki yang juga menjamahku. Aluna, kau pun lebih percaya padanya. Dia mengungkap cerita busuk mengenai kebinalanku hasil karangannya padamu. Dan kau percaya, Giandra.

Kau lebih percaya padanya hanya karena menganggap satu kali kita melakukannya tak akan membuatku hamil! Kau mahasiswa kedokteran Giandra. Kau tahu itu bisa saja terjadi! Kau memang terkutuk, sama seperti kedua orangtuamu dan gadis penghianat itu!"

Giandra menyugar rambutnya kasar. Lelaki itu tak mampu menyangkal tuduhan yang kualamatkan padanya. Rasa perih yang kutahan bertahun-tahun menyeruak tanpa henti.

Bayangan aku diusir dari rumah yang menjadi saksi kehidupanku selama dua puluh tahun hidup. Terpisah dari ayah yang terpaksa mengusirku meski aku tahu semua ini pun tak lepas dari pengaruh istrinya. Aku tahu mata tua itu terluka melihat anak perempuan satu-satunya menyeret rangsel kusam karena tubuhnya sudah tak mampu memikul beban lagi.

Aku yang hanya menyimpan sisa uang sakuku itu mendatangi rumah Giandra dengan harapan dia dan orang tuanya luluh. Hingga penghinaan demi penghinaan yang kudapatkan disana. Giandra hanya mematung melihatku dari jarak kejauhan. Dia tak mendekatiku sama sekali.

Dia biarkan kedua orangtuanya memaki bahkan melontariku dengan kata-kata yang amat menyakitkan. Mereka mengataiku bahwa aku sengaja menjebak anak mereka hanya karena menolak uang puluhan juta untuk mengaborsi janin yang berada di perutku.

Giandra tak punya nyali. Lelaki itu berubah menjadi monster yang tak kukenal. Dia biarkan harga diri ini tercabik-cabik untuk kesekian kali. Tak ada lagi Giandra yang mengejarku dan menjanjikan tak akan ada masalah untuk kami ke depannya. Tak akan ada aral melintang bagi hubungan kami yang berasal dari kasta berbeda.

Bahkan lelaki itu memilih masuk ke dalam rumahnya tanpa berniat menemuiku yang dihadang orangtuanya. Nyatanya dia tak menyisakan sedikit pun rasa kasihan untukku.

Orangtuanya yang begitu angkuh menjegal langkahku untuk mendekati putra kebanggaan mereka.

"Maaf, Rindu. Aku merasa bersalah padamu. Aku benar-benar mencarimu selama ini. Tak kusangka aku menemukanmu disini," ucapnya tanpa memandang ke arahku.

"Ya, aku ikut menjadi tukang cuci piring di sebuah warteg milik seorang janda tanpa anak. Kukira stok orang baik di dunia ini sudah punah, ternyata masih bisa kutemui dari orang biasa sepertinya."

Wajah yang dulu begitu membuatku haru biru itu tertunduk penuh penyesalan. Sayangnya aku tak peduli, hatiku kebas tak tersentuh sedikit pun.

"Rindu… apakah Bintang anakku?"

Aku tersengal, dadaku terasa pecah saat dia mengucap hal itu.

"Kenapa? Kau merasa berdosa sekarang? Kau bisa melihat dengan matamu sendiri bukan? Wajah siapa yang tercetak jelas disana! Tapi sayangnya kau tak berhak memanggilnya anakmu. Tak akan kubiarkan seinci kulitnya pun tersentuh olehmu lagi! Jika kutahu kau dokter yang menangani anakku malam itu, aku tak akan rela Giandra! Aku tak akan ikhlas membiarkannya bertemu dengan lelaki tak punya hati sepertimu!"

Aku berdiri kemudian memegang daun pintu. Kuarahkan dirinya untuk keluar.

"Kau hanya cukup tahu aku dan Bintang baik-baik saja. Nikmati rasa bersalahmu tanpa adanya pengampunan dariku. Resapi rasa sakit yang bertahun-tahun membentuk hatiku hingga sekeras batu. Kau akan merasakan bagaimana rasanya menjadi aku. Seperti mati terbunuh namun tetap hidup dalam sebuah penyesalan. Keluarlah, sebelum sisi jahat diriku mengusai seluruh tubuhku."

Giandra menatap lurus ke arah pintu. Sayangnya tatapan mata itu tak berani mengarahkan bidikannya ke mataku. Aku tahu, kemarahan yang membentuk diriku terlalu menakutkan untuk ditantang. Giandra berdiri dan beranjak dengan langkah tak bertenaga. Aku memalingkan wajah ke arah lain demi tak melihat tubuhnya dari jarak beberapa senti.

Lepas lelaki itu keluar melewati pintu rumahku, saat itu pula kudorong kuat benda berbentuk persegi panjang yang sedari tadi basah karena kupegang dengan tanganku yang berkeringat.

Bunyi dentuman yang cukup kuat cukup mewakili rasa marahku pada pemilik segala kesedihanku.

Entah berbentuk apapun, harusnya dia tak perlu hadir. Aku tak perlu susah payah membenahi moodku sepagi ini karena pertemuan ini. Aku benci diriku sendiri, meski otakku memerintah berkali-kali untuk memaafkannya, tetapi hatiku berontak. Dia tak siap dengan pengampunan untuk manusia-manusia itu. Terlebih untuk lelaki itu, yang karena cintaku terlalu uta telah membuat semua kebahagiaan terenggut paksa dariku.

Teruntuk masa lalu, berhentilah menepuk punggungku. Karena aku sudah tak ingin melihat ke belakang.

***

"Kenapa mukanya? Kusut amat!" Satya meletakkan secangkir kopi hitam di atas mejaku. Lelaki berlesung pipi dan beralis tebal itu memandangku dengan menopang dagunya. Lelaki yang tatapan matanya itu menggambar jelas apa yang ada dalam hatinya.

Aku menggeleng, tentu saja aku tak siap menceritakan semuanya. Meski sedikit banyak dia tahu masa lalu yang menimpaku, tetapi dia tak akan pernah mengoreknya jika bukan aku yang membukanya sendiri. Sebaik itu Satya, oleh karenanya aku selalu menyekat jarak darinya dengan batas tak kasat mata.

"Baik-baikin mood. Hari ini kita kedatangan investor untuk pembukaan kafe di kawasan Baturaden. Jangan sampai kita gagal karena wajahmu itu merusak aura positif yang susah payah kita bangun untuk restoran ini. Bukankah keinginanmu mendirikan kafe di sana?"

Ya, aku memang ingin sekali mendirikan kafe di kawasan Baturaden. Tempat yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kali saat datang di kota ini. Kubayangkan sebuah kafe dengan view mengarah langsung ke Kota Purwokerto. Hawa yang sejuk dengan pemandangan alam menakjubkan membuat anganku tak pernah lepas dari kota kecamatan di kaki Gunung Slamet itu.

"Jam berapa nanti? Aku masih punya waktu bukan untuk memperbaiki penampilanku?" tanyaku pada lelaki yang belum beranjak dari posisinya semua.

"Jam sebelas. Tersenyumlah, walau sedetik kau akan mampu memperbaiki semuanya."

Lelaki itu tersenyum hangat seperti biasanya. Bukan aku tak mampu menangkap sinyal di matanya, aku hanya takut dia kecewa dengan masa lalu yang belum sepenuhnya bisa kumaafkan. Dia berhak mendapatkan wanita yang lebih baik, bukan wanita sepertiku yang akan terus cacat karena tak mampu berdamai dengan masa lalu.

"Jika kau suka pelangi, maka buat hatimu untuk kuat melewati hujan dan badai, jangan terjebak terlalu di dalam derasnya air. Kau mampu melewati semuanya, Rindu."

Satya berjalan melewatiku hingga menyisakan aroma parfum mewah yang diam-diam menjadi candu untukku. Tetapi sekali lagi, batas tak kasat itu menyadarkanku bahwa dia ada dan akan tetap menjadi penghalang bagi kami. Entah sampai kapan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sitihasanah Titi
Rindu sama satya aja, jangan sama giandra lelaki brengsek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status