Share

Tragedy and Sweet

Pada Tahun 2017.

 

Saat itu kakak berteriak, memaki suamiku dengan lantang. Dia di dalam kamar hotel bersama wanita lain.

Bajingan kau! Tia hamil, masih sempat kau tidur di hotel bareng perempuan lain!" tamparan kakak mendarat di muka Mas Muchtar. Aku hanya terbujur kaku tak bisa bergerak, hanya menangis. Bulir air mata tak dapat ditahan lagi, kugigit bibir bawah sekuat tenaga hingga berdarah. Ini bukanlah mimpi, ini nyata.

Suami berselingkuh saat aku mengandung anaknya. Para penghuni kamar lain mulai berhamburan keluar. Kakak makin gila, mencoba menyerang perempuan yg sekamar dengan suami.

Mas Muchtar yang bertelanjang dada, sedangkan si perempuan hanya memakai celana pendek dan baju dalam tipis.

Tak begitu jelas kulihat karena air mata terus menetes dan mengaburkan penglihatan. Hanya mematung dan membeku. Kakak benar-benar marah. Dilemparlah tas yang dibawa. Dihantamkan ke wajah dan tubuh mereka berdua. Serangan ke selingkuhannya di hadang oleh suami. Begitu berhargakah dia?

Samar-samar kulihat sosok perempuan yang menutupi wajahnya itu. Terlintas kenangan dulu saat awal menikah. Wanita yang berpapasan di lobi hotel, juga datang di pesta pernikahan kami. Sosok wanita tinggi semampai, berambut panjang dan berkulit putih.

Amukan kakak berakhir setelah dilerai oleh pihak keamanan hotel. Kami dibawa ke pos pengamanan untuk diberikan arahan. Kakak memegang tanganku kuat, kurasakan amarahnya. Kerudungnya yang berantakan bajunya yg kusut, sementara mereka berdua berjalan dibelakang kami.

***

 

Awal sebuah perkenalan.

 

"Mba, baguskah?" tanyaku. "Lumayan juga sih." Kami memang rukun, tak seperti kakak beradik lainnya. Sering meminjam baju bahkan handuk untuk mandi. Gamis pemberian Muchtar, kupakai untuk mengambil barang dari supliyer. Saat itu kebetulan ada pesanan sepatu yang stoknya tak kupunyai.

Setelah selesai checking dan packing, kuputuskan belanja di mini market. Letaknya di sepanjang arah menuju rumah. Sungguh tak disangka, Muchtar dan Ibunya ada disana. Kamipun berpapasan, agak malu karena kupakai gamis pemberiannya.

Ibunya tidak mengenali karrna memang belum pernah ke rumahnya. Muchtar, tertawa tipis sambil berlalu tapi sambil melirik. Berdebar sangan kencang jantung saat itu. Bahkan melangkah mendekati kasir untuk membayar tak berani. Sambil pura-pura memilih belanjaan kulirik, apakah mereka sudah pergi atau belum.

Aduh, kesalahan fatal. Berlagak tak mengenalnya saat bersama ibunya sangat tidak sopan, tapi bagaimana kepalang malu.

Pertama kalinya seorang lelaki memberiku barang dan langsung kupakai. Situasi bertambah parah saat kupakai barang pemberian, ternyata tanpa sengaja bertemu dengannya di tempat umum. Dalam perjalanan pulang, membawa pikiran tentang pertemuan yang tak disengaja tadi.

 

Tragedi di kamar hotel membuat kenangan manisku berhamburan. Memori masalalu terlintas saat awal bulan madu kami di pulau Bali.

 

Bulan madu kami dipenuhi kebahagiaan. Sebagaimana pengantin baru. Dia menyewa kolam renang privat di hotel jadi hanya kami berdua yang memakai. Sungguh mengerti, aku yang tak bisa tampil terbuka di depan khalayak ramai. Setelah puas berenang kami bersantai di pinggir kolam dengan meminum ice cream dengan topping buah ceri diatasnya.

Tak lupa kukabarkan aktivitasku kepada kakak. Saat itu kakak sudah mengandung baru saja. Dia menikah dua bulan sebelum hari pernikahan kami. Suaminya adalah seorang pedagang di bandung. Tak berbeda, perkenalan dengan sang suami ternyata berlangsung sangat cepat, tak butuh waktu lama suami membawa orang tuanya langsung menemui bapak dan ibu. Saat itu kaget juga kakak.

Ternyata Mas Thoriq, sudah lama memperhatikan kakak dalam kajian, sehingga langsung membawa walinya ke rumah untuk meminta izin. Entah kenapa saat itu hanya berselang dua hari Mba Siti, langsung memberikan jawaban menerima pinangan lamarannya.

Terhitung mulai dari kedatangan menuju acara akad nikah hanya berlangsung kurang dari sebulan. tepatnya dua puluh enam hari. karena sering memperhatikan pada saatt ikut kajian. Selama kurang lebih delapan bulan dan tak pernah absen,itulah alasan mengapa begitu cepat, bahkan tanpa pernah main kerumah Mas thoriq, berani melamar kakak.

***

Suami memilih Bali sebagai destinasi bulan madu. Tiket pesawat serta hotel semua sudah dia pesan alasannya tak lain karena dia aku belum pernah liburan disini.

Tepat kuhabiskan seminggu tinggal di hotel serta berkeliling, berkunjung ke beberapa tempat yang direkomendasikan karena keindahannya. Mencurahkan semua kebahagiaan dengan suami baru. Sudah tak ada batasan lagi, dialah tempat curhat, tempat berkeluh kesah tentang kesedihan atau kebahagian.

Momen yang berkesan saat kami jalan-jalan ke pantai bergandengan tangan. Sepanjang pantai Kuta. Merasakan panas pasir putih dan hempasan angin, menyaksikan ombak bergumul dalam cerahnya cuaca.

Sesekali dia menggendongku dan menceburkanku ke pantai. Teriakan dan tawa menghiasi momen kebersamaan di Kuta. Romantic dinner juga diadakan di salah satu restoran yang view pemandangannya adalah bibir pantai di malam hari. Indah sekali, romantis. Lilin berjejer menghiasi meja makan, hidangan andalan diantarkan pelayan untuk menemani obrolan. Selesai menghidangkan dibukakannya nampan berisi secarik kertas berisi sebuah ucapan. Kubaca dan kubuka.

 

Tia I love you. semoga bisa menjadi istri yang patuh terhadap suami, yang menyayangi dan saling menjalankan kewajiban dalam rumah tangga sebaik mungkin. Aku akan berusaha memberikan hak mu sebagai istri secara maksimall. Tegur aku jika salah,bersikap lembutlah ketika ada sesuatu yang tak kau sukai dari tindakanku. semoga kita diberikan anak yang baik lagi berguna bagi agama dan negara.

 

Setelah menikahinya semakin jatuh hati, bertambah berkali-lipat. Sosok pria pertama yang benar-benar membuat diri serasa istimewa. Bukan hanya makan malam itu yang membuat hati meleleh. Saat di Ubud Monkey Forest dia juga sangat istimewa memperlakukanku sebagai istri.

Terlintas dalam benak sungguh tidak terasa waktu berlalu begitu cepat saat kita tumbuh dewasa. Kami dua bersaudara sudah bukan lagi tanggung jawab bapak dan ibu melainkan tanggung jawab itu berpindah ke tangan suami kami.

Setelah pulang dari makan malam romantis, kami menuju kamar hotel untuk beristirahat. Diapun menyalakan laptop mengecek pekerjaan yang ditanganinya. sembari kurebahkan diri di ranjang, kami memulai pembicaraan ringan soal rumah tempat tinggal nantinya.

“Mas, bolehkah nanti aku kerja juga?” dia menoleh padaku disela kesibukannya menyelesaikan laporan. “Boleh, asalkan kamu tidak lupa akan kewajibanmu,” alasan mengapa aku ingin bekerja, salah satuny adalah membantu keuangan keluarga. mengingat bapak sudah cukup umur sedangkan ibu usianya juga bertambah.

“ Boleh beneran ya?” nanti hasilnya buat orang tua. “iya,” jawabnya singkat tanpa memperhatikanku.

Pada malam terakhir kami menginap di hotel. Obrolan membahas mengenai tempat tinggal. Sebelum memutuskan menikah, sudah banyak sekali buku pernikahan, kuliah pra nikah yang kubaca dan kuikuti. “mas nanti tinggalnya dimana?” sebaiknya ngontrak sendiri saja ya, di dekat rumah juga tidak masalah.” Setelah mendengar ucaoanku Mas Muchtar, menghentikan aktifitasnya sejenak.

“Bisa nanti cari disekitaran rumah bapak ibu.” Saat itu dia menutup laptopnya langsung menuju ranjang tempat tidur. Disandarkan kepalanya diatas paha. “Nanti kalo tidak ada kontrakan bisa tinggal dirumahku sementara waktu.”

Muncul rasa sedikit khawatir, karena bertentangan dengan prinsip yang kupahami. Saat menikah seharusnya suami istri terpisah tempat tinggalnya dari orang tua. Teritorial dan privasi serta kewenangan bisa diperoleh. Berbeda jika tinggal bersama mertua. “Ya, tak masalah kalau kebetulan nanti tidak dapat.”

Mas Muchtar, setelah obrolan itu mendapat panggilan, dia menjauh saat menerima panggilan telpon itu. “Dek, aku pergi keluar dulu ya ada temen yang disini rupanya.” Dia mengambil jaket dan segera pergi.. Sebelum pergi tak lupa dia mencium keningku. Sempat berfikir siapa temannya. Tapi pikiranku kutepis dan lebih memilih segera tidur dengan kenangan indah nakan malam di dekat bibir pantai tadi.

Pagi hari kami cek out dari hotel. Memesan taksi menuju bandara. selang beberapa menit mobil datang. Supir taksi keluar dan membukakan pintu, seraya membawakan koper untuk dimasukkan dalam bagasi. Mobilnya baru, pikirku. “Pak, ke bandara,” komando arah diberikan oleh suaami. Saat perlahan mobil mulai berjalan meninggalkan pelataran hotel, kulihat sosok wanita yang saat pertama kali kami tiba di hotel, hari pertama. Wanita yang berpapasan dengan kami, yang katanya adalah teman Mas Muchtar.

Sesamapai di bandara, kami tepat waktu. perkiraan waktu dari mulai lepas landas sampai ke kota kami sekitar tiga jam. Agak takut sebenernya, sudah dua kali ini, terhitung yang pertama saat awal berangkat. Kulihat di pinggir jendela awan putih yang indah dilewati. Berjejer layaknya kapas yang terburai. Dalam perjalanan suami tertidur. Sambil menyarankan hal sama padaku karena perjalanan akan cukup lama.

Tiba-tiba tangan ini dipegangnya. Sambil menggoda. “Kamu harus dipegangi takutnya hilang nanti.” sontak kucubit perutnya. Dia tersenyum walau dengan Penutup mata yang terpasang. Pada sudut lain pemandangan dalam pesawat, nampak para pramugari sedang menawarkan camilan dan bantuan pada beberapa penumpang. Sesampainya dirumah, pengalaman ini harus dibagikan ke kakak ataupun ibu dan bapak.

Tak terasa pesawat sudah hampir landing. Kubangunkan suami yang kepalanya bersandar pada bahu. Tidak bisa kulewatkan pengalaman naik pesawat pertama kali dengan kuhabiskan waktu dengan tidur. Berbeda dengannya, dia bisa tidur karena rutin berpergiam lewat jalur udara untuk ke luar pulau.

Setelah mendarat perasaan lega muncul. Tiga jam yang agak menegangkan. Kami berjalan melewati banyak orang mencari taksi di pintu keluar. Tidak butuh lama para driver yang bersiap di pintu keluar menggiring kami memasuki mobil, sembari bertanya tujuan kami.

Perjalanan dari bandara menuju rumah memakan waktu hampir satu jam. Dalam mobil suami sibuk mengetik di ponselnya. "Siapa Mas?" tanyaku penasaran. "Urusan pekerjaan biasa say," jawabnya singkat sembari mengantongi ponsel.

Sesampainya dirumah kulihat motor suami Mba Siti, sudah didepan. Tandanya dia sudah berada di rumah sehabis pulang dari rumah suaminya.

Belum menginjakkan kaki di dalam rumah, Mas Muchtar sudah pamit. Bilangnya ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan. Sepenting itukah, pikirku. Sampai pulang dari liburan langsung pergi lagi mengurusi pekerjaan. Tapj kuiyakan saja. Sembari masuk rumah kucium Ibu dan Bapak. Kuliahat diluar Mas Muchtar sudah pergi bersama taksi yang mengantar kami tadi.

...

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status