Share

Story Line

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Tia Karuniawati bin Zainudin dengan emas kawin dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucapnya didepan penghulu dengan disaksikan kedua orang tua sebagai wali.

12, Februari 2013. Pernikahan kami berlangsung cukup sederhana. Keluarganya membangun rumah tinggal tetap yang tak jauh dari kampung halamanku. Diapun kembali dengan membawa harapan untuk meminangku secepatnya. Banyak hal yang berubah darinya, bertambah gagah dan lebih maskulin.

Setelah akad nikah dan acara selesai kami memutuskan untuk menginap di hotel yang telah dipesan. "Tolong kamar 201," ucap Mas Muchtar di resepsionis.

Canggung, yang pertama kali kurasakan, hatiku berdebar keras mengikutinya berjalan dibelakang. Pertama kali menginap di hotel, apalagi ini adalah hari pernikahan kami. Ritual malam pertama dan Mas Muchtar adalah lelaki pertama yang menyentuhku sebagai suami sah.

Memasuki kamar, sungguh takjub dengan dekorasi kamar yang telah di pesan ini, sungguh berkesan dan berkelas serta dipenuhi nuansa romantis.

Penuh bunga mawar dan lilin. Sungguh tak salah aku memilihmu, lelaki yang bekerja sebagai kontraktor ini mampu bersikap sangat lembut, berbanding terbalik dengan kesan pekerjaannya yang kasar karena di lapangan. Saat itu mampu kurasakan detak jantungku yang semakin kencang, karena dia memelukku. Sungguh pertama kali aku dipeluk oleh lelaki, karena sebelumnya aku benar-benar menjaga kehormatan seperti amanat yang disampaikan bapak.

Terjadilah, kuberikan hak suami, ku jalankan kewajibanku.

Kami bulan madu, menginap di hotel bintang lima selama seminggu. Saat di hotel, di lantai bawah suami berpapasan dengan seorang wanita yang ternyata adalah temannya. Sosok gadis cantik, tinggi semampai. Ekpresi Mas Muchtar, sedikit berubah dan ternyata itulah sumber petaka hidupku yang pertama. Momen papasan itu hanya sebentar dan berlalu begitu saja.

Kadang diri sendiri bertanya. Kedekatan dengan suami hanya berlangsung selama sebulan, sebelum dia memutuskan dengan mantap, untuk melamar, membawa ayah ibunya ke rumah. Pendekatannya yang kukira agak aneh. Entah karena tidak pernah didekati laki-laki atau belum terbiasa.

Pertemuan setelah lama berpisah bermula dari reuni, saat buka bersama bertepatan momen bulan Ramadhan. Reuni yang melibatkan satu angkatan yang terdiri dari delapan kelas saat itu. Aku ikut ambil bagian sebagai salah satu panitia yang mengkordinasikan acara dan merencanakan jadwal. Penyusunan acara dibantu oleh Kartika, teman lama yang rumahnya dekat, hanya berjarak beberapa meter, lebih tepatnya dibilang tetangga. Perencana acara ini terdiri dari tim yang terdiri dari perwakilan masing-masing kelas. Dua belas orang yang menjadi koordinator acara.

Kebetulan saat itu dapat bagian untuk mengurusi booking tempat dan pilihan menu yang dihidangkan.Undangan digital dibuat oleh Kartika, disebarkan melalui grub chating yang berisi para teman satu angkatan.Tak butuh waktu lama, banyak yang menghubungi admin moderator untuk ikut meramaikan reuni bertajuk seangkatan ini. Acara digelar di sebuah restoran yang telah dibooking untuk sekitar dua ratus orang peserta. Kebetulan saat itu dapat tugas untuk jadi pembicara, untuk pembuka acara.

Kuperhatikan dari jauh ada sosok yang tak asing, tapi tak begitu kuhiraukan. Selesai acara saat menunggu jemputan dari kakak, karena Kartika yang searah masih ada urusan tidak langsung pulang, seseorang yang tak asing itu menyapa.

"Tia, ya?"

Kuperhatikan dan kucoba mengingat wajahnya, kupandangi dari bawah sampai keatas.

"Oh, Mas Muchtar kan?" tanyaku.

"Iya, kamu berubah aku pangling, jadi agak tinggi sekarang," basa-basinya.

"Ya tinggilah, udah makin tua."

"Nunggu jemputan?" tanyanya.

"Iya, kakakku," jawabku singkat.

"Mba Siti, ya? wah lama tidak liat dia juga, mungkin sudah lupa aku," jawabnya sambil tertawa tipis.

Tak kutanggapi jawabannya, kulihat kanan kiri jalan kakak belum juga tiba. Padahal sudah ada setengah jam kutelpon. Memang dia lelet sekali, jika disuruh jemput, tak berubah walau sudah bertahun lamanya.

"Tia," dia menegurku.

"Ya?" kutolehkan wajah kearahnya.

"Kamu yang jadi adminkan? boleh ya nanti aku japri?"

Saat itu berfikir pertanyaan yang dilontarkan mengundang maksud dan tujuan.

"Boleh," jawabku singkat. Saat itu kakakku sampai disebarang jalan membawa motor matic milik bapak. Agak kesal dan jengkel, sungguh lama menunggunya sampai datang.

"Aku pamit dulu ya, Muchtar," pamitku.

"Oke, hati-hati," sahutnya.

Dia meminta nomer dan menghubungi secara pribadi. Menanyakan kabar soal pekerjaan dan status hubunganku. Iya, status hubungan, bertanya tanpa basa-basi, apakah sudah memiliki pacar.

"Ya, sudah punya pacar?" pertanyaan beraroma todongan darinya.

Aneh sekali pikirku, lama tak bertemu bukan basa-basi menanyakan kabar malah bertanya layaknya begal yang menodong mangsa ditengah jalan. Kak, kupanggilnya untuk menunjukkan pesan aneh ini padanya. "Ini masak teman lama di SMP nanya sudah punya pacar belum?" tanyaku heran.

"Suka berarti itu, tanpa basa-basi soalnya," jawab kakak. Padahal saat itu belum ada rasa apapun terhadapnya. Tertarikpun tidak sama sekali. Malas, tak kubalas pesannya. Cara bertanya yang tidak sopan tanpa basa-basi juga membuat tak nyaman. Semua wanita kurasa, jika diberikan pertanyaan seperti itu oleh orang yang tak begitu akrab secara emosional pasti kesal juga.

Kakak saat itu berceletuk, "jodohmu kali dia, yakin toh, naksir itu pasti," ujar kakak. Tidak begitu kupedulikan celotehan kakak saat itu. Angin lalu saja. Semenjak sekolah sampai lulus memang tak seorangpun lelaki yang main ke rumah. Kakakpun sama sebetulnya. Hanya saja kakak mencari jodoh lewat taaruf di tempat kajian yang diikutinya.

Beberapa kali kakak didatangi lelaki, untuk keperluan nadhor, tapi nampaknya belum juga ketemu, Arjuna yang akan meminangnya. Terhitung Sekitar dua kali, kakak nadhor.

Bapak dan ibu melarang kami pacaran. Mereka menjunjung aturan keagamaan yang ketat.

Saat itu dalam kondisi sedang merintis usaha jualan online. Barang yang dijual berupa gamis dan kerudung.

Sebagian barang kuambil dari suplier dengan membelinya, sebagian lagi sistem marketer, yakni aku hanya bertugas mempromosikannya di sosial media. Pengiriman dan packing dilakukan oleh suplier. Mengingat pendidikan yang hanya sebatas lulusan SMA. Daripada bekerja di pabrik, lebih baik berwirausaha sambil berdagang.

Tak kuambil pendidikan lanjutan untuk ke bangku kuliah, saat itu kondisi keuangan keluarga sedang terpuruk. Sawah milik bapak, mengalami gagal panen karena kekeringan yang melanda kawasan pertanian. Berselang beberapa hari setelah pesan pribadi tersebut seorang tamu tak diundang datang ke rumah. "Assalamuallaikum," salam terdengar dari luar.

"Waalaikumsallam," jawab kakak sembari menuju pintu depan rumah. Dilihatnya sosok yang tidak asing. "Nyari siapa ya Mas?"

"Mba Siti, ya. Saya Muchtar mau nyari Tia Mba." balasnya tanpa basa-basi.

"Duduk dulu, kupanggilkan ya."

Kakak datang masuk kamar dan menyuruhku menemuinya. "Buruan temuin, Muchtar kesini nyari kamu." Gila, teriakku. Orang yang nekat sekali, pesan tak dibalas tiba-tiba kerumah.

Gak mau, biarin saja, kakak yang ajak ngobrol dia. PD banget, dekat juga tidak, raunya datang kerumah. Ijin juga belum.

Kakak menarik tanganku, aku berontak tak mau menemuinya, malas dan harus ganti baju serta pakai kerudung. Kalau tidak bapak bisa marah. Peraturan sejak kami dewasa sangat ketat di rumah. Keluar pintu rumah harus pakai kaos kaki, pake kerudung, dilarang pakai celana ketat. Bagi sebagian orang tua itu mungkin berlebihan.

Bagi bapak dan ibu itu kewajiban menerapkan aturan agama diatas teritorial kekuasannya kepada anak-anak. Kakak masih memaksa, sembari menarik tanganku, memaksa tubuhku yang enggak bergerak.

"Ada apa?," tanya bapak yang mendengar kegaduhan kami dalam kamar. "Tia, pa. Temannya main ke rumah tak mau keluar."

Saat itu bapak hanya melihat dengan tatapan tajam. Aku paham, kuganti baju kupakai kaos kaki pkus kerudung lebar untuk menutupi dada. Syarat jadi anak bapak ibu memang agak unik, termasuk dalam menerima tamu.

"Ada apa? kenapa kesini?" Lqngsur lempar pertanyaan to the point.

"Ini, mau kasih gamis, kebetulan pulang dari jakarta kemarin beli gamis. Cocok sepertinya untukmu," ucap Muchtar. Sudah ya, aku mau balik dulu. Sebelum kutanyakan maksud memberi gamis, dia sudah pulang. Pamitan pada kakak dengan sedikit berteriak dan langsung pulang.

Aneh sekali, banyak pertanyaan dikepala. Kubawa totebag itu kerumah, kubuka dan kukihat merek gamisnya. Wah, ini premium mereknya juga terkenal sangat mahal, yang diiklankan para artis. Paling tidak harganya adalah enam ratus ribu. Baginya yang bekerja sebagai kontraktor harga segini pasti murah. Tapi bagiku gamis harga segini butuh wakru sebulan membelinya. Tentu saja harus perang batin dulu, karena kebutuhan lain yang leboh penting daripada sekedar baju baru.

Kakak menghampiri, melihat gamis yang tergeletak di tempat tidur. "Wah, benarkan. Dia suka kamu, buktinya ngasih gamis mahal dan bagus begini juga. Lemarin nanya punya lacar apa tidak sekarang ini."

Iya juga pikirku. Mungkin itu maksud pertanyaan Muchtar. Tapi tidak mungkin juga menjalin hubungan layaknya pemuda bisa pacaran, kalau sampai ketahuan bisa dicoret dari kartu keluarga. Kakak yang keluar untuk sekedar nyapu di luar rumah tanpa kerudung saja disidang cukup lama oleh bapak.

Memang bapak dan ibu sehati dalam pendidikan agama. Rutin mengikuti kajian ilmu serta rutin menghafal ayat setiap harinya menjelang waktu sholat subuh. Bapak orang yang lembut tapi tegas, walaupun kedekatannya tidak sedekat dengan ibu kalau terhadap anaknya. Sosok ibu memiliki pribadi yang bijak, bisa diajak jadi teman curhat sekaligus teman bercerita yang asik.

 

Muchtar, namanya mulai kuingat sebelum tidur. sesakali terpikir apakah dia jodohku akankah dia sebaik dan selembut bapak?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status