Share

Racun Ipar

Sepulang dari Bali. Kubawa buah tangan untuk Keluarga. Sepasang sendal dengan motif khas Bali. Serta baju baru untuk Bapak. 

"Aku mana?" canda kakak.

"Nih," kuserahkan abaya hitam untuknya. 

Ibu nampak mencari Mas Muchtar. "Suamimu kemana?" 

"Mas Muchtar, langsung ke tempat kerja, tadi dihubungi ada yang perlu diselesaikan katanya," ujarku menjelaskan keberadaan suami.

Kupersiapkan beberapa hadiah untuk keluarga suami. Terutama untuk ibu mertua. Beliau sosok yang sabar dan pengertian. Begitu kesan yang didapat dari cerita. Beliau sudah menjadi janda selama empat tahun. Seorang wanita karir, dengan pendidikan tinggi.  Almarhum bapak mertua meninggal dikarenakan sakit kanker paru-paru. Setelah melakukan perawatan intensif selama 3 bukan di rumah sakit, tapi yang maha kuasa berkehendak lain. Nyawanya tak tertolong karena sudah stadium empat. 

"Bu, tolong bantu masak ya, mau kubawa ke rumah Mas Muchtar," pintaku.

"Masak apa, sini kubantu," sahut kakak.

Kusiapkan semua bahan masakan di dapur. Mereka membantu memasak. Sedangkan bapak masih melihat televisi sambil menikmati cemilan.   Sembari mengobrol soal trmpat tinggal. Kami mencari beberapa informasi rumah untuk dikontrak disekitaran desa. Tapi kabarnya semua rumah yang dikontrakkan di dekat sini sudah terisi.

Kubuka ponsel, hendak mengabari soal rumah tempat tinggal ke suami. "Mas, semua rumah kontrakan di dekat sini sudah full, jadi bagaimana kalau nanti tinggal di rumah ibu juga tak masalah," pesan kukirimkan.

Selang beberapa menit muncul notifikasi. "Iya, tinggal dirumahku saja dulu nemenin ibu. Nanti kujemput."

Kami memasak tumis kangkung, rendang serta rica-rica ayam untuk nanti sebagai bekal ke rumah mertua. Pukul 17.00 suami sudah datang.  Mengendarai mobil yang diparkir di depan rumah. 

"Assalamualaikum," suami masuk rumah dan mencium tangan Bapak dan Ibu. "Wah masak enak ni." Ucapnya. Dandanan modis dan wangi. Penampilan terjaga. Mungkin itu yang selalu mencuri perhatian dari Mas Muchtar.

Kutenteng bekal sayur dan olahan daging yang selesai dibuat tadi. "Baik-baik disana ya Nduk," ucap ibu. Senang mendengarnya. "Ibu tia pergi dulu, jaga kesehatan ya, nanti kalau ada info kontrakan bisa langsung hubungin Tia."

Klakson mobil dibunyikan tanda kami akan berangkat. Jarak rumah kami berdua sekitar empat puluh menit dengan memgendarai mobil.  Agak takut, karena tinggal bersama mertua. Banyak kisah tidak mengenakkan yang berseliweran di sosial media. Menyesuaikan diri dengan adaptasi hal dan kebiasan baru.

Jalanan agak macet, karena jam pulang kerja.

Apalagi akhir pekan padat merayap. Dengan pelan tapi pasti di tengah laju mobil yang pelan obrolan dibuka oleh suami.

"Nanti, dua hari lagi aku ke palembang ada proyek yang harus disurvei."

"Lah, bukannya baru pulang bulan madu kok sudah mau kerja saja."

"Namanya juga kewajiban kerja, cari duit buat kamu dan nanti persiapan biaya kalau ada anak."

"Berarti tinggal sama ibu saja ya?" tanyaku.

"Iya, nanti yang baik ya sama ibu. Kalau ada yang kurang sesuai harap maklum saja."

Perjalanan panjang dan melelahkan melewati jalur kemacetan seledai ditempuh. Kuinjakkan kaki ke rumah mertua yang besar. Luasnya mungkin tiga kali dari luas rumah milik orang tua.    Ibu mertua langsung datang dan mencium ku."Sayang tinggal disini ya temenin ibu." Saat itu hanya bisa senyum lega. Tahap awal interaksi berjalan baik tak seperti kekhawatiran yang berkecamuk dalam perjalanan. 

Kuambil barang bawaan dalam mobil. Kutenteng makanan kuserahkan ke Ibu Mertua. "Ini Bu, tadi dirumah Tia buat sedikit masakan buat Ibu." Tak lupa baju dan sendal dari Bali kubungkus rapi dalam kotak kado yang telah dihias  ikut kuserahkan.

"Makasih sayang, sudah repot bawakan kado buat mama," balasnya dengan senyum mekar di bibir. Kami masuk kerumah. Agak takjub dengan isi rumah yang perabotannya berisi barang mahal. Sekilas melihat langsung bisa menerka. Hiasan dinding, vas bunga yang memiliki kesan antik dan foto keluarga yang sangat besar.

Mas Muchtar, berjalan menuntunku menuju kamar. "Masukin barangmu disini dulu, nanti kalau sudah dapat rumah kontrakan kita pindah." Suami langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Kecapekan karena perjalanan bolak balik cukup lama. 

Bukanlah hal mudah untuk beradaptasi ditempat baru. Bertemu dan bersikap dengan orang asing walaupun statusnya adalah orang tua dari suami. Rumah besar tanpa pembantu. Ibu mertua memasak dan membersihkannya sendiri. Kakak dari Mas Muchtar tinggal di palembang sedangkan adiknya Saras ikut bersama dengan suaminya mengontrak rumah di dekat sini. Lalu pada keesokan harinya.

"Ya, sini bantuin ibu masak," panggil ibu mertua.

"Mau masak apa Bu?"

"Coba masak tumis kangkung, kayak kemarin enak soalnya tapi beli dulu ya bahannya di pasar. Soalnya ini cuma ada daging saja," pinta mama.

Akupun berjalan ke pasar yang letaknya hanya beberapa ratus meter. Pasar tradisional yang baru dibangun dengan megah. Membeli dan memilih sayur serta bumbu untuk memasak pagi dan sore. Saras kabarnya akan balik kerumah nanti untuk menginap. Dia sudah menjadi ibu satu anak. 

"Bu kangkungnya seikat berapa?" tanyaku pada ibu penjual.

"Sepuluh ribu Neng, masih segar baru dipetik,"

"Saya mau dua ya Bu," 

Ibu penjual memaskukkan belanjaan ke plastik. "Ada lagi Neng?"

"Coba itu bu bumbunya merica bubuk sama micin satu renteng, jangan lupa tomat serta telurnya," pintaku.

"Ibu hitung ya, totalnya empat puluh lima ribu," sambil menyodorkan nota belanja.

Saat berbelanja di pasar tradisional usahakan jangan menawar terlalu sadis. Para pedagang hanya mencari sambungan hidup. Begitulah nasihat yang sering bapak berikan padaku. Makanya jarang nawar saat di pasar tradisional. 

Selesai berbelanjan semua kebutuhan untuk memasak langsung pulang. Ibu mertua sudah menunggu di dapur. "Sudah selesai? habis berapa?" 

"Empat puluh lima ribu Bu," ucapku.

"Kok mahal, kenapa tidak ditawar?"

"Enggak Bu, kasian saya sama penjualnya." 

"Kamu harus berhemat, kalau jadi ibu rumah tangga jangan habisin duit suami," ibu mulai menasehati. Kupikir nasehat Ibu saat itu tak sesuai dengan nilai yang kuanut yang diajarkan bapak. Mungkin karena bukan dari golongan keluarga pedagang jadi tidak tau berapa keuntungan yang didapat dari berjualan sayur mayur. 

Ibu mulai mencuci sayuran, aku mempersiapkan semua peralatan dan sebagian bahan yang sudah siap dimasak. Tumis kangkung yang lumayan banyak dibuat untuk menyambut adik dari suami yang akan berkunjung bersama suaminya. Tidak butuh waktu lama membuatnya dibantu Ibu cuma satu jam setengah semua masakan selesai. Tumis kangkung, rendang, pak lay, sambal matah spesial yang khusus dipesan suami juga sudah dibuat. 

Pukul tujuh malam sehabis waktu isya adik ipar dan suaminya datang. Disambut Ibu dan dipeluknya anak perempuannya itu, adik ipar menyapaku. "Halo mba Tia, maaf belum bisa datang saat nikah kemarin sedang sibuk ngurus kerjaan di Singapura," kulemparkan senyum membalas ucapannya.

Pada meja makan kami duduk melingkar. "Ayo, silahkan di cicipi makannya," suruh ibu ke anak dan menantunya. "Rasanya aneh keasinan juga tumis kangkungnya, di singapura aku tidak makan yang beginian karena berbahaya bisa ada  ulat dan membahayakan lambung."

Ucapannya mengagetkanku, baru sekali ini dikomentarin sepedas ini soal masakan. Tidak lama berselang suami juga sudah pulang. Adik ipar langsung memanggilnya mendekat. "Sini Mas, cobain masakan istrimu sayang agak asin,' ucap Saras adik ipar yang memberikan kesan tidak menyenangkan saat pertama kali bertemu. 

Ternyata bukan kesan pertama itu cukup menggambarkan bagaimana sifatnya.

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status