Fea membereskan mejanya. Dia segera beranjak. Arnon menunggu di tempat parkir. Fea tidak tahu apa yang Arnon mau lakukan. Tapi dia benar-benar membuat Fea terkejut kali ini.
"Fea! Mau jalan? Diajak ke mana?" Rania masih mengira Fea akan pergi dengan Irvan.
"Arnon." Fea bicara dengan jelas tapi tanpa suara.
"Hah? Arnon?" ulang Rania.
Fea mengangguk dan cepat-cepat keluar. Rania jadi bingung. Arnon yang menelpon? Cowok itu menelpon dan Fea tergesa-gesa pergi. Artinya Arnon meminta Fea melakukan sesuatu. Dan begitu saja Fea manut?
Rania tidak habis pikir. Sahabatnya itu sudah punya Irvan sekarang. Lalu kenapa masih segitu pusingnya dengan Arnon. Apa dia tidak mau melepas Arnon? Kalau begini, bisa runyam urusannya nanti dengan Irvan.
"Aku sama sekali ga bisa paham dengan cara berpikir kamu, Fea." Rania menggumam dan menggeleng kesal. Dia pun membereskan meja, sudah waktunya pulang.
Rania baru berdiri, Irvan muncul.
"Ran, Fea mana?" Pria itu bertanya pada Rania karena tidak ada Fea di tempatnya.
"Eehhh ..." Rania bingung. Dia mau jawab apa coba? "Dia sudah balik."
"Balik? Pulang? Kok cepat? Apa dia sakit?" Irvan agak kaget. Fea biasanya akan memberitahu jika dia mau pulang.
"Nggak, sih. Kayaknya dia ada keperluan. Ga kasih tahu juga sama aku. Cuma harus segera balik." Nada suara Rania tidak meyakinkan.
Irvan cepat mengeluarkan ponsel dan menelpon Fea. Dia melangkah keluar kantor tanpa bicara apa-apa lagi pada Rania. Rania tahu, Irvan resah.
Fea tidak mengangkat ponsel. Tapi tepat dari depan pintu, Irvan melihat mobil keren yang pernah datang mengantar Fea pagi-pagi ke kantor ini, tampak berjalan meninggalkan tempat parkir.
"Arnon." Irvan bicara lirih. Hatinya mulai mendidih. Fea bahkan tidak bilang apa-apa jika dia pergi dengan lelaki playboy itu.
Irvan harus bergerak cepat. Jika dia biarkan, sangat mungkin Arnon akan mempermainkan Fea. Mungkin selama ini tidak, siapa yang tahu berikutnya. Entah kenapa, Irvan merasa dia adalah ancaman buat Arnon. Sebaliknya Arnon juga ancaman untuk Irvan.
Irvan mengirim pesan pada Fea.
- Fea, sudah pulang? Aku ke meja kamu, kamu sudah pergi.
Terkirim, tapi belum direspon. Irvan menyimpan lagi ponsel di kantong celananya dan kembali ke ruangannya. Tidak dia kira, mengejar Fea dua tahun mulai membuahkan hasil, sekarang harus berhadapan dengan Tuan Muda Hendrawan. Apakah dia mampu mengikat Fea?
*****
Mobil Arnon berbelok ke sebuah resto mewah di pinggir kota. Resto baru Arnon yang akan segera dibuka. Resto masih dalam tahap finishing. Tapi hari ini, kejutan yang dia siapkan buat Fea, sengaja dia lakukan di resto itu.
Dia sulap satu ruangan menjadi indah dan elegan. Meski di luar masih belum total beres, begitu masuk dalam ruangan itu Fea terpana. Dinding seluruhnya ditutup kain berwarna beige manis. Dengan meja dan dua kursi di tengah ruangan, siap menyambut Fea dan Arnon menikmati makan malam istimewa.
"Arnon ..." Fea melihat Arnon yang berdiri di sisi Fea.
"Bagaimana? Kamu suka?" Arnon bertanya dengan senyum cerah di wajahnya.
"Kamu siapkan ini buat aku?" Fea menghadapkan tubuhnya pada pria yang tak pernah hilang dari pikirannya itu.
"Kejutan pertama." Arnon meraih lengan Fea, menggandeng gadis itu dan mengajak Fea duduk.
Di meja tersedia makanan lezat yang siap disantap. Ini menu yang memang sangat mewakili Fea. Dengan plating cantik, membuat selera makan meningkat.
Mata Fea berbinar. Sangat senang, tentu saja. Kejutan Arnon untuknya. Janji Arnon akan memberi perhatian padanya, dia mulai lakukan. Menyenangkan sekali.
"Kamu sudah lelah bekerja, menikmati makan malam yang manis dan romantis sangat pantas. Betul, tidak?" Arnon mulai mengambilkan makanan di piring Fea.
"Hei, aku ambil sendiri. Kalau kamu yang ambil, porsinya nanti ..."
"Tenang, Cantik, Arnon tahu Fea dengan sangat baik." Cepat Arnon menyela.
Fea tidak meneruskan kata-katanya. Dia perhatikan Arnon melayani. Sekarang menu pertama ada di depan Fea. Juga Arnon.
"Kita bisa mulai makan sekarang." Arnon tersenyum.
"Aku berdoa dulu." Segera Fea menundukkan kepala dan mengucapkan doa dalam hati. Memang makanan yang ada di depannya, tapi doa Fea adalah Tuhan berikan kebahagiaan buat Arnon. Buat pria istimewa ini menyadari hal-hal penting yang selama ini dia abaikan.
"Amin," ucap Arnon begitu Fea mengangkat kepalanya. Fea tersenyum.
Arnon memang pintar membuat kejutan buat wanita. Sudah jadi keahliannya sama seperti dia chef handal, mahir mengolah apa saja menjadi makanan lezat. Kali ini adalah langkah awal dia membuat Fea akan mendengarkan dia. Dia akan buat Fea gembira bersamanya, lalu dia akan minta Fea tetap mendampinginya. Tidak malam ini, Arnon harus sabar. Dia akan cari saat yang paling tepat.
"Fea, beberapa waktu lalu, aku bicara banyak dengan Riko. Kamu tahu Riko, kan?" Arnon melirik Fea lalu kembali melihat piringnya, meneruskan memotong daging dengan pisau dan garpu.
"Tentu. Bicara apa?" Fea menusuk daging dengan garpu dan menyuap ke mulutnya.
"Aku bertanya padanya, mengapa dia bisa bertahan dengan seorang wanita saja selama hidupnya, dalam sebuah pernikahan." Tenang Arnon berkata. Tapi dia yakin ini akan membuat Fea menyikapi dengan serius.
Benar. Fea meletakkan garpu dan pisau yang dia pegang. Dia menatap lurus pada Arnon.
"Kamu tanyakan itu?" Fea mau meyakinkan dirinya jika Arnon ingin tahu soal pernikahan.
"Ya." Arnon mengangguk.
"Apa yang Pak Riko katakan?" Fea ganti bertanya, penasaran.
Arnon pun mengungkapkan apa yang Riko katakan. Makna sebuah pernikahan. Mengapa itu penting dan sakral. Bagaimana sebuah kesetiaan sangat berarti dalam hubungan wanita dan pria.
Fea tersenyum mendengar Arnon mengatakan semua itu. Rasanya seperti bukan Arnon saja yang bicara. Tapi Fea senang, artinya Arnon mulai membuka pikirannya tentang nilai sebuah hubungan. Bukan melulu soal luapan hasrat di atas kasur, tapi jauh lebih dalam dari itu. Tentang bagaimana kasih dan setia saling bertaut dalam sebuah hubungan cinta yang diikat dalam sebuah pernikahan.
"Jadi, apa yang kamu pikirkan sekarang?" tanya Fea lagi. Dia melanjutkan menikmati makanannya.
"Agak aneh. Tapi aku coba memahaminya. Nampaknya agak mirip dengan kita." Arnon juga melanjutkan makan.
"Mirip apanya?" Fea heran dengan perkataan Arnon.
"Kita seperti pasangan saja, ga bisa dipisah. Saling setia. Bagaimana menurut kamu?" Senyum Arnon mengembang manis.
Oh, tidak! Apa arti kalimat ini? Kenapa Arnon bicara begini? Meskipun jika direnungkan ada benarnya. Arnon dan Fea tak terpisahkan. Bersahabat, berjanji akan tetap bersama sampai dewasa. Dan itu yang mereka lakukan.
"Awalnya aku susah menerima itu. Tetapi saat aku ingat kamu dan aku, juga hubungan kita, itu make sense buat aku." Senyum Arnon masih tersisa di bibirnya yang tipis dan bagus itu.
"Ya ... Sedikit mirip la ..." Fea merasa detak jantungnya begitu kencang sekarang.
Perbincangan berlanjut. Arnon tidak melangkah lebih jauh. Dia hanya memancing Fea hingga di titik itu. Dia akan buat kejutan yang kedua, di sana dia akan selangkah lebih maju, membuat Fea makin bertanya-tanya.
Hingga jam setengah sembilan malam, baru mereka tiba kembali di rumah. Begitu turun dari mobil, HP Arnon bergetar. Arnon mengangkat telpon. Dari Widya. Wanita itu bilang rindu dan ingin menikmati malam dengan Arnon.
Fea yang mendengar Arnon menyebut nama Widya, seketika menjadi ciut. Ya, para wanita itu akan terus beredar di sekitar Arnon. Mana bisa Arnon berubah. Hampir mustahil.
Fea melangkahkan kaki, ingin mendahului Arnon menuju ke kamarnya. Tiga langkah, Arnon menarik lengan Fea.
"Sorry, aku tidak bisa kali ini. Kamu cari teman lain saja. Oke?" Dan Arnon menutup telpon.
Fea menoleh dan menatap Arnon. Dia menolak Widya? Biasanya Arnon akan semangat, lalu segera pergi jika Widya menghubungi.
"Yuk," ujar Arnon.
Masih dengan tangan menggandeng Fea, Arnon mengantarkan gadis itu hingga di depan kamarnya.
"Terima kasih buat malam ini. Selamat istirahat. Tunggu kejutanku selanjutnya." Lembut Arnon berkata.
Fea merasa jantungnya kembali bergelora.
"Sleep tight." Dan Arnon mendekatkan wajahnya, dia kecup pipi Fea, lalu melangkah meninggalkan Fea yang berdiri mematung.
Fea menyentuh pipinya, pelan dia berucap, "Arnon ..."
Apa arti semua ini?
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t