Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi.
"Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah. Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon. "Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai. "Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pun akhirnya akan beralih, bisa merasakan cinta buat pria baik hati ini. Setelah mereka puas menikmati hidangan makan malam, Irvan mengajak Fea ke alun-alun kota. Mereka berjalan-jalan di sekeliling kolam dengan penuh bunga teratai. Di atas, langit terang meski bukan tidak penuh, indah dengan bintang beberapa di sekitarnya. "Aku masih seperti mimpi, Fea, kamu menerima cintaku." Irvan meraih bahu Fea dan merangkulnya dari samping. Fea seketika ingat Arnon. Selama ini hanya sahabat kecilnya itu yang memeluknya seperti ini. Kali ini Irvan, ada di sisi Fea. Kenapa Fea merasa Irvan merebut tempat Arnon? "Aku, aku ga tahu mau bilang apa. Kita baru proses lebih saling mengenal. Aku ga mau janji apa-apa, Ir. Sabar sama aku." Fea berkata lirih. Muncul di kepalanya, Arnon melirik dengan tatapan marah padanya. "Tentu. Aku sudah dua tahun menunggu, menunggu sedikit lagi tidak akan masalah." Irvan merasa sedikit ciut lagi kali ini. Bahkan saat mengatakan bersedia bersama, Fea masih terus mengingatkan, dia belum tentu bisa cinta padanya. Sesulit itu mendapat hati Fea. *****Apartemen itu tidak gelap seperti biasanya. Lampu menyala hampir di seluruh ruangan. Sisa makan malam romantis masih terlihat di ruang makan. Tapi penghuninya tidak ada di sana. Kamar utama sedikit terbuka. Di atas kasur besar itu tampak aktivitas panas dua manusia yang saling melepas hasrat. Gladys begitu bersemangat meraih Arnon, menyentuh, mencium, melakukan apa saja untuk memuaskan dirinya. Arnon tiba-tiba mendorong Gladys dan duduk dengan tangan menangkup wajahnya. Arnon tidak bisa meneruskannya. Bayangan Fea terus menguasai pikirannya. Dia sangat tidak menikmati kegiatannya malam ini.Gladys tentu saja terkejut. Arnon memang tidak seperti biasa. Dia tidak pernah kaku dan dingin begini. "Arnon, are you okay?" Gladys menyentuh lengan Arnon. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pria itu. Ya, tidak biasanya dia begini. Kalau Arnon sedang suntuk, berolahraga di atas ranjang akan membuat dia bersemangat lagi. "Gladys, kamu pulang saja. Aku sangat lelah." Arnon meraih pakaiannya dan memakainya kembali. "Kenapa denganmu, Arnon?" Gladys menatap Arnon tak percaya. Dia benar-benar aneh. "Aku ingin sendiri." Arnon keluar kamar, menuju ke balkon. Dia tinggalkan Gladys yang menatap ke arahnya dengan wajah bingung. Arnon berdiri di sisi pagar, melihat ke langit. Bulan tidak penuh tapi cantik. Di sebelah sang rembulan, Arnon melihat Fea, menunduk dengan sedih. "Aku tidak bahagia, Ar. Aku ingin menikah, aku wanita normal. Biarkan aku pergi. Ada pria baik yang menungguku." Kata-kata itu sangat mengganggu Arnon. Fea tidak bahagia bersama dia? Lalu selama ini? Sebenarnya apa yang ada di hati Fea? Sungguhkah dia terpaksa tetap tinggal di rumah keluarga Hendrawan? Hanya karena janjinya pada Arnon yang dia katakan janji masa kanak-kanak itu? Jadi sebenarnya Arnon tidak berarti apa-apa untuk Fea? Entah kenapa memikirkan ini Arnon makin gelisah. Dia ingin cepat bertemu Fea dan bicara tentang kegelisahan yang dia rasa padanya. Selama ini mungkin Arnon tidak mendengar hati Fea yang sebenarnya. Benar, dia harus pulang. Arnon kembali ke dalam kamar. Gladys sudah kembali memakai pakaiannya. Melihat Arnon masuk, dia menatap lagi pada pria itu. "Arnon honey, kamu baik-baik saja?" Kembali Gladys bertanya. "Aku pulang. Jika kamu masih mau di sini terserah." Dingin ucapan Arnon. Dia meraih jasnya yang tergeletak di kursi dekat pintu, lalu keluar. Gladys mendesah. Pasti ada yang tidak beres. Benar-benar aneh. Arnon cepat-cepat menuju rumah. Dia harus menemui Fea. Ini sudah jam setengah sembilan malam, gadis itu pasti ada di kamarnya. Jam begini Fea paling nonton drakor atau membaca buku. Begitu tiba di rumah, Arnon berjalan cepat hendak ke kamar Fea. Belum sampai sepuluh meter, Arnon mendengar suara mobil masuk ke tempat parkir. Arnon menoleh, melihat siapa yang datang malam begini. Mobil berwarna hitam, lumayan bagus. Tapi Arnon tidak tahu itu siapa. Dia belum pernah melihat mobil itu datang ke rumah ini. Arnon menunggu siapa yang keluar dari mobil itu. Mata Arnon melebar saat tahu Fea yang muncul. Jadi dia belum pulang? Dan di sisi lain mobil seorang pria gagah keluar dari mobil itu. Dia mendekati Fea, memegang tangannya, lalu dia akan mencium Fea? Arnon mengangkat kakinya mau menghampiri, tapi dia lihat Fea mendorong laki-laki itu agar menjauh. Arnon mengurungkan langkahnya. Pria itu kembali masuk ke dalam mobil, lalu dia pergi. Fea masih berdiri di sana, melihat hingga mobil itu berlalu, kemudian melangkah ke arah kamarnya, ke arah tempat Arnon berdiri. Fea semakin dekat, dia terkejut Arnon ada di depannya, memandang dengan wajah ketus padanya. "Arnon ..." ucap Fea. Dadanya berdetak begitu cepat sekarang. Dia tahu Arnon pasti bertanya dan marah melihat Fea dengan pria lain. "Sampai semalam ini baru pulang? Kamu dari mana?" Arnon bertanya dengan nada kaku, sedikit ketus. "Aku pergi makan malam." Fea merasa jantungnya tidak bisa berdetak normal. Tapi dia tidak akan membohongi Arnon. Dia akan katakan saja apa adanya. "Siapa laki-laki itu?" Arnon melanjutkan pertanyaannya. "Dia kekasihku." Fea memandang Arnon. Dadanya masih bergemuruh. "Kekasih? Kamu pacaran sama dia?" Arnon menyahut cepat. "Iya, Ar. Dia sangat sayang padaku. Dia serius. Sudah lama dia ingin menjadi kekasihku. Kalau dia ga beneran sayang, pasti sudah lama dia cari cewek lain." Hati-hati Fea berkata. Hati Arnon panas. Jadi Fea tidak berbohong kalau dia tidak bahagia, dia ingin menikah, dan keluar dari rumah ini. "Kamu cinta dia?" Pertanyaan ini membuat Fea merasa lehernya tercekat. Dia tidak menjawab, hanya menatap lurus pada Arnon. "Fea!" Arnon sedikit menyentak. "Ehh ... aku ... akan belajar sayang sama dia. Aku tahu dia pria baik dan bisa memberikan hidup yang aku impikan." Fea memberanikan diri mengatakan apa yang dia pikirkan dan harapkan. Arnon melangkah maju. Sekarang dia berhadapan dekat dengan Fea. Hatinya tidak terima Fea mengatakan ini. Tidak rela Fea bersama pria lain. "Apa kamu benar-benar tidak bahagia di sini? Bersamaku?" Arnon sedikit menunduk, sedang Fea sedikit mendongak. Mata mereka bertemu. Jantung keduanya sama-sama berdetak cepat. Tatapan Arnon bercampur rasa marah, tatapan Fea bercampur sedih dan takut, serta rasa bersalah. "Arnon, meskipun kita bersahabat sejak kecil, saling menolong, karena kita berjanji akan terus bersama, dunia kita berbeda. Tujuan hidup kamu dan aku tidak sejalan. Aku tidak mungkin terus di sisi kamu. Apakah aku salah ingin meraih harapanku?" Panas dingin Fea mengatakan ini.Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b