Share

7. Kencan Pertama, Benarkah?

Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. 

Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. 

Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. 

"Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. 

"Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenangkan diri." Arnon menjawab dengan tatapan tetap lurus. 

"Ah, Sayangku ... Justru itu kesempatan baik buat aku. Ketika kamu merasa kacau, aku akan menata kembali hatimu, juga tubuhmu ..." Tangan Gladys menyentuh lembut dada Arnon. 

"Gladys, aku ada banyak pekerjaan hari ini. Hingga selesai makan siang masih ada urusan. Kalau kamu sabar, sore dan malam ini oke, aku akan luangkan waktu bersama kamu." Sekarang Arnon memutar kursinya, memandang pada Gladys yang segera memajukan wajahnya, menempelkan kening dan hidungnya pada kening dan hidung Arnon. 

"Baiklah, Sayang, aku punya banyak waktu buatmu. Bahkan sampai besok. Aku tunggu di apartemen kamu. Oke?" Gladys kembali melepas kecupan mesra buat Arnon. 

Gladys melangkah keluar. Arnon hanya menatapnya. Setelah pintu kantor kembali tertutup, Arnon kembali melihat pada pigura di mejanya. Entah kenapa Arnon ingat yang Fea katakan padanya. 

"Aku tidak akan membiarkan seorang laki-laki mengajak aku bercinta kecuali dia sudah jadi suamiku. Karena kehormatan seorang wanita ketika dia bisa memberi dirinya utuh setelah pernikahan pada suaminya, pada orang yang dia cintai."

Arnon tersenyum kecil di ujung bibirnya. Fea sangat kuno, itu yang Arnon lihat jika bicara soal hubungan pria dan wanita. Tapi Arnon justru senang, karena Fea tidak akan membiarkan sembarangan pria menyentuh dia. Bahkan sejauh ini, hanya Arnon yang bisa begitu dekat memeluk dan memberi kecupan, meski hanya di kepala atau di kening gadis itu. 

"Okelah. Kerja, Arnon. Fokus dengan pekerjaan kamu. Huufhh!!" Arnon melepas hembusan nafas berat, lalu dia memulai pekerjaannya. 

Ada banyak yang perlu dia periksa, apalagi pembukaan tiga resto barunya makin dekat waktunya. Tidak ada waktu bersantai. Setidaknya hingga jam 6 sore, Arnon punya waktu untuk mengatur segala sesuatu. 

****

Hari itu berlalu dengan cepat. Fea cukup sibuk dengan urusan data yang harus dia pelototi. Harus teliti dan jeli, jangan sampai ada kesalahan. Kalau berurusan dengan angka, beda satu angka saja bisa runyam ke mana-mana. 

Ya, Fea menjadi salah satu tim akuntan di salah satu hotel di kota cantik dan sejuk tempat dia tinggal itu. Laporan berderet-deret seperti tidak ada habisnya. Mata sampai terasa lelah dan pedas. 

"Fea, hampir jam empat. Kamu ga siap-siap?" Rania kembali mendekati Fea. 

Fea tidak menjawab. Dia masih fokus yang dia kerjakan. Dia tuntaskan sampai hitungan selesai, baru dia menoleh pada Rania. 

"Terus? Aku harus sorak sorai dan lompat-lompat kalau udah jam empat?" ujar Fea. Dia menggeleng sambil tersenyum geli membayangkan dirinya sendiri berlompatan kayak bocah. 

"Lupa atau apa, sih?" Rania menopang dagunya menatap Fea. "Kencan pertama, Cinta. Sama Irvan. Hmm?"

"Kencan pertama? Ngarang. Aku cuma diajak makan malam," tangkis Fea. Dia balik melotot pada angka-angka di layar komputernya. 

"Kamu, memang. Tetap saja mesti jaga penampilan. Yang cantik dan segar. Sana, siapin diri. Ini angka-angka ga akan ngambek kalau kamu ga hitung hari ini," tukas Rania. 

"Ih, kamu ini. Tanggung jawab nomor satu. Urusan hati ngalah bentar." Fea tetap fokus pada layar. 

"Aduh, capek, deh. Ada cewek kayak kamu. Untung Irvan bisa cinta segitu dalam sama kamu, Fe." Rania cuma angkat bahu dengan kelakuan Fea. 

"Kalau dia mau ya Fea kayak gini. Ga bisa terima cari yang lain aja." Fea menyahut tanpa menoleh. 

Gemes, sambil menggeleng keras, Rania balik lagi ke mejanya. Fea cuma nyengir. 

Setengah jam berikut, Fea hampir mematikan komputer, Irvan muncul. 

"Sore, Fea. Udah selesai?" Suara berat tapi lembut itu menerpa telinga Fea. 

Fea menoleh dan mengangkat kepala. "Dua menit lagi, Pak. Masih mematikan komputer."

"Oke. Berarti aku tepat waktu." Senyum manis Irvan mengembang. Pria berkulit putih dengan mata agak lebar ini cukup ganteng. Lumayan gagah dan tinggi, meski Arnon masih beberapa senti lebih tinggi darinya. 

Fea meraih tasnya, berdiri dan mengikuti langkah Irvan. Senyum Rania lebar padanya, dengan dua jempol teracung di depan wajah yang senang melihat Fea akhirnya menerima ajakan Irvan. 

Fea hanya menarik bibir, tersenyum di ujung. Segera dia mengejar Irvan yang sudah melangkah keluar kantor. Saat Fea masuk dalam mobil keren milik Irvan, dia merasa canggung. Dia tidak pernah pergi dengan cowok seperti ini. Hanya dengan Arnon, dia pernah pergi berdua, sekalipun itu hanya jalan bersama antara dua sahabat. 

"Kamu suka makanan Jepang?" Irvan bertanya sementara mobil sudah meluncur di jalanan. 

"Aku bisa makan apa saja, Pak," jawab Fea. 

"Ini sudah di luar kantor, Fea. Ga usah panggil Pak lagi. Kaku banget jadinya," ujar Irvan sambil tersenyum tipis. 

"Sorry. Udah kebiasaan, Ir." Fea pun tersenyum. 

Mobil terus melaju menuju sebuah resto berkelas di pusat kota. Sampai di sana suasana cukup ramai. Tapi Irvan sudah memesan tempat khusus untuk dia dan Fea. Di lantai atas, ruang VIP. Fea makin tidak nyaman. Apa harus sampai begini juga mengajak dia makan malam saja? 

"Aku sangat senang dan berterimakasih kamu bersedia menerima undanganku malam ini." Irvan memandang Fea. "Rasanya seperti mimpi jadi nyata."

"Kamu berlebihan. Kita di kantor sering makan bareng pas jam istirahat, kok." Fea tersenyum lebih lepas kali ini. 

"Beda, Fea. Ini khusus kita berdua. Karena kamu tahu aku ada sesuatu dengan kamu. Dan aku ingin sekali lagi minta kamu mau menerima cintaku. Aku sungguh sayang kamu." Irvan tidak buang-buang waktu lagi. Segera saja dia tembak Fea yang kesekian kalinya. 

"Ir, kamu tahu aku tidak cinta sama kamu. Tapi, aku mau memikirkan untuk menjalani hubungan yang lebih dengan kamu. Cukup lama kamu terus saja mencoba meruntuhkan hatiku. Kurasa, memberi kamu kesempatan dan juga untuk diriku sendiri tidak ada salahnya." Fea membalas pandangan Irvan. 

Irvan lega mendengar itu. Dia senang Fea jujur mengatakan apa adanya yang dia rasa. Tapi dia yakin, akhirnya dia akan bisa memenangkan hati gadis cantik berambut coklat indah ini. 

Diraihnya kedua tangan Fea. Dia genggam lembut, Fea tidak menolak. Ah, ini langkah awal yang baik. 

"Terima kasih sekali lagi, Fe. Aku akan lakukan apapun agar kamu bisa bahagia." Senyum manis Irvan kembali melebar. Lesung pipi yang bagus muncul di sana. Irvan memang tampan. 

Tapi hati Fea berteriak. Ini salah! Fea tidak boleh melangkah keluar dari jalur yang dia lewati selama ini. Fea sedang bermain api. Dia sedang membahayakan dirinya dan juga Irvan. 

Benarkah? Irvan sangat baik. Kenapa menerima seseorang yang mencintai adalah suatu kesalahan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status