Home / Romansa / Andai Semua Berbeda / 7. Kencan Pertama, Benarkah?

Share

7. Kencan Pertama, Benarkah?

last update Last Updated: 2021-04-26 07:05:24

Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. 

Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. 

Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. 

"Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. 

"Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenangkan diri." Arnon menjawab dengan tatapan tetap lurus. 

"Ah, Sayangku ... Justru itu kesempatan baik buat aku. Ketika kamu merasa kacau, aku akan menata kembali hatimu, juga tubuhmu ..." Tangan Gladys menyentuh lembut dada Arnon. 

"Gladys, aku ada banyak pekerjaan hari ini. Hingga selesai makan siang masih ada urusan. Kalau kamu sabar, sore dan malam ini oke, aku akan luangkan waktu bersama kamu." Sekarang Arnon memutar kursinya, memandang pada Gladys yang segera memajukan wajahnya, menempelkan kening dan hidungnya pada kening dan hidung Arnon. 

"Baiklah, Sayang, aku punya banyak waktu buatmu. Bahkan sampai besok. Aku tunggu di apartemen kamu. Oke?" Gladys kembali melepas kecupan mesra buat Arnon. 

Gladys melangkah keluar. Arnon hanya menatapnya. Setelah pintu kantor kembali tertutup, Arnon kembali melihat pada pigura di mejanya. Entah kenapa Arnon ingat yang Fea katakan padanya. 

"Aku tidak akan membiarkan seorang laki-laki mengajak aku bercinta kecuali dia sudah jadi suamiku. Karena kehormatan seorang wanita ketika dia bisa memberi dirinya utuh setelah pernikahan pada suaminya, pada orang yang dia cintai."

Arnon tersenyum kecil di ujung bibirnya. Fea sangat kuno, itu yang Arnon lihat jika bicara soal hubungan pria dan wanita. Tapi Arnon justru senang, karena Fea tidak akan membiarkan sembarangan pria menyentuh dia. Bahkan sejauh ini, hanya Arnon yang bisa begitu dekat memeluk dan memberi kecupan, meski hanya di kepala atau di kening gadis itu. 

"Okelah. Kerja, Arnon. Fokus dengan pekerjaan kamu. Huufhh!!" Arnon melepas hembusan nafas berat, lalu dia memulai pekerjaannya. 

Ada banyak yang perlu dia periksa, apalagi pembukaan tiga resto barunya makin dekat waktunya. Tidak ada waktu bersantai. Setidaknya hingga jam 6 sore, Arnon punya waktu untuk mengatur segala sesuatu. 

****

Hari itu berlalu dengan cepat. Fea cukup sibuk dengan urusan data yang harus dia pelototi. Harus teliti dan jeli, jangan sampai ada kesalahan. Kalau berurusan dengan angka, beda satu angka saja bisa runyam ke mana-mana. 

Ya, Fea menjadi salah satu tim akuntan di salah satu hotel di kota cantik dan sejuk tempat dia tinggal itu. Laporan berderet-deret seperti tidak ada habisnya. Mata sampai terasa lelah dan pedas. 

"Fea, hampir jam empat. Kamu ga siap-siap?" Rania kembali mendekati Fea. 

Fea tidak menjawab. Dia masih fokus yang dia kerjakan. Dia tuntaskan sampai hitungan selesai, baru dia menoleh pada Rania. 

"Terus? Aku harus sorak sorai dan lompat-lompat kalau udah jam empat?" ujar Fea. Dia menggeleng sambil tersenyum geli membayangkan dirinya sendiri berlompatan kayak bocah. 

"Lupa atau apa, sih?" Rania menopang dagunya menatap Fea. "Kencan pertama, Cinta. Sama Irvan. Hmm?"

"Kencan pertama? Ngarang. Aku cuma diajak makan malam," tangkis Fea. Dia balik melotot pada angka-angka di layar komputernya. 

"Kamu, memang. Tetap saja mesti jaga penampilan. Yang cantik dan segar. Sana, siapin diri. Ini angka-angka ga akan ngambek kalau kamu ga hitung hari ini," tukas Rania. 

"Ih, kamu ini. Tanggung jawab nomor satu. Urusan hati ngalah bentar." Fea tetap fokus pada layar. 

"Aduh, capek, deh. Ada cewek kayak kamu. Untung Irvan bisa cinta segitu dalam sama kamu, Fe." Rania cuma angkat bahu dengan kelakuan Fea. 

"Kalau dia mau ya Fea kayak gini. Ga bisa terima cari yang lain aja." Fea menyahut tanpa menoleh. 

Gemes, sambil menggeleng keras, Rania balik lagi ke mejanya. Fea cuma nyengir. 

Setengah jam berikut, Fea hampir mematikan komputer, Irvan muncul. 

"Sore, Fea. Udah selesai?" Suara berat tapi lembut itu menerpa telinga Fea. 

Fea menoleh dan mengangkat kepala. "Dua menit lagi, Pak. Masih mematikan komputer."

"Oke. Berarti aku tepat waktu." Senyum manis Irvan mengembang. Pria berkulit putih dengan mata agak lebar ini cukup ganteng. Lumayan gagah dan tinggi, meski Arnon masih beberapa senti lebih tinggi darinya. 

Fea meraih tasnya, berdiri dan mengikuti langkah Irvan. Senyum Rania lebar padanya, dengan dua jempol teracung di depan wajah yang senang melihat Fea akhirnya menerima ajakan Irvan. 

Fea hanya menarik bibir, tersenyum di ujung. Segera dia mengejar Irvan yang sudah melangkah keluar kantor. Saat Fea masuk dalam mobil keren milik Irvan, dia merasa canggung. Dia tidak pernah pergi dengan cowok seperti ini. Hanya dengan Arnon, dia pernah pergi berdua, sekalipun itu hanya jalan bersama antara dua sahabat. 

"Kamu suka makanan Jepang?" Irvan bertanya sementara mobil sudah meluncur di jalanan. 

"Aku bisa makan apa saja, Pak," jawab Fea. 

"Ini sudah di luar kantor, Fea. Ga usah panggil Pak lagi. Kaku banget jadinya," ujar Irvan sambil tersenyum tipis. 

"Sorry. Udah kebiasaan, Ir." Fea pun tersenyum. 

Mobil terus melaju menuju sebuah resto berkelas di pusat kota. Sampai di sana suasana cukup ramai. Tapi Irvan sudah memesan tempat khusus untuk dia dan Fea. Di lantai atas, ruang VIP. Fea makin tidak nyaman. Apa harus sampai begini juga mengajak dia makan malam saja? 

"Aku sangat senang dan berterimakasih kamu bersedia menerima undanganku malam ini." Irvan memandang Fea. "Rasanya seperti mimpi jadi nyata."

"Kamu berlebihan. Kita di kantor sering makan bareng pas jam istirahat, kok." Fea tersenyum lebih lepas kali ini. 

"Beda, Fea. Ini khusus kita berdua. Karena kamu tahu aku ada sesuatu dengan kamu. Dan aku ingin sekali lagi minta kamu mau menerima cintaku. Aku sungguh sayang kamu." Irvan tidak buang-buang waktu lagi. Segera saja dia tembak Fea yang kesekian kalinya. 

"Ir, kamu tahu aku tidak cinta sama kamu. Tapi, aku mau memikirkan untuk menjalani hubungan yang lebih dengan kamu. Cukup lama kamu terus saja mencoba meruntuhkan hatiku. Kurasa, memberi kamu kesempatan dan juga untuk diriku sendiri tidak ada salahnya." Fea membalas pandangan Irvan. 

Irvan lega mendengar itu. Dia senang Fea jujur mengatakan apa adanya yang dia rasa. Tapi dia yakin, akhirnya dia akan bisa memenangkan hati gadis cantik berambut coklat indah ini. 

Diraihnya kedua tangan Fea. Dia genggam lembut, Fea tidak menolak. Ah, ini langkah awal yang baik. 

"Terima kasih sekali lagi, Fe. Aku akan lakukan apapun agar kamu bisa bahagia." Senyum manis Irvan kembali melebar. Lesung pipi yang bagus muncul di sana. Irvan memang tampan. 

Tapi hati Fea berteriak. Ini salah! Fea tidak boleh melangkah keluar dari jalur yang dia lewati selama ini. Fea sedang bermain api. Dia sedang membahayakan dirinya dan juga Irvan. 

Benarkah? Irvan sangat baik. Kenapa menerima seseorang yang mencintai adalah suatu kesalahan? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Andai Semua Berbeda   Extra Part - The Double Twins

    Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba

  • Andai Semua Berbeda   235. Andai Semua Berbeda

    Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa

  • Andai Semua Berbeda   234. Senyum Berubah Menjadi Rasa Cemas

    Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu

  • Andai Semua Berbeda   233. Jangan Lepaskan

    Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"

  • Andai Semua Berbeda   232. Tumpeng Buat Tinah

    Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.

  • Andai Semua Berbeda   231. Tak Mudah Menyelami Hati

    "Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status