Share

9. Permintaan Fea

Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia. 

Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi? 

"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea. 

"Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji mereka. 

"Kamu ..." Arnon ingin bicara tapi dia juga bingung akan mengatakan apa. 

"Kita akan tetap bersahabat, Ar. Tetap bisa berkomunikasi. Kapan saja kontak aku. Aku akan bantu kamu, akan tetap begitu," ujar Fea. Dia merasa sesuatu yang menekan dadanya. Dia mengucapkan semua ini, tapi jauh di dasar hatinya dia tak ingin pergi dari hidup Arnon.

"Maksud kamu, kamu akan segera pergi?" Arnon makin tajam memandang Fea. 

"Arnon ... Aku bukan bagian keluarga ini. Aku tidak akan nyaman jika kekasihku datang ke rumah ini. Tidak pantas. Jadi, aku akan cari tempat tinggal lain. Kurasa dekat kantor saja ..."

"Fea!" Kali ini nada suara Arnon meninggi. Matanya mulai melebar dan menyala. 

Fea merasa gugup tiba-tiba. Arnon marah. Ya, jika Fea bicara soal keluar rumah ini, dia selalu marah. 

"Please ... Jangan marah dulu, Ar." Fea membujuk Arnon. 

"Sampai kapanpun aku ga akan ijinkan kamu keluar rumah ini. Aku, aku ga perlu mengulang kata-kataku lagi." Arnon mendengus lalu berbalik dan meninggalkan Fea. 

Arnon berjalan ke arah rumah. Dia melihat jendela yang sedikit terbuka. Mamanya berdiri di sana memandang ke arahnya dan Fea. Arnon meneruskan langkah menuju ke kamarnya. Hatinya makin galau. Dia pulang ingin menenangkan diri, justru makin kacau menemukan Fea bersama laki-laki lain. 

Sedang Fea, dengan lesu berjalan menuju ke kamarnya. Dia duduk di depan meja rias. Dia ambil jam tangan pemberian Irvan. Dia perhatikan jam tangan mungil itu. Memang cantik. Irvan tahu selera Fea. Bukan soal bermerk atau barang mahal, tapi modelnya. Simple dan manis. 

Sekarang Fea pun gelisah. Keputusannya ingin mengejar impiannya kenapa harus menjadi masalah lagi antara dia dan Arnon. Fea meraih ponselnya. Mungkin bicara tidak akan berhasil. Lebih baik dia kirim pesan saja pada Arnon. Mudah-mudahan dia bisa mengerti dan memahami jika sudah membaca pesan Fea. 

- Arnon, aku berterimakasih untuk perhatian kamu padaku. Sejak kecil aku tak kurang apa-apa karena bersama kamu. Kita melewati banyak waktu yang menyenangkan. Aku senang dan selalu gembira. 

Sekarang kita sama-sama dewasa. Sudah saatnya meraih cita-cita kita. Kamu sudah berhasil, bahkan tanpa embel-embel Tuan Hendrawan, kamu meraih sukses. Aku bangga sama kamu. Kamu sudah sampai pada cita-cita kamu, bukan? Menjadi chef terkenal dan punya restoran mewah. 

Ijinkan aku juga meraih harapanku. Aku tak akan melupakan kamu. Tidak mungkin. Kamu bagian penting di hidupku. Tapi, sebagai sahabat, kuharap kamu mendukung keputusanku.

Itu yang Fea tuliskan. 

Fea membaca lagi pesannya sebelum dia mengirim pada Arnon. Apakah dengan kata-kata itu Arnon akan merelakan dia pergi? Sepertinya yang dia tulis cukup jelas dan gamblang. 

"Uufffhh ..." Fea mengangkat jempolnya, akan menekan tombol send. Hatinya ragu-ragu. Tapi mau bagaimana, jika bertemu dan bicara, dia akan selalu kalah dengan Arnon. 

"Lakukan saja, Fea," katanya pada diri sendiri. Lalu dia kirim juga pesan itu. 

Arnon sedang di kamar mandi. Dia menenggelamkan diri di bathup. Dia melepas semua penat dengan berendam lama-lama. 

"Fea ... Kenapa aku tak bisa membiarkan kamu dengan orang lain? Aku marah jika kamu bersama orang lain." Arnon memejamkan mata, bicara di hatinya. 

Bayangan nenek Ellina muncul di matanya. Dia ingat pesan nenek baik hati itu. 

"Tuan Muda, kalau nenek ga ada lagi, jaga Fea, ya ... Dia sendirian, ga punya saudara dan keluarga. Tapi dia sayang Tuan Muda ... Tuan Muda apa tidak keberatan menjaga Fea, menggantikan aku?" Dengan senyum khasnya nenek Ellina berpesan. Saat itu dia terbaring sakit, dengan wajah pucat dia bicara pada Arnon. 

"Tentu, Nek. Aku akan jaga Fea. Aku juga sayang Fea. Dia sudah bantu aku terus sejak dia datang, aku pasti jaga dia, Nek. Aku janji." Itu yang Arnon katakan. Saat itu Fea masih di sekolah. Fea tak pernah tahu janji yang Arnon ucapkan pada nenek Ellina. 

Dan dalam hati Arnon berjanji akan benar-benar melakukan janjinya pada nenek Ellina. Sekalipun waktu itu Arnella agak keberatan Fea tetap di rumah ini setelah nenek Ellina meninggal, Arnon yang ngotot minta agar Fea boleh bekerja meneruskan tugas nenek Ellina. 

Dan bagusnya, papa Arnon setuju. Arnon tahu bukan karena pria itu peduli Fea, tapi dia sudah berhutang nyawa pada kakek Fea. Dia pernah berjanji pada kakek Fea akan menjamin keluarganya karena jasanya pada Ardiansyah. Kakek Fea mendonorkan satu ginjalnya untuk Ardiansyah. Dengan itu Ardiansyah bisa hidup dan sehat hingga sekarang. 

"Sekarang kamu minta pergi dari aku. Fea ... Fea ... Bagaimana bisa aku melepaskan kamu?" Arnon mendesah menengadah menatap langit-langit. 

Menikah. Hidup seperti wanita lain, bahagia dengan keluarganya. Mengapa harus itu yang Fea minta? Arnon tidak merasa kebahagiaan harus diwujudkan dalam sebuah pernikahan. Karena Arnon melihat dari kisah orang tuanya, pernikahan bukan sesuatu yang menjadi jalan kebahagiaan untuk diraih. Pernikahan mereka tidak tulus. Hanya diisi kemunafikan. Mereka berusaha menjaga image di depan semua orang, padahal terlalu banyak luka dan kecewa. 

Arnon tidak mau menjalani hidup seperti itu. Untuk apa? Dia tidak ingin hidup di area yang sama, yang hanya akan menjerat dirinya dan menjadi terkungkung tanpa kebebasan. Di sisi ini dia dan Fea tak pernah bisa bertemu. 

"Fea ... Aku harus bagaimana? Melepasmu? Atau menuruti keinginan kamu? Menikah? Satu-satunya cara aku akan tetap bersama dengan kamu, kita menikah." Hati Arnon terus bergulat. 

Setelah mengucapkan itu dia melotot. Seakan tidak sadar yang baru dia ucapkan. Konyol. Tidak. Pasti itu bukan dirinya. 

Arnon selesai dengan urusan di kamar mandi. Dia segera mengganti pakaiannya. Dia mengambil ponsel dan melihat pesan Fea masuk di sana. Dia membaca dan menyimaknya baik-baik. 

"Fea, kenapa begini? Ini berat sekali. Membayangkan kamu bersama orang lain membuat aku marah, Fea. Aku ga bisa." Arnon bicara dengan tegas seakan Fea ada di depannya. 

Dia meletakkan lagi ponsel itu, tidak membalas pesan Fea. Arnon memilih naik ke atas kasur. Dia pejamkan mata, dan Fea muncul lagi di pikirannya. 

*****

Pagi datang. Arnon cepat-cepat bersiap. Dia akan menemui Fea dan mengantar gadis itu ke kantornya sebelum pergi ke restonya. 

"Arnon, kamu tidak sarapan?" Arnella melihat Arnon berjalan meninggalkan rumah tanpa belok ke ruang makan. 

"Ga lapar." Arnon menjawab tanpa menghentikan langkahnya. 

"Arnon!" panggil Arnella. Dia merasa putranya sedang menuju ke area terlarang yang selama ini dia taruh batas untuk Arnon lewati. 

Arnon hanya melambai dan terus keluar, dia menuju kamar Fea. Tepat, Fea baru keluar, dia tengah mengunci pintu kamarnya. 

"Pagi, Fea." Arnon menyapa. Wajah Arnon datar, tapi tidak marah. 

"Arnon ..." Fea cukup terkejut, Arnon muncul di depannya. 

"Aku antar ke kantor." Masih datar, Arnon bicara. 

"Apa?" Fea menatap Arnon. Dia tak salah dengar, kan? 

*

*

Thank you still reading. Jangan lupa krisan, ya ... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status