Share

5. Bolos.

Hari ini aku sudah berniat bolos sekolah, tapi kalau langsung tidak datang ke sekolah pasti bolosnya tidak seru. Setidaknya sensasi untuk memanjat tembok itu tidak ada duanya. Walaupun biasanya bisa kupanjat dengan mudah. 

Keseruannya ada di teman-temanku, anak-anak manja itu kesulitan memanjat tembok yang tingginya tidak seberapa itu. mereka sering sekali mengeluh tentang tingginya tembok sekolah kami. Padahal hanya beberapa meter saja.

Satu lagi, aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak memakai seragam. Jadi tidak ada yang mengetahui kalau aku perempuan. Bahkan guru-guru saja menganggap aku laki-laki. Menganggapku anak nakal pembuat onar, yang berasal dari keluarga kaya. Wanita itu memang sangat kaya. 

Aku tidak tahu bagaimana papa mengurus identitasku. Sehingga tidak ada yang tau jika aku perempuan. Entah aku harus bersyukur atau khawatir karena hal itu. Satu yang pasti aku akan menjalani hidupku sesuai yang aku mau. Suatu saat aku akan menyingkirkan wanita itu. Wanita jala"ng yang melahirkanku. Eh itu tidak sopan, tapi siapa yang peduli. Dia memang jala*ng. 

"Bim, cabut yuk. Akira dan Rafael udah nunggu di luar," kataku sambil menepuk bahu Bima. Dia menatapku bersemangat dan mengambil tasnya. Tas mahal yang harganya selangit. Hadiah dari Rafael katanya. Padahal tidak ada menarik selain logo yang mencolok. 

"Motor lo di tinggal?" tanyanya lagi. 

"Emang lo mau angkat motor gue, terus lompat tembok?" kataku santai. "Lagian mau diapain juga. Biar aja disini, kalau hilang beli lagi. Kurasa beli satu motor gak buat wanita jala*ng itu jatuh miskin," kataku santai. 

Anak-anak sangat kaget mendengar aku mencela wanita itu terang-terang. Bahkan di depan wanita itu aku berani mengatakan hal kotor itu. Mereka juga membenci keluarga mereka tapi tidak pernah berani mencela orang tua mereka secara terang-terangan. Tidak sepertiku yang langsung menghina dan memaki di depan orang yang kubenci, tanpa takut sama sekali. 

Bahkan aku menghina, laki-laki tua bangka yang yang paling ditakuti  wanita itu. Laki-laki tua yang sangat berkuasa di negara ini. Hampir mendominasi kekuatan politik, ekonomi dan militer. Di depanku dia hanya laki-laki tua yang sedang mencari pewaris, untuk mempertahankan kekuatannya. Ternyata darahku penuh dengan darah kotor, pantas saja aku menjadi iblis kecil.

Papa seorang pembunuh berdarah dingin yang bucin. Ibu seorang wanita jalang yang licik. Kakek orang munafik dan kejam. Sudah lengkap semua kekotoran di darahku. 

"Buruan, jangan lama-lama. Lelet banget, kayak cewek aja," kataku lagi. 

Di koridor kami bertemu dengan Alwi dan Aldo. Melihat kami yang menggendong tas di punggung. Mereka saling melihat dan tersenyum. 

"Ikut," kata Aldo. Berlari ke kelasnya tanpa mendengar jawaban kami. Alwi juga sama, tidak lama kemudian mereka berlari ke arah kami dengan menggendong tas masing-masing. 

Saat kami berjalan ke belakang mencari tembok yang mudah untuk dilompati. Seorang guru melihat kami, menatap tajam kearah kami. 

"Kembali ke kelas," bentaknya. 

"Lanjut," kataku. Lalu berlari menuju tembok. Guru itu mengejar kami dengan susah payah, karena tubuhnya yang gempal. 

"Berhenti kalian," katanya ngos-ngosan. Aku malah menunjukkan jari tengah ku padanya. 

"Berisik," kataku. Membuat wajahnya makin memerah dan terus mengejar kami.

Aku dengan mudah menaiki tembok, tapi Bima agak kesulitan. Sehingga aku harus menantunya. Alwi kewalahan walaupun akhirnya bisa. Sementara Aldo, dia sangat kesulitan. Dia juga panik karena guru semakin dekat. 

Bima bukannya membantu malah tertawa. Aldo semakin panik saat sudah di dekatnya dan bisa meraih kakinya. Dia terlihat sangat panik, wajahnya pun sudah pucat. Saat guru itu mencoba meraih kakinya. Aku terlebih dulu meraih tangannya dan mengangkat ke atas. 

"Anj*ing berat banget lo. Makan apaan sih," kataku saat sudah berhasil membuatnya naik ke atas tembok. 

"Keberatan doa," kata Bima.

"Dosa nonton bok*p," lanjut Alwi. Kami lalu tertawa bersama dan meloncat ke bawah. 

Dengan cepat berlari ke arah mobil Rafael. Tersenyum puas karena bisa lolos dari kejaran guru. 

"Andro lo duduk di depan," perintah Rafael saat aku membuka pintu belakang mobilnya. 

"Si anji*ng gue gimana?" Protes Akira. 

"Lo pindah ke belakang lah." 

Akira menatap Rafael tidak percaya, tapi akhirnya keluar dan pindah ke jok belakang. Aku duduk di samping Rafael, dia langsung tersenyum senang. 

"Pakai sabuk pengamannya," kata Rafael lagi. 

Ternyata bukan aku saya yang merasa aneh dengan sikap Rafael. Alwi, Akira, Aldo dan Bima menatapnya ngeri. 

"As* kenapa lo?" tanyaku tidak percaya. 

"Enggak, cuman ingetin aja."

"Si Rafa otaknya udah gak waras sejak berantem sama lo," kata Bima dan ketiga orang lainnya mengangguk. 

"Mungkin juga sudah terserang penyakit h*mo," kali ini Akira yang mengejek. Alwi dan Aldo diam saja, tidak berani berkomentar. 

Kalau Akira dan Bima, sudah biasa dengan mulut tukang hinanya. Kalau Alwi dan Aldo masih segan dengan Rafael. Mungkin sadar, Rafael jauh lebih kuat dari mereka. 

"Berisik, keluar lo anji*ng," kata Rafael marah. Aku memukul kepalanya, membuatnya melihat ke arahku. "Lo yang berisik, buruan jalan. Lo mau nunggu banci lo disini trus? Nyalain ac mobil lo yang kencang. Darah gue naik, lihat tingkah aneh lo," perintahku padanya. 

Anehnya tanpa protes Rafael langsung melakukan perintahku. Biasanya memaki dan memukul kepalaku balik. Bahkan dia pernah menendangku keluar dari mobilnya dan meninggalkan aku. Terpaksa aku menggunakan taxi untuk menyusul mereka. 

 "Matiin rokok rokok lo, sebelum lo yang gue matiin," kataku tidak main-main saat Bima menyalakan rokok di dalam mobil. Rafael juga menatapnya tajam. Alwi yang mengeluarkan rokok, kembali memasukan rokoknya ke dalam kantong. 

"Iya gue matiin."

Aku paling anti kalau mereka merokok di dalam mobil. Bisa mati keracunan asap rokok kami kalau mereka semua merokok di dalam mobil. 

Aku tidak masalah kalau merokok di ruangan. Aku tidak masalah, aku juga merokok walaupun perokok pasif. Hanya merokok untuk saat-saat tertentu saja. Jangankan merokok, minum juga aku lakukan. Hanya memakai narkoba yang belum aku lakukan. 

Memang tidak ada yang baik dalam diriku. Satu-satunya yang terlihat baik hanya parasku saja, kalau kelakuan. Lebih mirip iblis tidak ada harapan. 

"Mau langsung ke basecamp?" tanya Rafael.

"Cari makan dulu ke tempat biasa. Lapar gue, dari kemarin belum makan."

"Emang di rumah besar lo gak ada makanan?" kata Bima sambil memainkan koreknya, tapi tidak berani menyalakan rokok lagi. 

"Gue beberapa hari ini, gue gak pulang."

"Lo kemana aja?"

"Ngel*nte gue Bim, mayan memanfaatkan muka gue. Biar kagak sia-sia," 

Bima malah memukul kepalaku, disusul tawa yang lainnya. Rafael yang menatapku dingin. Seperti ingin menelanku hidup-hidup. 

"Kalau butuh duit, lo bisa minta ke gue," katanya dingin.

"Si anj*ng lo kira. Harta tua bangka itu gak cukup buat gue hidup. Keluarga lo emang kaya, tapi gue juga gak kalah kaya. Yah, walaupun kebanyakan harta haram sih."

"Si anji*ng malah pamer harta," kata Bima menyela. 

Diantara kami memang Rafael lah yang paling kaya. Untuk urusan harta tidak ada yang bisa menyaingi. Bisnis keluarga sangat besar, kekuatan juga tidak bisa diusik oleh si tua bangka. Karena itu dia memilih jalan aman untuk tidak pernah mengusik keluarga Rafael.

Kira-kira kalau keluarga tau. Aku sering sekali memukul pewaris tunggalnya, aku diapakan ya? Dulu Alwi saja langsung menghajarku saat aku kurang ajar pada Rafael. Aku juga tidak tahu kenapa kami bisa sangat akrab. Padahal aku hanya salah menolongnya saat tawuran antar sekolah. Mungkin yang membuat kami menjadi akrab juga, karena sepupunya tertarik padaku. 

Sepupunya juga yang membuatku dan Rafael bertarung hingga mau mati. Tidak akan kalah sih jika Rafael tidak menendang dadaku. Apalagi pas di daerah itu. Untung tidak sampai pecah, bisa repot sih kalau begitu. 

Rafael memarkirkan mobilnya, kami keluar dari mobil. Memasuki tempat makan yang cukup sederhana. Bagiku kalau enak dimakan pun tempatnya tidak masalah. Hanya Bima dan Akira yang pertama kali datang kesini dengan wajah enggan. Sekarang mereka sudah terbiasa. Anak-anak langsung mengambil posisi duduk yang paling nyaman. Pemiliknya juga langsung tersenyum ramah saat aku masuk kedalam. Langsung menghampiri kami dan menanyakan ingin memesan apa.

"Kayak biasa ya Bang," kataku. 

"Lihat Dek, Bang Andro datang. Makanya nasi goreng trus," kata Lia, istri pemilik tempat ini. Dia menggendong anak laki-lakinya yang berumur dua tahun dan mendekat padaku. 

Aku langsung bangun dari posisi dudukku. Mengambil alih bayi mungil itu dan menggendong. Putra sangat senang berada di gendonganku menciumi pipi dan bibirku berkali-kali. Aku juga membalasnya, dia tertawa-tawa. 

Anak-anak cepat mematikan rokoknya saat aku melirik tajam. Seakan paham apa yang aku maksud. 

"Makasih ya bang Andro. Putra sembuh berkat pertolongan abang" kata Lia haru. Putra memiliki penyakit paru-paru bawaan lahir dan harus dioperasi, tapi butuh biaya yang sangat banyak. Jadi aku gunakan saja, uang haram keluarga kotorku. Lumayan untuk menyelamatkan satu nyawa, semoga saja Putra menjadi anak baik, berbudi pekerti, tidak sepertiku yang minus akhlak.

"Putra sudah sehat sekarang. Jangan sakit lagi," aku mencium bibir Putra, sebelum Rafael mengambil alih dan menggendong bayi mungil itu. Tubuhnya sudah mulai berisi, tanda jika kondisinya sudah membaik.

Rafael cium pipi dan bibir putra. Lalu pipinya merona merah sambil melirikku. Anak-anak mungkin tidak sadar akan kelakuan Rafael. Mereka masih menatap rokoknya merana. Mungkin sudah tidak sabar merasakan nikotin yang dapat memberi rasa senang. 

Aku buru-buru mengambil Putra dari Rafael dan memberikan pada Lia. Rafael kembali duduk dengan wajah masih memerah. 

"Balik sana, di sini banyak asap rokok gak baik buat Putra," kataku lembut. Anak-anak langsing tersenyum senang sebentar lagi bisa merokok. Lia tersenyum maklum dan segera pergi setelah mengucapkan terima kasih. 

Anak-anak langsung menyalakan rokok. Asap rokok melayang di sekitar kami. Rafael juga mengambil satu batang rokok, dan menyalakannya. Rafael juga perokok pasif sepertiku. Entah kenapa dia memilih merokok kali ini. 

"Mau," kata Bima menyerahkan rokoknya  padaku. Biasanya aku memang menghisap satu atau dua kali kalau bersama mereka. Karena itu juga aku hanya meminta rokok Bima atau Akira. Sebelum aku menerima rokok dari Bima. Rafael sudah terlebih dahulu mengambilnya dari tangan Bima. Menekan rokok itu pada asbak sampai patah dan tidak berbentuk lagi.

"Anj*ing baru juga gue hisap sekali," maki Bima. Rafael tidak peduli dan menyerah rokok yang dijepit jari-jari lentiknya padaku. 

"Kalau lo mau punya gue aja. Jangan yang lain," katanya tajam. Nah kan, sikap anehnya muncul lagi. 

Aku mengambil rokok itu dari Rafael menghisapnya dengan santai dan menghembuskan dengan pelan. Kemudian memberikannya lagi pada Rafael. Rafael tersenyum dan terus menghisap rokoknya sampai habis. 

"Ada masalah?" tanyaku tidak biasanya dia menghabiskan satu batang rokok. Dia juga sepertiku kalau merokok hanya beberapa kali hisapan, tapi tidak mau bergantian dengan yang lain. 

Rafael lebih memilih membakar rokok lain. Menghisapnya beberapa kali lalu membiarkan sisa rokoknya terbuang sia-sia. Tumben ni anak mau rokok yang sudah dihisap orang lain lebih dulu. 

"Gak ada," katanya yakin. Aku hanya diam saja malas menghadapi sifat anehnya. 

"Bang Andro, Abang ganteng," suara cempreng menyapa kami. Lima orang perempuan, beragam SMP masuk dan mendekat pada kami. 

"Abang …." katanya bersemangat. 

"Wah cantik, kalian bolos?" kataku sambil menaikan satu alis ku. Mereka menunduk malu. 

"Maaf bang," katanya malu. 

"Udah Abang bilang jangan pernah bolos. Udah gak mau dengar kata abang, eh."

"Alah kelakuan bangs*t juga," cibir Bima padaku. 

"Si anji*ng. Walaupun gue gak benar, gue pingin si cantik ini terjaga. Gue pingin bunga-bunga cantik ini tetap wangi dan indah." Aku melempar senyum pada anak-anak ini. Membuat pipi   merona memerah. 

"Dengar ya cantik. Jangan bolos lagi, abang bakal marah kalau kalian ketahuan bolos lagi. Cantiknya Abang harus jadi anak baik." 

Aku mengelus kepala mereka satu persatu dan untuk anak terakhir aku menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Wajahnya sangat merah, ah lucunya. 

Rafael menatap mereka tajam seperti ingin membumi hanguskan mereka. Gadis-gadis kecil bersembunyi di belakang tubuhku. Meminta perlindungan dari tatapan membunuh Rafael.

"Berisik, suara kalian mengganggu. Pergi sana!" katanya kejam.

"Bang Andro. Bang Rafa jahat," adunya padaku. 

"Berisik," kata Rafael tajam. 

Aku mengeluarkan dompetku dan mengeluarkan beberapa lembar dari sana. Menyerah satu-satu ke masing-masing anak. 

"Buat beli es krim," kataku. "Jangan bolos lagi," 

"Kita mau ketemu sama bang Andro aja," katanya menyesal. Aku memang mengatakan lewat pesan pada mereka jika aku di sini. Mungkin itu yang membuat mereka datang.

"Lain kali jangan diulang lagi." Mereka langsung mengangguk paham.

"Makasih ya bang Andro." Salah satu dari mereka mencium pipiku tanda terima kasih. 

"Anji*ng! Gatal! Lo lakuin itu lagi, gue bunuh lo." Rafael memukul meja membuat kami kaget. Anak-anak itu langsung bersembunyi di belakangku. Aku memberi isyarat agar mereka segera pergi. Mereka berlari kocar-kacir sambil menatap Rafael ngeri.

"Bang Rafa jahat," teriak mereka. 

Rafael menatap mereka dingin. Lalu kembali duduk dan kembali menghidupkan sebatang rokok. Bang Asep yang datang mengantarkan makan, langsung mundur setelah meletakan pesanan kami. Begitu pula pegawainya, biasanya kami bercanda dulu. 

"Lo kenapa sih anji*ng. Ada masalah apa?" tanyaku. Biasanya dia juga sangat bersemangat menggoda gadis-gadis kecil itu. Sepertinya Rafael punya masalah hidup yang berat kali ini. Kami hanya saling memandang dan menggeleng melihat Rafae yang terus menghisap rokoknya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Rafael frustasi yaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status