Di dapur, Ana kembali melanjutkan aktivitasnya. Membereskan meja makan, menyimpan lauk yang masih tersisa. Melihat makanan yang masih tersisa banyak. Mungkin dia akan membagikannya pada pegawai apartemen besok, batin Ana. Memanaskan semua makanan tersebut.
Atmosfer setelah Nabila dan Angga meninggalkan ruangan, sudah lebih baik. Ana tidak pernah menghadapi situasi konflik yang tidak kondusif baginya. Ana sebagai putri bungsu, selalu mendapatkan perhatian penuh dari orang di sekelilingnya. Walau Fiona dan Doni membiarkan Ana untuk mandiri dan tidak memanjakannya. Tetapi Ana baru kali ini, berada di tengah suasana tidak nyaman seperti tadi.
Angga tampak berbeda dan Ana tidak ingin memikirkan lebih jauh tentang itu. Meskipun Ana termasuk jutek dan galak bila ada s
jangan lupa vote cerita saya. berikan review kamu tentang cerita ini. review dan komentar kalian berharga untuk saya. enjoy..
Angga menghela napas. Menumpukan sikunya ke lutut. Menutup wajahnya dengan telapak tangan. Apakah dia sudah salah melangkah?. Apa perbuatannya membuat Ana merasa tidak nyaman?. Tapi Ana membalas ciumannya. Mereka berdua sama-sama menikmati ciuman itu. Kata hati Angga bingung, dengan sikap Ana setelah mereka usai dengan ciuman itu. Ana tidak tahu saja bagaimana sulitnya Angga menahan hasrat yang berkobar dalam dirinya. Bahkan sampai sekarang bagian bawahnya masih mengeras terasa begitu sesak. “Arrghh,” erang Angga. Menahan kejantanannya yang sudah ingin diepaskan. Ck mandi air dingin deh gue habis ini, kata Angga dalam hati. Merutuki adik kecilnya, yang tidak bisa dikondisikan. &nb
Lelah berolahraga, mereka kemudian segera membersihkan diri diruang ganti. Selesai dengan itu, mereka sudah sepakat untuk sarapan di rumah makan padang. Anjar sebagai supir hanya bisa menuruti mau adiknya. Mereka tetap terpisah di 2 mobil. Sedangkan para sahabatnya itu enggan untuk satu mobil dengan Ana. Karena takut dengan aura yang di pancarkan Anjar. Terlalu kaku, dan dingin walau sudah dibujuk. Sahabat- sahabatnya tetap tidak mau. “Kak, bisa nggak si lo senyum dikit aja depan sahabat gue. Mereka tuh, pada takut tahu nggak deket lo,” ucap Ana kesal menghadapi sikap Anjar yang terlalu dingin. “Nakutin gimana si dek. Kakak tuh nggak ngapa-ngapain juga. Kenapa mereka pada takut,” balas Anjar.  
Ana masih terus terlelap dan terbaring diranjang. Dia hanya bangun ketika harus mengganti pembalut dana makan. Yang itupun dengan disuapi Anjar. Tanpa Anjar disisinya mungkin Ana sudah dehidrasi kehabisan cairan akibat nyeri haid yang menderanya. Setelah punggung Ana di usap dan perutnya terus dihangatkan oleh bantuan Anjar. Ana sudah merasa lebih baik. Namun bukan berarti Ana sudah bisa bangun dari tempat tidur. Nyeri yang di alami Ana biasanya akan berlangsung sampai 3-4 hari kedepan. Separah ini lah kondisi Ana jika tengah mengalami menstruasi. Dan setelah haidnya sudah membaik, biasanya Ana diperiksa dokter keluarga untuk memeriksa keadaan Ana. Ana tidak mau ke rumah sakit jika benar-benar tidak dalam situasi kritis. Karena Ana tida suka aroma rumah sakit dan serta bau obat-obatan. Itu membuatnya merasa ikut sakit.
Setelah 3 hari penuh beristirahat di apartemen. Akhirnya Ana bisa masuk kuliah hari ini. Di antar oleh Anjar, Ana belum tidak diperbolehkannya untuk menyetir sendiri. Walau kesehatan Ana sudah membaik, namun tubuhnya masih cukup lemah. Maka dari itu, Anjar selalu menasehati agar tidak melakukan aktivitas berlebih. Dan tidak memaksakan diri, karena Ana termasuk anak yang keras kepala. Begitupun dengan Anjar. Meskipun dia bilang meliburkan diri selama seminggu penuh dari kantor. Tapi dia juga harus tetap mengontrol, beberapa pekerjaan yang tidak dapat dihandle oleh asistennya. “Ingat apa pesan Kakak ya,” ujar Anjar mengingatkan Ana. “Iya Kak,” jawab Ana seraya terseny
Sepulang sekolah Ana sudah ada janji bersam Rama untuk belajar bersama. Ana sudah ijin Anjar terlebih dahulu. Agar sang kakak tidak kawatir. Apalagi Ana baru saja sembuh. Saat ini mereka tengah mengerjakan tugas masing-masing di cafe. Tidak memperhatika sekitar, mereka berdua tetap fokus mengerjakan tugas. Jangan dipikir Ana libur terus libur nggak ngerjain tugas. Ana tetap mengerjakan tugasnya, dengan dibantu Rama. Lama mereka hanyut dalam tugas. Hingga tidak memperhatikan jam yang sudah beranjak petang. Ponsel Ana sudah berdering ketika dia sadar sudah melewatkan banyak waktu. Meraih ponselnya, Ana mengkode Rama untuk mengangkat telponnya. “Iya Kak,” jawab Ana singkat.
Keesokan harinya Angga sudah terbangun di kamarnya. Dengan telapak kangan sudah terbungkus perban. Mengerjabkan mata, dia mulai mengingat apa yang dia lakukan semalam. Dengan amarah menguasai, Angga hampir menghancurkan ruang tamu. Memegang kepalanya yang mendadak pusing. Pintu terbuka, memunculkan Gio yang sudah rapi dengan setelan kantornya. “Bapak sudah bangun?” Tanya Gio. “Jam berapa ini?” tanya Angga. tak mempedulikan pertanyaan Gio. “Jam 6. Bapak sebaiknya istirahat untuk hari ini. Saya sudah menyewa seorang house keeper untuk bapak,” tutur Gio. Yang masih tidak dipedulikan oleh Angga. Melihat raut bingung Angga lalu Gio menjelaskan. “Yang menggantikan pakaian bapak semalam
Angga membuka kedua matanya perlahan. Memperlihatkan dua mata dengan bulu lentik yang masih tertutup. Angga mengamati wajah cantik didepannya. Sedang terlelap damai, tak mempedulikan suara malam yang terdengar dari jendela yang terbuka. Angga bangun, menutup jendela yang menghantarkan udara malam. Di luar sana terlihat taman rindang yang begitu gelap. Menunjukkan kerimbunannya, Angga kembali menoleh pada sosok yang masih terlelap di ranjangnya. Ini seperti dirumah barunya. Angga ingat, dia sendiri yang menginginkan desain vintage modern dengan sentuhan hangat di kamar utamanya bersama Ana. Angga kembali berbaring samping Ana. Memiringkan tubuhnya untuk menikmati tiap pahatan indah wajah Ana. Tangan Angga mulai berani mendekat. Membelai rahang Ana naik turun. Angga seper
Sabtu malam dihabiskan Anjar dan Ana menonton film. Tentunya adalah film pilihan Ana. Karena Anjar tenlah berjanji untuk membebaskan Ana. Mengganti baju dengan piama, sekarang mereka sedang menikmati es krim bersama. Sembari menonton film romance di hadapan mereka. Terdengar dering ponsel Ana. Mengusik fokus mereka. Meraih ponselnya, Ana tampak acuh melihat nama orang yang menghubunginya. “Kenapa dek?” Tanya Anjar. Memandang wajah datar adiknya. “Nggak apa-apa Kak,” jawab Ana datar. Membuat Anjar merebut ponsel Ana, yang masih berdering. “Jangan di angkat Kak,” ucap Ana cepat. Merebut ponsel ditangan Anjar