LOGINPagi itu, langit kampus berwarna abu-abu pucat. Awan tipis menggantung rendah, seperti menyimpan sesuatu yang berat namun enggan jatuh. Udara masih lembap setelah hujan semalam, meninggalkan aroma tanah dan rumput basah yang menempel di udara.
Nayla melangkah pelan menuju fakultas. Rambutnya masih sedikit lembap karena terburu-buru, dan langkahnya seakan berat. Ada sesuatu yang menekan dadanya sejak semalam, sesuatu yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun. Begitu memasuki pelataran, ia melihat mahasiswa lain berjalan berkelompok—tertawa, berbincang, sibuk dengan urusan masing-masing. Kontras sekali dengan dirinya yang justru merasa terasing di tengah keramaian. Sampai tatapannya jatuh pada sosok yang tak asing. Elhan. Ia berdiri di sisi lain lapangan, dikelilingi beberapa temannya. Tawa samar terdengar, tubuhnya tegap, wajahnya seolah tenang. Namun bagi Nayla, pemandangan itu justru menambah luka. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat begitu baik-baik saja, padahal semalam dunia mereka runtuh? Nayla mengerjap cepat, berusaha menahan air mata. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan buku di pelukannya, lalu mempercepat langkah menuju kelas. Hatinya ingin berteriak: Kenapa kamu masih bisa tertawa, sementara aku hampir tak sanggup bernapas? Kelas dimulai, dosen mulai menjelaskan materi di papan tulis. Suara spidol beradu dengan papan putih memenuhi ruangan, bercampur dengan derit kursi dan suara kertas yang dibalik. Namun semua itu hanya jadi latar kabur di telinga Nayla. Ia duduk di bangku tengah, menatap kosong buku catatannya. Tangannya menggenggam pulpen, tapi ujungnya hanya menggurat garis-garis tak berarti. Pikirannya melayang kembali pada percakapan semalam. Kata-kata Elhan terus terngiang, seperti gema yang tak pernah usai. “Aku harus pergi, Nayla.” “Mamaku nggak akan pernah merestui hubungan kita.” Setiap suku kata itu menancap seperti paku. Nayla menggigit bibir, berusaha menahan perih yang menggenang di matanya. Ia menunduk lebih dalam, pura-pura menulis, padahal tinta sudah nyaris habis hanya karena garis tak beraturan. “Lagi nggak enak badan?” bisik Dina, teman sebangku yang memperhatikan wajah pucat Nayla. Nayla tersentak kecil, buru-buru menggeleng. “Nggak… cuma kurang tidur.” Dina mengangguk pelan, meski wajahnya menyiratkan ragu. “Kalau gitu nanti istirahat, ya. Mukamu pucat banget.” Nayla memaksakan senyum tipis, lalu kembali menunduk. Kata-kata Dina hanya lewat seperti angin. Yang benar-benar menyesakkan hanyalah kenyataan bahwa Elhan duduk beberapa baris di belakang, dan entah kenapa, ia bisa merasakan tatapan itu menusuk punggungnya. Saat kelas usai, mahasiswa berhamburan keluar. Suara ramai memenuhi lorong. Nayla sengaja memperlambat langkah, menunggu lorong agak sepi. Ia tak ingin bertemu Elhan, tak ingin berpapasan, bahkan sekadar saling sapa. Namun nasib seolah mempermainkan. Saat ia keluar kelas, langkahnya terhenti mendadak. Elhan berdiri di ujung lorong, seakan sengaja menunggu. Jantung Nayla berdegup kencang. Tangannya dingin, kakinya kaku. Ia ingin berbalik, tapi sudah terlambat. Elhan melangkah mendekat, sorot matanya tajam namun penuh kegelisahan. “Nayla,” ucapnya lirih, nyaris tenggelam oleh riuh mahasiswa lain. Nayla menelan ludah, memaksa suara keluar. “Kenapa? Bukankah semuanya sudah jelas?” Wajah Elhan menegang. Ia membuka mulut, menutupnya lagi, seakan tak tahu harus mulai dari mana. “Aku cuma… aku nggak mau kamu salah paham.” Nayla tertawa hambar. “Salah paham? Jadi meninggalkanku demi restu ibumu itu… cuma salah paham?” Suara Nayla rendah, tapi tajam. Beberapa mahasiswa yang lewat sempat melirik, tapi segera berlalu. Elhan terdiam, sorot matanya penuh luka. Ia ingin mendekat, tapi Nayla mundur satu langkah. Hatinya terlalu rapuh untuk menerima apa pun selain kenyataan pahit. “Jangan lagi cari aku, Elhan,” bisiknya. “Aku nggak sanggup kalau harus mendengar alasanmu berulang kali.” Dan tanpa menunggu jawaban, Nayla berbalik, berjalan cepat melewati lorong, meninggalkan Elhan yang berdiri terpaku. Siang menjelang sore. Matahari akhirnya menembus awan, sinarnya memantul di jendela-jendela kampus. Namun bagi Nayla, cahaya itu tak mampu menghangatkan hatinya. Ia duduk sendirian di taman belakang kampus, tempat yang biasanya ramai, tapi kini sepi karena mahasiswa lain sudah pulang. Daun-daun bergoyang ditiup angin, menimbulkan bayangan bergerak di tanah. Nayla memeluk lutut, menatap kosong ke depan. Pikirannya penuh dengan wajah Elhan—senyum yang pernah ia cintai, suara yang pernah jadi sandaran, dan luka yang kini ditinggalkan. Air mata akhirnya jatuh juga, membasahi lengan bajunya. Ia membiarkannya mengalir, tanpa berusaha menghapus. Mungkin memang begini cara berpisah bekerja—perlahan, tapi meninggalkan bekas yang tak pernah hilang. Namun di sela tangis itu, ada suara kecil dalam hatinya yang berbisik: Kalau takdir benar-benar ada, mungkinkah suatu hari angin akan kembali mempertemukan mereka? Nayla menghela napas panjang, menatap langit yang kembali memutih. Tak ada jawaban. Hanya desir angin yang berlari pelan, menyentuh wajahnya seakan mengingatkan bahwa cinta yang hilang tak pernah benar-benar lenyap—ia hanya berubah jadi bayangan, menggantung di udara. Dan di sanalah, di antara bayangan itu, Nayla berjanji dalam diam ia akan belajar bertahan, meski hatinya belum pulih.Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg
Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t
Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I
Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I
Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem
Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l







