Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 6 Bayangan yang Tertinggal

Share

Bab 6 Bayangan yang Tertinggal

Author: Elis Z. Faida
last update Huling Na-update: 2025-09-17 14:10:42

Pagi itu, langit kampus berwarna abu-abu pucat. Awan tipis menggantung rendah, seperti menyimpan sesuatu yang berat namun enggan jatuh. Udara masih lembap setelah hujan semalam, meninggalkan aroma tanah dan rumput basah yang menempel di udara.

Nayla melangkah pelan menuju fakultas. Rambutnya masih sedikit lembap karena terburu-buru, dan langkahnya seakan berat. Ada sesuatu yang menekan dadanya sejak semalam, sesuatu yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun.

Begitu memasuki pelataran, ia melihat mahasiswa lain berjalan berkelompok—tertawa, berbincang, sibuk dengan urusan masing-masing. Kontras sekali dengan dirinya yang justru merasa terasing di tengah keramaian.

Sampai tatapannya jatuh pada sosok yang tak asing. Elhan.

Ia berdiri di sisi lain lapangan, dikelilingi beberapa temannya. Tawa samar terdengar, tubuhnya tegap, wajahnya seolah tenang. Namun bagi Nayla, pemandangan itu justru menambah luka. Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat begitu baik-baik saja, padahal semalam dunia mereka runtuh?

Nayla mengerjap cepat, berusaha menahan air mata. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan buku di pelukannya, lalu mempercepat langkah menuju kelas. Hatinya ingin berteriak: Kenapa kamu masih bisa tertawa, sementara aku hampir tak sanggup bernapas?

Kelas dimulai, dosen mulai menjelaskan materi di papan tulis. Suara spidol beradu dengan papan putih memenuhi ruangan, bercampur dengan derit kursi dan suara kertas yang dibalik. Namun semua itu hanya jadi latar kabur di telinga Nayla.

Ia duduk di bangku tengah, menatap kosong buku catatannya. Tangannya menggenggam pulpen, tapi ujungnya hanya menggurat garis-garis tak berarti. Pikirannya melayang kembali pada percakapan semalam. Kata-kata Elhan terus terngiang, seperti gema yang tak pernah usai.

“Aku harus pergi, Nayla.”

“Mamaku nggak akan pernah merestui hubungan kita.”

Setiap suku kata itu menancap seperti paku. Nayla menggigit bibir, berusaha menahan perih yang menggenang di matanya. Ia menunduk lebih dalam, pura-pura menulis, padahal tinta sudah nyaris habis hanya karena garis tak beraturan.

“Lagi nggak enak badan?” bisik Dina, teman sebangku yang memperhatikan wajah pucat Nayla.

Nayla tersentak kecil, buru-buru menggeleng. “Nggak… cuma kurang tidur.”

Dina mengangguk pelan, meski wajahnya menyiratkan ragu. “Kalau gitu nanti istirahat, ya. Mukamu pucat banget.”

Nayla memaksakan senyum tipis, lalu kembali menunduk. Kata-kata Dina hanya lewat seperti angin. Yang benar-benar menyesakkan hanyalah kenyataan bahwa Elhan duduk beberapa baris di belakang, dan entah kenapa, ia bisa merasakan tatapan itu menusuk punggungnya.

Saat kelas usai, mahasiswa berhamburan keluar. Suara ramai memenuhi lorong. Nayla sengaja memperlambat langkah, menunggu lorong agak sepi. Ia tak ingin bertemu Elhan, tak ingin berpapasan, bahkan sekadar saling sapa.

Namun nasib seolah mempermainkan. Saat ia keluar kelas, langkahnya terhenti mendadak. Elhan berdiri di ujung lorong, seakan sengaja menunggu.

Jantung Nayla berdegup kencang. Tangannya dingin, kakinya kaku. Ia ingin berbalik, tapi sudah terlambat. Elhan melangkah mendekat, sorot matanya tajam namun penuh kegelisahan.

“Nayla,” ucapnya lirih, nyaris tenggelam oleh riuh mahasiswa lain.

Nayla menelan ludah, memaksa suara keluar. “Kenapa? Bukankah semuanya sudah jelas?”

Wajah Elhan menegang. Ia membuka mulut, menutupnya lagi, seakan tak tahu harus mulai dari mana. “Aku cuma… aku nggak mau kamu salah paham.”

Nayla tertawa hambar. “Salah paham? Jadi meninggalkanku demi restu ibumu itu… cuma salah paham?”

Suara Nayla rendah, tapi tajam. Beberapa mahasiswa yang lewat sempat melirik, tapi segera berlalu.

Elhan terdiam, sorot matanya penuh luka. Ia ingin mendekat, tapi Nayla mundur satu langkah. Hatinya terlalu rapuh untuk menerima apa pun selain kenyataan pahit.

“Jangan lagi cari aku, Elhan,” bisiknya. “Aku nggak sanggup kalau harus mendengar alasanmu berulang kali.”

Dan tanpa menunggu jawaban, Nayla berbalik, berjalan cepat melewati lorong, meninggalkan Elhan yang berdiri terpaku.

Siang menjelang sore. Matahari akhirnya menembus awan, sinarnya memantul di jendela-jendela kampus. Namun bagi Nayla, cahaya itu tak mampu menghangatkan hatinya.

Ia duduk sendirian di taman belakang kampus, tempat yang biasanya ramai, tapi kini sepi karena mahasiswa lain sudah pulang. Daun-daun bergoyang ditiup angin, menimbulkan bayangan bergerak di tanah.

Nayla memeluk lutut, menatap kosong ke depan. Pikirannya penuh dengan wajah Elhan—senyum yang pernah ia cintai, suara yang pernah jadi sandaran, dan luka yang kini ditinggalkan.

Air mata akhirnya jatuh juga, membasahi lengan bajunya. Ia membiarkannya mengalir, tanpa berusaha menghapus. Mungkin memang begini cara berpisah bekerja—perlahan, tapi meninggalkan bekas yang tak pernah hilang.

Namun di sela tangis itu, ada suara kecil dalam hatinya yang berbisik: Kalau takdir benar-benar ada, mungkinkah suatu hari angin akan kembali mempertemukan mereka?

Nayla menghela napas panjang, menatap langit yang kembali memutih. Tak ada jawaban. Hanya desir angin yang berlari pelan, menyentuh wajahnya seakan mengingatkan bahwa cinta yang hilang tak pernah benar-benar lenyap—ia hanya berubah jadi bayangan, menggantung di udara.

Dan di sanalah, di antara bayangan itu, Nayla berjanji dalam diam ia akan belajar bertahan, meski hatinya belum pulih.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Angin di Antara Kita    Bab 14 Retakan yang Tak Terucap

    Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,

  • Angin di Antara Kita    Bab 13 Di Balik Restu yang Tak Pernah Datang

    Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me

  • Angin di Antara Kita    Bab 12 Luka yang Tak Terucap

    Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam

  • Angin di Antara Kita    Bab 11 Jika Angin Membawa

    Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir

  • Angin di Antara Kita    Bab 10 Luka yang Membayangi

    Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N

  • Angin di Antara Kita    Bab 9 Di Antara Rindu dan Penolakan

    Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status