Hari-hari setelah pertemuan terakhir di lorong terasa seperti bayangan panjang yang enggan pergi dari hidup Nayla. Pagi datang, matahari terbit, orang-orang lalu lalang dengan rutinitas mereka, tapi bagi Nayla, semuanya hanya bergerak seperti film bisu.
Ia tetap hadir di kelas, duduk di bangku tengah, membuka buku catatan, menatap papan tulis. Namun pikirannya tak pernah benar-benar di sana. Kata-kata dosen terdengar seperti gema jauh, tak pernah masuk ke kepalanya. Yang selalu muncul justru suara lain—suara Elhan. “Aku harus pergi, Nayla.” “Mamaku nggak akan pernah merestui kita.” Setiap kali mengingatnya, hatinya seperti digenggam erat hingga sulit bernapas. Pulpen yang dipegangnya berkali-kali patah karena ditekan terlalu keras, kertas catatannya penuh coretan tak berarti. Dina, teman sebangkunya, sudah beberapa kali mencoba bertanya, tapi Nayla selalu menjawab singkat. “Aku baik-baik aja.” Padahal, jelas-jelas ia tidak baik-baik saja. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan tubuhnya sering goyah seakan energi terkuras habis. Namun ada satu hal yang tak bisa ia hindari: Elhan tetap ada. Meski mereka tak lagi bicara, kehadirannya terasa nyata. Kadang Nayla merasa tatapannya mengikuti, meski begitu cepat berpaling ketika ia menoleh. Kadang ia mendengar tawa Elhan di antara kerumunan, dan suaranya masih sanggup menembus pertahanannya. Seperti luka yang tak bisa diabaikan, keberadaan Elhan di kampus adalah pengingat konstan bahwa cinta mereka belum mati, tapi juga tak bisa hidup. Sore itu, Nayla memilih pulang lebih cepat. Ia berjalan pelan melewati jalan setapak kampus yang dipenuhi dedaunan jatuh. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah. Suasana begitu kontras dengan isi hatinya yang berantakan. Ia berhenti sejenak di tepi taman. Tempat itu pernah jadi saksi tawa mereka berdua. Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana Elhan pernah menunggunya di bangku kayu tua, membawa segelas kopi hangat, hanya karena tahu Nayla suka kopi manis. Kenangan itu menyeruak begitu saja, membuat matanya panas. Ia menggigit bibir, berusaha menahan air mata. Namun semakin ia mencoba kuat, semakin deras kenangan menyerbu. “Nayla?” suara seseorang memecah lamunannya. Nayla menoleh, menemukan Ardan—teman sekelas yang terkenal ramah—berdiri beberapa langkah darinya. Ia menenteng buku dan senyum kecil. “Sendirian aja? Mukamu kelihatan capek banget.” Nayla terkejut, buru-buru menghapus sisa air mata yang hampir jatuh. “Ah, nggak kok. Cuma… lagi pengen duduk sebentar.” Ardan menatapnya dengan sorot yang penuh perhatian, tapi tak memaksa. Ia hanya duduk di bangku sebelah, membuka buku, lalu berkata pelan, “Kalau butuh cerita, aku di sini.” Kata-kata sederhana itu justru menghantam Nayla lebih keras. Ia menunduk, menyembunyikan wajah. Kenapa harus orang lain yang menawarkan telinga, sementara orang yang paling aku butuhkan justru menjauh? Hatinya berdenyut perih. Ia mengucapkan terima kasih lirih, lalu bangkit sebelum tangisnya pecah. “Aku duluan ya, Dan.” Ardan mengangguk, meski matanya masih menyimpan tanda tanya. Malam datang dengan keheningan yang semakin menekan. Kamar kos Nayla redup, hanya diterangi lampu meja belajar. Buku-buku berserakan, laptop menyala dengan layar kosong, tapi jemarinya tak sanggup mengetik satu kata pun. Ia menatap jendela. Angin malam berembus, membawa suara samar dedaunan. Ia merasa seolah angin itu sedang berbisik, mengingatkan kembali pada malam ketika semuanya runtuh. Nayla menutup wajah dengan kedua tangan, lalu membiarkan tangisnya pecah. Tangis yang sudah terlalu lama ia tahan di hadapan dunia. Suaranya teredam bantal, namun rasa sakitnya bergema di dadanya sendiri. Ia merasa bodoh karena masih menunggu. Meski tahu Elhan sudah menjauh, hatinya tetap berkhianat. Ada bagian dirinya yang berharap Elhan akan mengetuk pintu, mengatakan semua ini hanya salah paham, lalu menariknya ke dalam pelukan. Tapi itu tak pernah terjadi. Teleponnya bergetar. Notifikasi pesan masuk. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Harapan sempat menyala—mungkinkah Elhan?—namun padam seketika ketika melihat nama Dina di layar. “Jangan lupa makan ya. Aku khawatir banget sama kamu.” Nayla menarik napas dalam, lalu membalas singkat. Iya, makasih. Setelah itu, ia kembali menatap kosong layar ponselnya. Nama Elhan tak pernah muncul lagi. Dan mungkin memang tak akan pernah. Hari berikutnya, Nayla berusaha tampak normal. Ia datang ke kelas, mencoba tersenyum pada Dina, mencoba mengikuti materi dosen. Tapi di balik itu, batinnya masih digelayuti bayangan yang sama. Siang menjelang sore, ia keluar dari ruang kuliah dengan langkah cepat. Namun lagi-lagi, takdir seolah mempermainkan. Di lorong yang sepi, ia berpapasan dengan Elhan. Waktu seakan melambat. Elhan berdiri beberapa langkah darinya, tubuhnya tegap namun sorot matanya goyah. Mereka hanya saling menatap, tanpa kata. Nayla ingin lewat begitu saja, pura-pura tak peduli. Tapi langkahnya berhenti ketika Elhan memanggil lirih, “Nayla…” Suara itu, begitu pelan, tapi cukup untuk membuat pertahanannya runtuh. Air matanya hampir pecah, namun ia buru-buru menunduk, berusaha melewati Elhan tanpa menjawab. Namun Elhan bergerak, menahan langkahnya. Tidak dengan sentuhan, hanya dengan keberanian menatapnya lebih dalam. “Aku tahu aku salah. Tapi percayalah… aku juga terluka.” Nayla menutup mata, hatinya seperti diremas. Ia ingin berteriak, Kalau kamu terluka, kenapa kamu pergi? Tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya berbisik, suaranya pecah, “Kalau kamu benar-benar terluka, seharusnya kita bertahan bersama. Bukan menyerah sendirian.” Elhan terdiam, wajahnya menegang. Tak ada kata lagi yang keluar. Dan Nayla, dengan sisa kekuatan yang ada, melangkah pergi. Angin sore menyapu wajahnya, membawa tangis yang tak lagi bisa ia tahan. Hatinya hancur, namun satu hal kini ia pahami: luka ini bukan sekadar perpisahan. Luka ini adalah janji yang tak sempat ditepati, cinta yang dipaksa kalah oleh restu. Dan luka itu akan terus mengendap, entah sampai kapan.Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,
Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me
Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam
Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir
Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N
Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua