Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 7 Luka yang Mengendap

Share

Bab 7 Luka yang Mengendap

Author: Elis Z. Faida
last update Huling Na-update: 2025-09-17 14:11:00

Hari-hari setelah pertemuan terakhir di lorong terasa seperti bayangan panjang yang enggan pergi dari hidup Nayla. Pagi datang, matahari terbit, orang-orang lalu lalang dengan rutinitas mereka, tapi bagi Nayla, semuanya hanya bergerak seperti film bisu.

Ia tetap hadir di kelas, duduk di bangku tengah, membuka buku catatan, menatap papan tulis. Namun pikirannya tak pernah benar-benar di sana. Kata-kata dosen terdengar seperti gema jauh, tak pernah masuk ke kepalanya. Yang selalu muncul justru suara lain—suara Elhan.

“Aku harus pergi, Nayla.”

“Mamaku nggak akan pernah merestui kita.”

Setiap kali mengingatnya, hatinya seperti digenggam erat hingga sulit bernapas. Pulpen yang dipegangnya berkali-kali patah karena ditekan terlalu keras, kertas catatannya penuh coretan tak berarti.

Dina, teman sebangkunya, sudah beberapa kali mencoba bertanya, tapi Nayla selalu menjawab singkat. “Aku baik-baik aja.” Padahal, jelas-jelas ia tidak baik-baik saja. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan tubuhnya sering goyah seakan energi terkuras habis.

Namun ada satu hal yang tak bisa ia hindari: Elhan tetap ada. Meski mereka tak lagi bicara, kehadirannya terasa nyata. Kadang Nayla merasa tatapannya mengikuti, meski begitu cepat berpaling ketika ia menoleh. Kadang ia mendengar tawa Elhan di antara kerumunan, dan suaranya masih sanggup menembus pertahanannya.

Seperti luka yang tak bisa diabaikan, keberadaan Elhan di kampus adalah pengingat konstan bahwa cinta mereka belum mati, tapi juga tak bisa hidup.

Sore itu, Nayla memilih pulang lebih cepat. Ia berjalan pelan melewati jalan setapak kampus yang dipenuhi dedaunan jatuh. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah. Suasana begitu kontras dengan isi hatinya yang berantakan.

Ia berhenti sejenak di tepi taman. Tempat itu pernah jadi saksi tawa mereka berdua. Ia masih bisa mengingat jelas bagaimana Elhan pernah menunggunya di bangku kayu tua, membawa segelas kopi hangat, hanya karena tahu Nayla suka kopi manis.

Kenangan itu menyeruak begitu saja, membuat matanya panas. Ia menggigit bibir, berusaha menahan air mata. Namun semakin ia mencoba kuat, semakin deras kenangan menyerbu.

“Nayla?” suara seseorang memecah lamunannya.

Nayla menoleh, menemukan Ardan—teman sekelas yang terkenal ramah—berdiri beberapa langkah darinya. Ia menenteng buku dan senyum kecil. “Sendirian aja? Mukamu kelihatan capek banget.”

Nayla terkejut, buru-buru menghapus sisa air mata yang hampir jatuh. “Ah, nggak kok. Cuma… lagi pengen duduk sebentar.”

Ardan menatapnya dengan sorot yang penuh perhatian, tapi tak memaksa. Ia hanya duduk di bangku sebelah, membuka buku, lalu berkata pelan, “Kalau butuh cerita, aku di sini.”

Kata-kata sederhana itu justru menghantam Nayla lebih keras. Ia menunduk, menyembunyikan wajah. Kenapa harus orang lain yang menawarkan telinga, sementara orang yang paling aku butuhkan justru menjauh?

Hatinya berdenyut perih. Ia mengucapkan terima kasih lirih, lalu bangkit sebelum tangisnya pecah. “Aku duluan ya, Dan.”

Ardan mengangguk, meski matanya masih menyimpan tanda tanya.

Malam datang dengan keheningan yang semakin menekan. Kamar kos Nayla redup, hanya diterangi lampu meja belajar. Buku-buku berserakan, laptop menyala dengan layar kosong, tapi jemarinya tak sanggup mengetik satu kata pun.

Ia menatap jendela. Angin malam berembus, membawa suara samar dedaunan. Ia merasa seolah angin itu sedang berbisik, mengingatkan kembali pada malam ketika semuanya runtuh.

Nayla menutup wajah dengan kedua tangan, lalu membiarkan tangisnya pecah. Tangis yang sudah terlalu lama ia tahan di hadapan dunia. Suaranya teredam bantal, namun rasa sakitnya bergema di dadanya sendiri.

Ia merasa bodoh karena masih menunggu. Meski tahu Elhan sudah menjauh, hatinya tetap berkhianat. Ada bagian dirinya yang berharap Elhan akan mengetuk pintu, mengatakan semua ini hanya salah paham, lalu menariknya ke dalam pelukan.

Tapi itu tak pernah terjadi.

Teleponnya bergetar. Notifikasi pesan masuk. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Harapan sempat menyala—mungkinkah Elhan?—namun padam seketika ketika melihat nama Dina di layar.

“Jangan lupa makan ya. Aku khawatir banget sama kamu.”

Nayla menarik napas dalam, lalu membalas singkat. Iya, makasih.

Setelah itu, ia kembali menatap kosong layar ponselnya. Nama Elhan tak pernah muncul lagi. Dan mungkin memang tak akan pernah.

Hari berikutnya, Nayla berusaha tampak normal. Ia datang ke kelas, mencoba tersenyum pada Dina, mencoba mengikuti materi dosen. Tapi di balik itu, batinnya masih digelayuti bayangan yang sama.

Siang menjelang sore, ia keluar dari ruang kuliah dengan langkah cepat. Namun lagi-lagi, takdir seolah mempermainkan. Di lorong yang sepi, ia berpapasan dengan Elhan.

Waktu seakan melambat. Elhan berdiri beberapa langkah darinya, tubuhnya tegap namun sorot matanya goyah. Mereka hanya saling menatap, tanpa kata.

Nayla ingin lewat begitu saja, pura-pura tak peduli. Tapi langkahnya berhenti ketika Elhan memanggil lirih, “Nayla…”

Suara itu, begitu pelan, tapi cukup untuk membuat pertahanannya runtuh. Air matanya hampir pecah, namun ia buru-buru menunduk, berusaha melewati Elhan tanpa menjawab.

Namun Elhan bergerak, menahan langkahnya. Tidak dengan sentuhan, hanya dengan keberanian menatapnya lebih dalam. “Aku tahu aku salah. Tapi percayalah… aku juga terluka.”

Nayla menutup mata, hatinya seperti diremas. Ia ingin berteriak, Kalau kamu terluka, kenapa kamu pergi? Tapi lidahnya kelu.

Akhirnya ia hanya berbisik, suaranya pecah, “Kalau kamu benar-benar terluka, seharusnya kita bertahan bersama. Bukan menyerah sendirian.”

Elhan terdiam, wajahnya menegang. Tak ada kata lagi yang keluar.

Dan Nayla, dengan sisa kekuatan yang ada, melangkah pergi.

Angin sore menyapu wajahnya, membawa tangis yang tak lagi bisa ia tahan. Hatinya hancur, namun satu hal kini ia pahami: luka ini bukan sekadar perpisahan. Luka ini adalah janji yang tak sempat ditepati, cinta yang dipaksa kalah oleh restu.

Dan luka itu akan terus mengendap, entah sampai kapan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status