Pagi di kota itu tidak pernah benar-benar tenang. Lalu lintas padat, suara klakson bersahutan, dan aroma roti hangat dari toko di sudut jalan bercampur dengan wangi bensin. Di tengah hiruk-pikuk itu, Nayla berjalan cepat dengan tas selempang di bahu. Matanya sayu, jelas sisa tangis semalam masih tertinggal di sana.
Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan rutinitas masuk kantor, menyapa rekan kerja, menyalakan komputer, dan menumpuk berkas-berkas di mejanya. Namun seberapa pun ia mencoba, pikirannya terus kembali ke satu nama. Elhan. Di layar monitor, sebuah dokumen terbuka, tapi pandangan Nayla kosong. Kalimat yang ia baca tak masuk akal, huruf-hurufnya kabur. Yang ia lihat hanya bayangan langkah Elhan yang menjauh di malam hujan itu, meninggalkan luka yang seolah tak akan sembuh. “Nayla?” suara Rani, sahabat sekaligus rekan kerjanya, memecah lamunan. “Kamu baik-baik aja? Dari tadi aku liat kamu kayak melamun terus.” Nayla tersentak kecil, buru-buru menggeleng sambil memaksa senyum. “Aku cuma kurang tidur.” Rani mengangkat alis, jelas tak percaya. Ia sudah terlalu lama mengenal Nayla untuk terkecoh oleh alasan sederhana. “Ini tentang Elhan lagi, ya?” tanyanya pelan, hati-hati. Nama itu terdengar seperti pisau yang menusuk dada Nayla. Ia menunduk, pura-pura sibuk membolak-balik berkas. “Ran, aku lagi nggak mau bahas dia sekarang.” Rani menarik kursi, duduk di samping Nayla. “Aku ngerti. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan nyimpen semua ini sendiri. Kamu kelihatan capek banget, Nay.” Nayla menutup mata sejenak. Kalimat Rani sederhana, tapi membuatnya hampir pecah. Ia ingin bercerita, ingin mengeluarkan semua, tapi ia juga takut—takut kalau semakin ia ucapkan, semakin nyata luka itu terasa. Sebelum Nayla sempat menjawab, notifikasi di ponselnya berbunyi. Ia menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang. Hanya satu orang yang bisa membuatnya bereaksi seperti itu. Namun ketika layar ponsel menyala, yang muncul bukan pesan dari Elhan, melainkan dari nomor tak dikenal. Isi pesannya singkat: “Kalau kamu masih mau bersama dia, hati-hati. Ada hal yang nggak kamu tahu.” Mata Nayla membesar. Jantungnya berdegup liar. Pesan itu terasa asing sekaligus mengancam. Ia menatap layar lekat-lekat, berharap bisa menemukan petunjuk siapa pengirimnya. Tapi tidak ada nama, tidak ada tanda. Hanya nomor asing, kosong, misterius. Rani yang memperhatikan perubahan ekspresi Nayla langsung curiga. “Kenapa, Nay? Siapa?” Nayla buru-buru mengunci ponsel, menyembunyikan layar. “Nggak ada. Salah kirim mungkin.” Ia tersenyum paksa, tapi senyumnya kaku, penuh kegelisahan. Namun jauh di dalam hati, Nayla tahu pesan itu bukan sekadar salah kirim. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Dan pagi itu, ia sadar: luka karena cinta belum cukup. Kini, ada rahasia yang mulai menjerat langkahnya. Sepanjang sisa jam kerja, pikiran Nayla tidak tenang. Dokumen-dokumen di mejanya hanya jadi hiasan. Matanya sekilas membaca angka-angka, tapi otaknya sibuk memutar satu kalimat dari pesan misterius itu. “Kalau kamu masih mau bersama dia, hati-hati. Ada hal yang nggak kamu tahu.” Kalimat sederhana, tapi rasanya seperti jebakan. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan kenapa seolah tahu tentang hubungannya dengan Elhan—hubungan yang bahkan sudah berakhir? Sesekali Nayla melirik ponsel yang tergeletak di samping keyboard. Tidak ada pesan lanjutan, tidak ada panggilan. Hanya layar hitam yang seakan menunggu dirinya berani membuka lebih jauh. “Kerjaanmu selesai nggak, Nay?” suara atasan membuatnya tersentak. “I-iya, Pak. Hampir.” Nayla buru-buru mengetik beberapa kalimat, meski tulisannya berantakan. Setelah atasannya berlalu, Rani mencondongkan tubuhnya, berbisik. “Tadi aku liat ekspresi kamu berubah pas baca pesan itu. Jangan bilang nggak ada apa-apa. Aku bisa bedain, Nay.” Nayla menggigit bibir, ragu. Bagian dari dirinya ingin berbagi, tapi sisi lain menahan. Kalau ia bercerita, bukankah itu berarti ia harus membuka lagi luka tentang Elhan? “Nggak penting, Ran. Serius. Nanti aku ceritain, kalau aku udah siap.” Rani menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Ya udah. Tapi jangan dipendam sendirian. Aku ada di sini kalau kamu butuh.” Hari itu terasa berjalan lambat. Jam dinding seperti sengaja mempermainkan waktu, menunda kepulangannya. Ketika akhirnya bel kerja berbunyi, Nayla menarik napas lega. Ia segera merapikan barang-barangnya, lalu keluar dari kantor. Di halte bus, ia kembali membuka ponsel. Nomor asing itu masih ada di layar, kosong tanpa identitas. Dengan jari gemetar, Nayla mencoba menelpon balik. Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali. Namun tiba-tiba, sambungan diputus. “Kenapa dia nggak angkat?” gumam Nayla, resah. Belum sempat ia menutup ponsel, pesan baru masuk. “Jangan coba-coba cari aku. Lebih baik kamu diam kalau nggak mau semakin sakit.” Nayla membeku. Pesan itu jelas, dingin, seperti peringatan. Jantungnya berdegup keras, keringat dingin merembes di pelipis. Ia menelan ludah, menatap layar lama-lama, mencoba mencari arti di balik ancaman itu. Bus datang. Ia naik dengan langkah gontai, lalu duduk di kursi dekat jendela. Sepanjang perjalanan, matanya hanya menatap keluar, tapi pikirannya berkecamuk. Siapa orang ini? Apa hubungannya dengan Elhan? Apa benar ada hal besar yang disembunyikan darinya? Hatinya gamang. Selama ini ia sudah cukup remuk karena restu yang tak pernah datang. Tapi kini, seolah ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, mengintai dari balik bayangan. Dan di lubuk hatinya yang terdalam, Nayla tahu—ia belum siap menghadapi rahasia itu. Namun, bisakah ia benar-benar menghindarinya? Siap bestiii 🤍 aku lanjutin langsung Bab 5 – Bagian 3 ya, biar lebih panjang, detail, dan makin bikin penasaran. Malam turun dengan cepat. Lampu-lampu kota mulai menyala, memantulkan cahaya ke jendela bus yang berembun. Nayla menatap bayangan dirinya di kaca—mata sayu, pipi pucat, bibir kering. Ia hampir tak mengenali perempuan yang menatap balik dari pantulan itu. Setiap kata dalam pesan terakhir terus menggaung di kepalanya. “Jangan coba-coba cari aku. Lebih baik kamu diam kalau nggak mau semakin sakit.” Si pengirim seolah tahu persis kelemahannya. Kata sakit itu bukan sekadar ancaman, tapi juga pengingat akan luka lama yang belum sembuh. Luka ditinggalkan Elhan. Luka karena tak pernah dianggap cukup baik oleh ibunya Elhan. Tangannya bergetar ketika ia mencoba menuliskan balasan. Tapi sebelum jari-jarinya menyentuh layar, ia ragu. Bagaimana kalau justru itu yang diinginkan orang misterius ini? Bagaimana kalau setiap balasan hanya akan membuat dirinya makin terjebak? Ponselnya ia letakkan lagi di pangkuan. Ia menggenggam erat, seolah benda kecil itu bisa melindunginya dari badai. “Nay?” suara sopir bus memecah lamunan. Ternyata ia sudah sampai di halte dekat rumah. Dengan tergesa, Nayla turun. Angin malam menerpa wajahnya begitu ia melangkah ke trotoar. Sepi. Jalanan hanya dilintasi beberapa motor. Lampu jalan redup, menambah kesan muram. Setiap langkah terasa berat. Nayla melirik ke kanan-kiri, perasaan tak nyaman merayap. Ada sesuatu yang tak beres. Seolah ada mata yang mengawasinya dari balik kegelapan. “Jangan bego, Nay. Jangan mikir aneh-aneh,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi suara hatinya tak bisa dibungkam. Ia semakin mempercepat langkah, hampir berlari kecil. Setibanya di depan rumah, ia buru-buru membuka gerbang, masuk, dan menguncinya rapat-rapat. Baru setelah itu ia bisa bernapas lega. Di dalam kamarnya, Nayla merebahkan diri di ranjang. Tapi bukannya tenang, pikirannya makin kacau. Ia menatap langit-langit, mencoba menata napas. Namun tiba-tiba— Briiing! Ponselnya kembali bergetar. Dengan jantung berdebar, ia meraih ponsel itu. Satu pesan baru. Dari nomor yang sama. “Jangan percaya semua yang pernah dia bilang. Cinta itu cuma topeng.” Nayla membeku. Tangannya lemas, hampir menjatuhkan ponsel. Pesan itu terlalu tajam. Seolah merobek luka lama dan menaburkan garam di atasnya. “Elhan…” bibirnya bergetar menyebut nama itu. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Kalau pesan itu benar, kalau memang ada sesuatu yang disembunyikan Elhan… lalu apa artinya semua perjuangan mereka selama ini? Semua janji, semua pengorbanan? Nayla menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya terguncang oleh tangis. Malam itu, ia merasa benar-benar sendirian, dikepung oleh rahasia yang tak sanggup ia pahami. Dan entah kenapa, di balik ketakutan itu, ada firasat kuat—bahwa ini baru permulaan.Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,
Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me
Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam
Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir
Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N
Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua