Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 5 Jejak Rahasia

Share

Bab 5 Jejak Rahasia

Author: Elis Z. Faida
last update Last Updated: 2025-09-16 16:43:28

Pagi di kota itu tidak pernah benar-benar tenang. Lalu lintas padat, suara klakson bersahutan, dan aroma roti hangat dari toko di sudut jalan bercampur dengan wangi bensin. Di tengah hiruk-pikuk itu, Nayla berjalan cepat dengan tas selempang di bahu. Matanya sayu, jelas sisa tangis semalam masih tertinggal di sana.

Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan rutinitas masuk kantor, menyapa rekan kerja, menyalakan komputer, dan menumpuk berkas-berkas di mejanya. Namun seberapa pun ia mencoba, pikirannya terus kembali ke satu nama. Elhan.

Di layar monitor, sebuah dokumen terbuka, tapi pandangan Nayla kosong. Kalimat yang ia baca tak masuk akal, huruf-hurufnya kabur. Yang ia lihat hanya bayangan langkah Elhan yang menjauh di malam hujan itu, meninggalkan luka yang seolah tak akan sembuh.

“Nayla?” suara Rani, sahabat sekaligus rekan kerjanya, memecah lamunan. “Kamu baik-baik aja? Dari tadi aku liat kamu kayak melamun terus.”

Nayla tersentak kecil, buru-buru menggeleng sambil memaksa senyum. “Aku cuma kurang tidur.”

Rani mengangkat alis, jelas tak percaya. Ia sudah terlalu lama mengenal Nayla untuk terkecoh oleh alasan sederhana. “Ini tentang Elhan lagi, ya?” tanyanya pelan, hati-hati.

Nama itu terdengar seperti pisau yang menusuk dada Nayla. Ia menunduk, pura-pura sibuk membolak-balik berkas. “Ran, aku lagi nggak mau bahas dia sekarang.”

Rani menarik kursi, duduk di samping Nayla. “Aku ngerti. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan nyimpen semua ini sendiri. Kamu kelihatan capek banget, Nay.”

Nayla menutup mata sejenak. Kalimat Rani sederhana, tapi membuatnya hampir pecah. Ia ingin bercerita, ingin mengeluarkan semua, tapi ia juga takut—takut kalau semakin ia ucapkan, semakin nyata luka itu terasa.

Sebelum Nayla sempat menjawab, notifikasi di ponselnya berbunyi. Ia menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang. Hanya satu orang yang bisa membuatnya bereaksi seperti itu.

Namun ketika layar ponsel menyala, yang muncul bukan pesan dari Elhan, melainkan dari nomor tak dikenal.

Isi pesannya singkat:

“Kalau kamu masih mau bersama dia, hati-hati. Ada hal yang nggak kamu tahu.”

Mata Nayla membesar. Jantungnya berdegup liar. Pesan itu terasa asing sekaligus mengancam. Ia menatap layar lekat-lekat, berharap bisa menemukan petunjuk siapa pengirimnya. Tapi tidak ada nama, tidak ada tanda. Hanya nomor asing, kosong, misterius.

Rani yang memperhatikan perubahan ekspresi Nayla langsung curiga. “Kenapa, Nay? Siapa?”

Nayla buru-buru mengunci ponsel, menyembunyikan layar. “Nggak ada. Salah kirim mungkin.” Ia tersenyum paksa, tapi senyumnya kaku, penuh kegelisahan.

Namun jauh di dalam hati, Nayla tahu pesan itu bukan sekadar salah kirim. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Dan pagi itu, ia sadar: luka karena cinta belum cukup. Kini, ada rahasia yang mulai menjerat langkahnya.

Sepanjang sisa jam kerja, pikiran Nayla tidak tenang. Dokumen-dokumen di mejanya hanya jadi hiasan. Matanya sekilas membaca angka-angka, tapi otaknya sibuk memutar satu kalimat dari pesan misterius itu.

“Kalau kamu masih mau bersama dia, hati-hati. Ada hal yang nggak kamu tahu.”

Kalimat sederhana, tapi rasanya seperti jebakan. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan kenapa seolah tahu tentang hubungannya dengan Elhan—hubungan yang bahkan sudah berakhir?

Sesekali Nayla melirik ponsel yang tergeletak di samping keyboard. Tidak ada pesan lanjutan, tidak ada panggilan. Hanya layar hitam yang seakan menunggu dirinya berani membuka lebih jauh.

“Kerjaanmu selesai nggak, Nay?” suara atasan membuatnya tersentak.

“I-iya, Pak. Hampir.” Nayla buru-buru mengetik beberapa kalimat, meski tulisannya berantakan.

Setelah atasannya berlalu, Rani mencondongkan tubuhnya, berbisik. “Tadi aku liat ekspresi kamu berubah pas baca pesan itu. Jangan bilang nggak ada apa-apa. Aku bisa bedain, Nay.”

Nayla menggigit bibir, ragu. Bagian dari dirinya ingin berbagi, tapi sisi lain menahan. Kalau ia bercerita, bukankah itu berarti ia harus membuka lagi luka tentang Elhan?

“Nggak penting, Ran. Serius. Nanti aku ceritain, kalau aku udah siap.”

Rani menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Ya udah. Tapi jangan dipendam sendirian. Aku ada di sini kalau kamu butuh.”

Hari itu terasa berjalan lambat. Jam dinding seperti sengaja mempermainkan waktu, menunda kepulangannya. Ketika akhirnya bel kerja berbunyi, Nayla menarik napas lega. Ia segera merapikan barang-barangnya, lalu keluar dari kantor.

Di halte bus, ia kembali membuka ponsel. Nomor asing itu masih ada di layar, kosong tanpa identitas. Dengan jari gemetar, Nayla mencoba menelpon balik.

Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali.

Namun tiba-tiba, sambungan diputus.

“Kenapa dia nggak angkat?” gumam Nayla, resah.

Belum sempat ia menutup ponsel, pesan baru masuk.

“Jangan coba-coba cari aku. Lebih baik kamu diam kalau nggak mau semakin sakit.”

Nayla membeku. Pesan itu jelas, dingin, seperti peringatan. Jantungnya berdegup keras, keringat dingin merembes di pelipis. Ia menelan ludah, menatap layar lama-lama, mencoba mencari arti di balik ancaman itu.

Bus datang. Ia naik dengan langkah gontai, lalu duduk di kursi dekat jendela. Sepanjang perjalanan, matanya hanya menatap keluar, tapi pikirannya berkecamuk.

Siapa orang ini? Apa hubungannya dengan Elhan?

Apa benar ada hal besar yang disembunyikan darinya?

Hatinya gamang. Selama ini ia sudah cukup remuk karena restu yang tak pernah datang. Tapi kini, seolah ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, mengintai dari balik bayangan.

Dan di lubuk hatinya yang terdalam, Nayla tahu—ia belum siap menghadapi rahasia itu.

Namun, bisakah ia benar-benar menghindarinya?

Siap bestiii 🤍 aku lanjutin langsung Bab 5 – Bagian 3 ya, biar lebih panjang, detail, dan makin bikin penasaran.

Malam turun dengan cepat. Lampu-lampu kota mulai menyala, memantulkan cahaya ke jendela bus yang berembun. Nayla menatap bayangan dirinya di kaca—mata sayu, pipi pucat, bibir kering. Ia hampir tak mengenali perempuan yang menatap balik dari pantulan itu.

Setiap kata dalam pesan terakhir terus menggaung di kepalanya.

“Jangan coba-coba cari aku. Lebih baik kamu diam kalau nggak mau semakin sakit.”

Si pengirim seolah tahu persis kelemahannya. Kata sakit itu bukan sekadar ancaman, tapi juga pengingat akan luka lama yang belum sembuh. Luka ditinggalkan Elhan. Luka karena tak pernah dianggap cukup baik oleh ibunya Elhan.

Tangannya bergetar ketika ia mencoba menuliskan balasan. Tapi sebelum jari-jarinya menyentuh layar, ia ragu. Bagaimana kalau justru itu yang diinginkan orang misterius ini? Bagaimana kalau setiap balasan hanya akan membuat dirinya makin terjebak?

Ponselnya ia letakkan lagi di pangkuan. Ia menggenggam erat, seolah benda kecil itu bisa melindunginya dari badai.

“Nay?” suara sopir bus memecah lamunan. Ternyata ia sudah sampai di halte dekat rumah. Dengan tergesa, Nayla turun.

Angin malam menerpa wajahnya begitu ia melangkah ke trotoar. Sepi. Jalanan hanya dilintasi beberapa motor. Lampu jalan redup, menambah kesan muram.

Setiap langkah terasa berat. Nayla melirik ke kanan-kiri, perasaan tak nyaman merayap. Ada sesuatu yang tak beres. Seolah ada mata yang mengawasinya dari balik kegelapan.

“Jangan bego, Nay. Jangan mikir aneh-aneh,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi suara hatinya tak bisa dibungkam. Ia semakin mempercepat langkah, hampir berlari kecil.

Setibanya di depan rumah, ia buru-buru membuka gerbang, masuk, dan menguncinya rapat-rapat. Baru setelah itu ia bisa bernapas lega.

Di dalam kamarnya, Nayla merebahkan diri di ranjang. Tapi bukannya tenang, pikirannya makin kacau. Ia menatap langit-langit, mencoba menata napas. Namun tiba-tiba—

Briiing!

Ponselnya kembali bergetar. Dengan jantung berdebar, ia meraih ponsel itu.

Satu pesan baru. Dari nomor yang sama.

“Jangan percaya semua yang pernah dia bilang. Cinta itu cuma topeng.”

Nayla membeku. Tangannya lemas, hampir menjatuhkan ponsel. Pesan itu terlalu tajam. Seolah merobek luka lama dan menaburkan garam di atasnya.

“Elhan…” bibirnya bergetar menyebut nama itu.

Air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Kalau pesan itu benar, kalau memang ada sesuatu yang disembunyikan Elhan… lalu apa artinya semua perjuangan mereka selama ini? Semua janji, semua pengorbanan?

Nayla menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya terguncang oleh tangis. Malam itu, ia merasa benar-benar sendirian, dikepung oleh rahasia yang tak sanggup ia pahami.

Dan entah kenapa, di balik ketakutan itu, ada firasat kuat—bahwa ini baru permulaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Angin di Antara Kita    Bab 57 Tangisan Dalam Sunyi

    Sudah berbulan-bulan berlalu sejak terakhir kali Nayla dan Elhan saling bicara. Waktu terus berjalan, tapi rasanya dunia mereka berhenti di titik yang sama — di antara yang masih ingin bertahan dan yang pura-pura kuat untuk melepaskan. Hari-hari Nayla kini terasa sunyi, bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarnya. Semua berjalan otomatis: bangun, kuliah, pulang, membaca, menatap langit, lalu menangis tanpa suara di dalam kamar. Tangis yang tidak lagi berisik, tapi semakin dalam. Tangis yang tak butuh alasan karena hatinya sendiri sudah cukup jadi luka. “Ra, kamu pernah ngerasa kehilangan sesuatu yang masih ada?” Suatu sore Nayla bertanya begitu pada Rara, tanpa menatapnya. Rara menoleh, terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maksud kamu?” “Kayak… seseorang itu masih hidup, masih bisa aku lihat, tapi rasanya udah nggak bisa kugapai lagi. Padahal dia ngg

  • Angin di Antara Kita    Bab 56 Hati yang Remuk

    Tak ada yang lebih sunyi dari seseorang yang berusaha terlihat tegar, sementara dalam dirinya sudah berkeping-keping. Dan itulah Nayla. Hari-hari setelah perpisahannya dengan Elhan terasa panjang dan asing. Ia masih datang ke kampus, masih tersenyum pada dosen, masih menjawab sapaan teman-temannya — tapi di dalam hatinya, ia sudah bukan Nayla yang sama. Semua yang dulu terasa hidup kini kehilangan warna. Setiap kali lewat di lorong tempat dulu mereka sering menunggu hujan reda, ingatannya menolak diam. Ia masih bisa mendengar suara tawa Elhan di telinganya — suara yang kini tinggal gema samar. Bahkan aroma kopi hitam dari kantin belakang kampus saja bisa membuat dadanya sesak. Dulu Elhan selalu membelinya untuk mereka berdua. Sekarang? Ia bahkan tak tahu apakah Elhan masih datang ke tempat itu atau tidak. “Udah dua minggu, La,” ucap Rara pelan suatu sore. “Kamu nggak bisa t

  • Angin di Antara Kita    Bab 55 Langkah yang Kembali

    Waktu ternyata tak benar-benar menghapus segalanya. Ia hanya menyamarkan luka di balik rutinitas, menyembunyikan kenangan di sela-sela napas yang berulang. Namun, ada hal-hal yang tetap bertahan — seperti nama yang diam-diam masih disebut dalam doa, atau tatapan yang terus terbayang meski tak lagi bertemu. Sudah dua tahun sejak Nayla dan Elhan memilih jalan masing-masing. Dua tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara. Tapi di dalam sunyi yang panjang itu, hati mereka tak pernah benar-benar berhenti saling memanggil. Pagi itu, Nayla duduk di taman belakang perpustakaan kampus lama mereka. Tempat yang dulu menjadi saksi setiap tawa, perdebatan, dan janji yang tak sempat ditepati. Ia datang bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berdamai. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya terlihat lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu — sisa-sisa dari cinta yang pernah ia simpan terlalu dalam. I

  • Angin di Antara Kita    Bab 54 Langkah yang Pulang

    Waktu akhirnya sampai di titik tenang. Bukan karena segalanya mudah, tapi karena semua yang berat sudah diterima dengan lapang dada. Pagi itu, udara Bandung terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi masih cukup lembut untuk mengajak seseorang mengenang tanpa sakit lagi. Nayla melangkah keluar rumah, membawa satu tas kecil dan naskah buku keduanya. Di dalam tas itu juga terselip surat—bukan untuk Damar, bukan untuk siapa pun—melainkan untuk dirinya sendiri. Ia menatap jalan kecil di depan rumahnya. Jalan yang dulu sering ia lewati sambil menangis diam-diam, tempat di mana setiap langkah terasa seperti memikul seluruh dunia. Sekarang, langkah yang sama terasa ringan, bahkan menyenangkan. Di halte dekat taman, seseorang sudah menunggunya. “Pagi, Nay,” sapa Rara, tersenyum lebar. “Pagi. Udah lama?” “Baru aja. Kamu beneran mau berangkat sendirian?” Nayla mengangguk. “I

  • Angin di Antara Kita    Bab 53 Menulis untuk yang Tak Tertulis

    Beberapa hari terakhir, meja kerja Nayla dipenuhi catatan berserakan. Di antaranya, ada potongan dialog lama, surat tak terkirim, dan halaman-halaman jurnal yang sudah menguning. Semua terasa seperti kepingan hidup yang menunggu untuk disatukan. Ia menatap layar laptop yang menampilkan satu baris judul: “Langkah di Balik Gelap – Sebuah Kisah Tentang Bertahan dan Melepaskan.” Judul itu membuatnya terdiam lama. Itu bukan sekadar judul, tapi napas dari seluruh perjalanan yang telah ia lewati — cinta, kehilangan, perjuangan, dan semua yang tak sempat ia ucapkan. ⸻ Nayla mulai mengetik perlahan. Kata demi kata mengalir, bukan dari pikirannya, tapi dari tempat yang lebih dalam — hatinya sendiri. Ia menulis tentang seorang gadis yang mencintai dengan cara sederhana, tentang laki-laki yang memilih pergi demi menjaga yang dicintainya, tentang waktu yang mem

  • Angin di Antara Kita    Bab 52 Janji yang Tertinggal

    Sudah hampir satu tahun sejak pertemuan Nayla dan Damar di pameran buku itu. Kehidupan Nayla kini berubah begitu cepat. Buku-bukunya mulai dikenal, undangan wawancara datang silih berganti, dan kelas menulisnya makin ramai. Namun di tengah segala kesibukan dan tepuk tangan, ada satu ruang kecil dalam dirinya yang tetap hening — ruang yang dulu diisi Damar. Bukan berarti ia masih terjebak pada masa lalu. Tidak. Ia sudah berdamai. Tapi kedamaian itu menyisakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi: janji yang tertinggal. ⸻ Suatu pagi, Nayla duduk di teras rumah sambil menatap kebun kecil di depannya. Kopi hangat mengepul di genggaman, aroma melati dari pot bunga menyatu dengan udara. Pagi itu damai — sampai notifikasi di ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang lama tak aktif. “Hai, Nay. Aku di kota. Bisa ketemu?” – Damar. Nayla menatap layar l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status