Aku sempat berdebat kecil dengan Louist karena melakukan rencana gegabah—masuk ke Akademi Grinover—jadi kupikir kami akan mengakhiri itu dengan adu tonjok, tetapi tidak kusangka ternyata Louist mengerti.
“Kau idiot. Jadi, jangan melakukan kesalahan sedikit pun.”
“Yang tidak sekolah biasanya lebih idiot,” balasku.
Jadi, waktu itu hari Senin. Aku sempat berpikir tidak akan menghadiri upacara penerimaan, tetapi di sanalah aku. Berdiri di depan gedung Akademi Grinover yang kelihatan jauh dari bayanganku. Barangkali aku terkagum-kagum dengan kebodohan Lockwood. Maksudku—iya, ini akan terdengar kurang ajar, tetapi wujud Akademi Grinover sulit untuk kupercaya.
Aku berusaha berpikir wajar melihat air mancur memiliki relief bertuliskan Lockwood. Maka seharusnya bukan hal aneh melihat jalan terlihat bak trotoar dengan lampu-lampu khas mirip lampion. Dinding sekolahnya berlapiskan marmer putih. Nuansa kelasnya mirip teater—tempat duduk yang semakin ke belakang semakin ke atas. Keramiknya licin seolah terbuat dari bahan kelas atas yang harus selalu bersih. Segalanya tampak dalam nuansa kerajaan yang fiktif.
Jelas ini bukan tempat bagi penduduk Kawasan Normal yang kumuh.
Jadi, bukan hal aneh kalau di periode istirahat makan siang, tiga orang yang sepertinya kakak kelas sudah berdiri di depanku, membawa senjata yang tampak bisa membuatku babak belur. Pemukul bisbol, sapu, dan pipa yang entah dari mana asalnya. Mereka berdiri, memelototiku yang duduk di bawah pohon ek pinggir lapangan sepak bola.
“Charlie Redrich, bukan?”
Aku menghela napas kecil, menutup buku. “Benar. Ada urusan apa?”
“Tidak perlu bertingkah sopan, brengsek.” Dia mencengkeram kaus—atau leherku, lalu memaksaku berdiri. Belum sampai sedetik sejak aku bangkit, mereka sudah menabrakkan punggungku ke pohon ek. “Kau tentunya tahu siapa ayahku.”
Aku menahan lengannya agar tidak terlalu mencekik.
“Untuk apa aku tahu ayahmu?” kataku, sempat membalas.
“Aku Regan Reeves. Tapi kau tidak perlu repot mengingatnya karena kau akan dikeluarkan. Ingat saja kalau ayahmu membunuh ayahku, dan ini bukti dendamku padamu.”
Dia mulai kuat mencekikku sampai napasku sedikit tersendat.
Semestinya aku membela. Ini hari pertamaku sekolah, bukan hal lucu kalau sudah mendapat peringatan karena berkelahi. Namun, beberapa murid sekitar mulai membentuk kerumunan kecil, menyaksikan adegan yang barangkali akan berakhir adu tonjok. Aku pemberontak. Mereka Lockwood. Semestinya wajar mereka memusuhiku. Namun, melihat raut mukanya yang penuh aura membunuh, mau tak mau aku mengayunkan kakiku, menendang tepat ke perutnya.
Kakiku melesak cukup dalam. Dan dia terkejut, mengerang, terhempas kecil ke belakang. Punggungnya membungkuk, tangannya memegang perut, mata babinya membelalak—tepat padaku ketika aku mulai terbatuk-batuk.
“Brengsek!” pekiknya.
Dia mengepalkan tangan, lalu menarik kuat sikunya ke belakang sebelum mulai melompat. Tolakan dari kakinya membuat kecepatannya bertambah. Matanya melotot penuh aura kebencian yang terlihat akan menghajar hidungku.
Secara naluri, tubuhku bergerak ke samping, menghindari amukan kepalan tangannya. Dia meninju udara kosong, dan sentakan itu membuatnya terjungkal. Beberapa orang di kerumunan tertawa. Tampaknya dia malu. Jadi, dia segera ambil posisi dan menerjang kembali dengan tonjokan andalannya.
Sayangnya, dia naif. Serangannya hanya lurus—itu tidak terlalu mengancam mengingat keseharianku di Kawasan Normal adalah perebutan makanan dengan tinju. Dulu.
Aku kembali menghindar, lalu segera mengambil posisi sepertinya.
Tampaknya aku menang. Tanganku mengepal—tepat di samping tubuhnya yang berusaha menahan keseimbangan. Dia terkejut. Belum sempat dia bereaksi, tonjokanku sudah melesak ke pipinya persis seperti petinju yang menyerang dengan uppercut. Rasanya seperti menonjok gigi dengan serangan penuh. Itu kena dengan sangat telak.
“AKH!” erangnya. Dia terjungkal sampai menabrak pohon ek.
Kemudian segaris cairan merah keluar dari mulutnya.
“Darah!” pekik seseorang. “Dia membuatnya berdarah!”
Kerumunan semakin ramai. Murid yang sebenarnya tidak di sekitar lapangan mendekat. Belum sempat aku menyesal, seseorang terlihat menyerbu dari kerumunan. “BRENGSEK!” Dia mengarahkan kepalannya lalu—buk!
Aku menahan kepalannya, menatapnya tajam.
Tampaknya dia tahun pertama sepertiku. Dia terkejut, berusaha segera menarik lengannya seolah aku bisa melambatkan waktu. Namun, dia lemah dan aku lebih kuat. Aku memikirkan apa yang bisa kulakukan padanya, ketika melihat matanya mulai mengeluarkan air. Jadi, aku menarik tangan dan dia segera tunggang-langgang kembali ke kerumunan.
“IBLIS!” pekiknya. “TANGANKU PATAH!”
Aku bisa saja membuat itu sungguhan, tetapi aku menatap Regan Reeves. Dia terduduk di bawah pohon ek, membuka mulutnya, sementara dua orang temannya berusaha membuatnya baik-baik saja.
“Sampah,” kata salah satu temannya. “Kau memang pembunuh.”
“Sekolah takkan menerima pembunuh.”
“Mana ada pembunuh mengaku pembunuh.”
Aku hampir membalas, tetapi suara seseorang memotong dari kerumunan. Sir Bram—wakil kepala sekolah—membelah kerumunan. Dia melihat kami dan tidak begitu terkejut. Matanya berulang kali melngamati Regan Reeves, dua orang temannya, lalu padaku, lalu kembali melihat Regan Reeves. Tampaknya dia berhasil menemukan darah di mulut Regan Reeves.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya.
“Dia menonjok Regan Reeves!” bentak salah satu temannya menunjukku.
“Dan kau berniat mengeroyokku.” Aku menunjuk pipa dan pemukul bisbol. “Kalau mau latihan bisbol, jangan bawa pipa!”
Sir Bram menghela napas. Kupikir dia akan menegur mereka, tetapi tidak. “Itu tindakan tidak terpuji, Redrich. Dan itu berlaku untuk kalian. Apa yang kalian lakukan dengan pemukul bisbol dan pipa itu?”
“Dia tidak seharusnya di sini!” sergah Regan Reeves.
“Memangnya apa yang kau lakukan di sini, Redrich?”
“Seharusnya membaca buku.”
“Baiklah.” Sir Bram tampak kecewa. “Istirahat makan siang sudah selesai dan itu artinya semua orang harus kembali ke kelasnya. Reeves, pergi ke UKS, dan jangan sampai aku melihatmu berkelahi. Redrich, pergi temui Bu Hiroko di ruang konseling. Dia punya banyak nasihat yang berguna untukmu.” Sir Bram mendapati kerumunan masih padat. “Kenapa kalian masih di sini? Istirahat makan siang sudah selesai!”
Kerumunan berjalan pergi. Beberapa saling berbisik yang kurang lebih mempertanyakan keberpihakan Pak Bram.
Aku baru mau mengikuti, ketika Sir Bram memanggil. “Redrich.”
Aku berhenti. “Ya, Sir?”
Aku belum pernah mengenal Sir Bram sebelum menginjakkan kaki di sini, maka itu berarti kalau aku merasa terintimidasi melihat matanya yang berkilat bak sedang menahanku. “Kau harus menjaga perilakumu di sini. Akademi Grinover tidak pernah menerima murid non-Lockwood sejak empat tahun lalu, dan itu berarti kalau kau murid pertama yang mendapatkan itu. Kau mengerti maksudku?”
“Saya tidak mengerti maksud non-Lockwood.”
“Bukan simpatisan Lockwood,” koreksinya. “Mungkin tidak semua yang di sini mendukung Lockwood, tapi kau, jelas menentang mereka.”
“Tapi mereka menyebutku pembunuh.”
“Dan bukankah itu yang kau katakan padaku? Bahwa kau tidak akan peduli disebut pembunuh?”
Aku terdiam. Itu benar. Aku memang mengatakan itu.
“Sejauh apa pun kau melangkah di sini,” katanya, “ingatan mereka tentang keluargamu tidak bisa hilang. Kalau kau memang bukan pembunuh, buktikan juga dengan perilakumu. Jangan sampai aku mendengarmu membuat masalah lagi. Kau harus temui Bu Hiroko karena dia pasti menunggumu dengan banyak kata-kata.”
"Tapi semua orang takut karena mengiraku pembunuh."
"Kalau kau tertekan dengan itu, berarti kau merasa sebagai pembunuh. Kalau kau memang bukan pembunuh, jangan biarkan perasaan itu mengekangmu. Buktikan ke mereka."
Dia menepuk pundakku, lalu meninggalkanku dengan sebongkah amarah. Itu logika yang konyol. Tentu saja mereka menjauhiku. Siapa yang mau berurusan dengan pembunuh?
Barangkali aku memang tahu posisiku. Lockwood sebagai pemenang dari era pemberontakan bebas mengubah sejarah dan mengukir namanya sebagai kebenaran. Namun, aku tahu apa yang terjadi pada keluargaku—bagaimana ayah dan kakak terbunuh. Aku tahu apa yang terjadi pada ibuku, meski itu hanya sebatas asumsi. Hanya saja, semua jelas. Lockwood adalah kaum penguasa yang harus disingkirkan.
Kugumamkan sesuatu tentang kesabaranku, ketika mataku mendapati sosok perempuan di antara kerumunan yang berjalan. Bukan karena dia berjalan dengan gaya yang seksi dan memikat, tetapi karena dari semua orang yang berjalan menuju gedung utama, dia berdiri, menatap tepat ke arahku seolah menanti mataku untuk mendapatinya. Maka aku menemukannya dan kami bertautan mata.
Rena Lockwood. Cucu target terbesar Louist, Tracy Lockwood.
Sebenarnya aku tidak masalah dengan sorot mata kebencian, tetapi setelah merasakan itu selama beberapa jam, aku merasa bahwa mendapati sorot mata tulus adalah hal paling tabu yang bisa kudapatkan. Namun, itu terjadi. Rena Lockwood menatapku dengan sorot tulus yang bercampur aduk. Raut mukanya terlihat begitu dalam sampai segala hal terkesan kosong. Dia seperti lega, atau takut, atau bahkan keduanya. Aku tidak mengerti mengapa bisa memikirkan itu, tetapi dengan nuansa yang dia pancarkan, aku seperti melihat dinding tinggi tengah mengelilinginya.
Maksudku, kami sudah sering bertemu dalam satu hari ini—setelah upacara penerimaan, atau saat kami menuju kelas pertama kami. Dia terkenal, atau setidaknya, kecantikan membuatnya terkenal. Hidup sebagai eksistensi cucu orang yang berkuasa sudah sewajarnya memiliki penampilan yang enak dipandang. Dan, tentu saja wajar dia menghindariku. Jadi, aku tidak mengerti mengapa dia memandangku dengan cara seperti itu. Dari semua kepalsuan yang dia tampilkan selama beberapa jam ini, itu pertama kali aku melihatnya tanpa topeng tebal.
Matanya berkaca-kaca dengan senyum kecil bak busur cupid.
Dan mengarah tepat kepadaku.
Tidak ada orang lain yang memerhatikan. Setidaknya, itu yang kupikirkan. Namun, selang beberapa saat, terdengar gumaman. “Astaga. Lihat. Malaikat Tak Bersayap tersenyum padaku.”
“Apa?" sahut seseorang. "Di mana dia?”
Dan kusadari ini. Tidak ada yang menyadari keberadaan dinding pada Rena Lockwood karena tidak seorang pun memikirkan itu. Tidak ada yang berpikir bisa menggapainya karena jati dirinya sebagai cucu orang paling penting. Hanya saja, dari sisi pemberontak selalu ada sesuatu yang bisa dilihat dari sekadar posisi dan martabat.
Namun, meski aku tahu itu, ada fakta yang melekat dalam diri kami. Perbedaan di antara kami memang selebar jarak antara langit dengan bumi.
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri