Sebenarnya aku sudah curiga ketika Kakek dan Rena tidak keluar dari ruang belakang hampir satu jam penuh, tetapi aku terus meladeni Louist tentang siapa yang paling cepat mendapatkan satu ember penuh untuk pertandingan adu pancing minggu depan dan tidak terasa dua jam sudah berlalu.
Aku terkejut, dengan segera berpikir kalau Rena akan membenci sekaligus menghilangkan kepercayaannya padaku. Aku mendobrak masuk (sebenarnya aku membuka pintu secara perlahan) dan langsung mendapati ruangan sangat gelap.
Ruang belakang memang gelap, hanya ada cahaya remang-remang karena semua aliran listrik mengarah ke bagian depan—tetapi itu tidak cukup membutakan mataku yang melihat Kakek duduk di sisi ranjang gantung, tepat memandang Rena yang berbaring. Dari sudut ini, aku melihat Kakek seperti bersimpati.
“Apa yang terjadi?” tuntutku.
Kakek menoleh. Aku tidak mampu melihat ekspresinya karena gelap, tetapi telingaku cukup jelas mendengar: “Dia butuh
Begitu jam istirahat makan siang tiba, Regan Reeves muncul di kelasku. Dia berdiri di depan pintu, menghalangi jalan semua orang, lalu menemukanku dengan segera yang masih berada di tempat duduk. Jadi, dia menabrak orang-orang di pintu, berjalan dengan gaya penantang.Dan tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku.Dia tidak terlihat akan menonjok karena kedua tangannya di saku. Dia justru mengedikkan kepala, seperti memerintah agar aku mengikutinya. Kalau dia pikir aku mau, maka dia benar. Aku perlu mengamankan posisi, dan cara tercepat adalah dengan melawan semua yang berniat melawan.Aku mengikuti langkahnya dari belakang, ketika dia menghalau sorot mata orang-orang yang menatap kami. Dia cukup tenang. Jalan dengan meletakkan sorot mengancam pada semua orang—yang cukup ampuh memberi jalan untuk kami. Dia mengajakku berjalan sampai Gedung Olahraga, tempat yang kupikir akan menjadi ring tinju baru untuk kami. Kami masuk, dan itu pertama kali aku melihat bagia
Saat itu aku sibuk menyiapkan daging panggang yang diberi Kakek, katanya tidak suka daging terbuang begitu saja. Jadi, aku membuat sejenis daging panggang dengan saus, dan hanya dengan itu, Rena menganga.“Kau bisa masak ini?”“Mungkin.”“Menyebalkan. Ini resepku!”“Stop. Buka mulutmu, dan coba saus ini.” Dia menggeleng. Katanya, “Pasti pedas. Kau suka jail.” Dan kubilang, “Kubuat tidak pedas. Makanya coba dulu.”Jadi, dia mencicipinya.Dan mengangguk-angguk. “Berikan padaku. Biar aku yang buat.” Selang sedetik, dia kesal. “Aku cuma memberitahumu sekali, tapi enak.”“Aku benci masak,” aku membela. “Tidak praktis.”“Dari mana kau tahu aku tidak suka pedas?” Dia menyodorkan sausnya, dan enak. “Dasar penguntit,” katanya.“Apa?” kataku. “Kau yang bilang sendiri.&rdq
Jam tiga pagi.Aku masuk ruang kerja, melihat Rena tertidur di balik selimut. Dia pernah mengomel karena mendapatiku tidak tertidur, jadi aku berusaha agar dia tidak tahu aku berada di ruang kerja selarut ini. Mungkin dia akan mengomel karena aku bisa masuk semudah itu, tetapi rasanya dia tidak akan semarah itu.Aku membuka laci meja kerja, lalu duduk. Cahaya remang-remang lampu sebenarnya tidak terlalu membantu untuk membaca, tetapi aku masih memahami beberapa baris kata. Hanya saja, ini berkas tiga tahun lalu, jadi tidak mengherankan kalau tulisannya sudah kabur atau kertasnya sendiri sudah sangat lecek.Sebenarnya hanya beberapa surat kabar.Soal kecelakaan Redie Lockwood.Beberapa jam terakhir, tentunya setelah Rena tidur, aku memutar rekaman kecelakaan Rena dan—entahlah, aku tidak bisa memikirkan apa pun dari rekaman itu. Diambil tepat di persimpangan yang jelas merekam adegan tumbukan lenting sempurna dari kedua mobil. Mobil Bu Hiroko j
Tujuh hari berlalu sejak kematian Rena dan berita tentangnya masih terus bertebaran. Mulai dari konspirasi hubungan gelap dengan Ola Adelisson, prediksi bahwa dia menjadi korban pembunuhan berantai, atau teori bahwa itu kecelakaan yang diatur. Ada ribuan teori yang muncul, tetapi tidak satu pun dari itu mengarah ke keluarganya. Maksudku—katakanlah—investigasi kekerasan.Sebenarnya keherananku semakin menguat karena hasil autopsi jasad Rena belum keluar. Saat aku membicarakan itu dengan Louist, dia terdiam cukup lama, yang membuatku mengerti bahwa kami sepemikiran.Maka di hari itu, untuk pertama kalinya aku kembali bicara dengan Bu Hiroko. Kami di bilik konseling, duduk berhadapan, dan mengunci akses dari luar. Bu Hiroko memastikan tidak ada siapa-siapa di sekitar kami sebelum aku bertanya,“Polisi sudah di sekolah. Ada yang mereka curigai di sini?”“Itu kau, Nak.” Bu Hiroko menghela napas, menyandarkan punggung. &ldquo
Malam itu, setelah menghabiskan beberapa waktu dengan membaca jurnal ayah yang memiliki bahasa tinggi, aku terlelap begitu saja.Dan mataku terbuka.Namun, gelap. Tidak ada cahaya sama sekali.Di sekitar tidak terlihat apa pun, baik itu langit-langit, tempat berpijak, atau apa pun. Kosong seperti hampa. Hanya kegelapan mencekat.Tubuhku agaknya berdiri. Namun, aku ingat tertidur di meja dengan posisi kacau. Tanganku terasa ringan seperti sehabis mengangkat beban berat.Dan tiba-tiba aku merasa perlu meraba saku celana. Aku menemukan ponsel dan menyalakannya. Cahaya itu menerangi ruang kosong. Aku tidak tahu mengapa, tetapi cahaya mulai mengarah ke sekitar. Tubuhku bergerak sendiri. Dan cahayanya bergetar, seolah aku takut dan tubuh ini seperti bukan milikku lagi.Aku berjalan, dan di langkah pertama, terdengar suara seperti besi terjatuh.Jadi, aku memberanikan diri menyinari benda yang kuinjak.Itu rantai——
Jantungku melompat.Aku membuka mata, melihat kilasan bahwa kepalaku akan menanduk meja. Selang sedetik, keningku membentur meja, dan rasa sakit di kepalaku terasa nyata.Mimpi.Begitu menyadarinya, seseorang meremas lenganku. Aku menoleh, mendapati Rena yang panik luar biasa. Dia menatapku—cemas. Dan dalam masa yang sulit untuk kuterima, dia mendekat. Aku masih sulit menggapai sekitar, ketika dia mulai melingkarkan lengan ke punggungku.“Kau di sini,” katanya, memelukku. “Charlie, kau di sini.”Entah bagaimana perasaan lega menguasaiku. Aku tidak tahu apa yang dia lihat, tetapi tubuhku kaku layaknya disengat listrik. Pandanganku kaku menatap lurus. Seluruh tubuhku bergetar. Keringat menyelimutiku. Aku tahu ketakutan itu kembali menguasai segala hal tentang benakku.Jadi, suaraku bergetar kuat. “Aku kembali.”“Kau tidak pernah pergi,” katanya, di pundakku.“Kau terluka
Itu pertama kalinya aku mengalami mimpi buruk sejak Rena bersamaku.Entahlah, aku tidak terlalu ingin memikirkan itu. Yang jelas: aku punya niat meledakkan diri kalau mengingat itu. Sebenarnya ada suatu perjanjian tidak tertulis kalau dia tidak boleh menangis di depanku lagi, dan, ya, kami sama-sama berjanji karena topik masa lalu bisa menyinggung kami berdua—sekaligus. Namun, siapa yang menyangka kalau janji itu dipecahkan olehku?Belum lagi, dia Rena. Gadis yang, kau tahu, kalau ingin jail, dia akan benar-benar jail sampai ubun-ubun. Selama dua hari ini, dia tidak berhenti menggoda. Dia akan berhenti di dekatku, memasang senyum sangat lebar, lalu berkata, “Kau imut kalau menangis. Mau menangis lagi di pelukanku?”“Tutup mulutmu atau aku menangis setiap hari.”“Kalau mau memelukku, belikan aku donat paling enak di muka bumi.”Di sisi lain, aku juga semakin dalam menyelidiki kecelakaan Rena bersama Louist.
Aku memutuskan ke toko kelontong, meminjam motor butut Kakek. Di sana ada Louist. Jadi, aku meminta bantuannya agar memberi pengamanan ekstra selama kami berada di Kawasan Normal.“Rasanya aku jadi budakmu,” katanya. “Kau yakin?”“Selama aku bisa membuatnya tertutup, kurasa aman.” Dia memberi kunci motor. “Sudah waktunya dia tahu semua ini.”“Yah, aku tahu ini akan terjadi.” Dia memberiku bola karet. “Bom asap dan sedikit gas air mata. Kau bisa membayarnya dengan jam kerja.”“Ini kerja rodi,” kataku. Namun, kami sepakat.Jadi, aku kembali dengan motor yang memiliki knalpot tidak bersuara. Aku meminta Rena memakai hoodie, dan dia tertawa saat aku memberinya topi.“Penyamaran ini lagi. Kau suka, ya?”“Sepertinya satu minggu berdiam di satu tempat membuatmu gila.”Dan tiba-tiba aku mencium aroma tertentu yang cukup mengusik