"Tuan Alexan.."
Demon berparas lelaki dewasa itu menoleh, mendapati dua orang anak berjalan mendekatinya. "Ada apa Derl, Vinz?"
"Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu, apakah kau sibuk?" Tanya Derl kemudian, kedua mata birunya itu seperti menyiratkan rasa penasaran yang besar. Begitu pula dengan wajah Vinz. Akhirnya ia menghela nafas, menyusun sebentar lembar laporan warga di meja lalu beralih pada mereka.
"Ikut aku."
Alexan membawa mereka ke tepi Castil. Sebuah gubuk di atas tebing yang sering dijadikan tempat bersantai dirinya dan demon lain. Ia menghirup rokok sebentar, menghembuskannya hingga membuat Vinz terbatuk-batuk.
"Apa yang ingin kalian tanyakan?"
Derl mengambil alih, "Kami ingin bertanya mengenai Ferlind."
Ah, bocah itu. Alexan sudah hampir lupa dengan anak itu, tapi karena pertanyaan Derl, dia jadi mengingatnya lagi. "Apa yang ingin k
Belum genap satu hari sejak laporan mengenai hilangnya demon dari tetua hantu sampai di telinga. Kini Zein yang tengah menyelidiki keberadaan demon tersebut kembali mendapat laporan yang sekarang membuatnya terkejut. "Zein, aku datang kemari secara langsung untuk memberitahukan ini padamu. Demon yang hilang itu, dia.. sudah berhasil mendapatkan seorang tuan." "Apa?" "Benar, Zein. Aku juga tidak menyangka akan secepat ini, tapi aku benar-benar butuh bantuanmu segera sebelum semuanya menjadi rumit," Davine dan yang lain ikut terkejut, spontan memandang sang tuan dan melihat bagaimana responnya. Zein sendiri tak kalah kaget ketika mendengar berita ini. Pasalnya saat ini ia juga masih dalam tahap mencari jejak. "Bagaimana bisa?" Davine berbisik pelan. Tetua kembali melanjutkan. "Untuk itu, Zein. Aku menyampaikannya segera agar waktu yang tersisa dapat kau manfaatkan deng
Seperti dugaan mereka jika tuan muda Dimorras diikuti oleh demon, Zein kembali menugaskan Derl untuk mendekati Ferlind. Tapi kali ini bukan hanya untuk mengawasi, melainkan memperingati target mereka secara perlahan terlebih dahulu. Derl juga akan mencari tahu apakah Ferlind telah membuat perjanjian dengan demon tersebut ataukah belum.Tepat saat kaki Ferlind menapak di pintu gerbang sekolah, Derl yang telah menunggu segera menyusul dan dengan cepat menyandingkan langkah di sampingnya. Menumpukan pandangan pada sosok yang bahkan tidak menoleh sedikitpun padanya."Hey." Tidak ada sahutan, seakan Ferlind - atau lebih tepatnya iblis di dalam tubuhnya memang sengaja mengabaikannya. 'Kau mendengarku, kan?' Bahkan saat Derl mencoba untuk berkomunikasi melalui batin.'Jawab, kau mendengarku, kan?' Derl terus bertanya seiring dengan kaki mereka yang menuju kelas yang sama. 'Kau berada di dalam sana, aku tahu itu.'
"Hmm.."Bola mata Edrich bergeser perlahan ke arah sosok yang tengah duduk di depan jendela. Sedari tadi -makhluk yang menyebut dirinya sendiri iblis- itu akhirnya bersuara setelah diam bermenit-menit. "Ada apa, Sin?""Aku merasakan sesuatu yang akan terjadi, hmm.."Edrich menutup korannya. Beralih duduk di ranjang menghadap Sin. "Merasakan apa?" Dia masih penasaran dengan makhluk itu.Sin menggaruk janggut kasarnya, "Ada hal besar yang akan terjadi." Edrich mengerutkan alisnya. "Hal apa?""Hal burukkah? Atau.. Sesuatu tentang iblis dan semacamnya?" Manusia memang banyak tanya, Sin menghela nafas sebelum menyandarkan punggungnya ke kursi. "Sepertinya memang berkaitan dengan demon, soalnya aku mendengar desas-desus kalau ada demon kabur yang sedang dicari oleh para tetua hantu.""Para tetua hantu?" Edrich menyipitkan mata, tidak mengerti. Apakah makhluk tak kasat mata juga
"AAARGHH!!" Bocah lelaki itu menjerit begitu keras. Berkas sinar yang memenuhi mereka menunjukkan betapa kuatnya power yang tersembunyi di balik tubuh kecil itu. Sayangnya demon jahat telah lebih dulu meraup tubuhnya dan menyatukan diri dengan sangat cepat.Hingga akhirnya semua cahaya lenyap, Zein tetap berdiri tanpa bisa mencegah setitikpun penyatuan di hadapan wajahnya."Ferlind.." Ratap pilu terdengar dari demon muda yang memiliki hati selembut kapas. Zein yang menyatukan mereka, dan kini ia juga yang harus membuat mereka berpisah. Tak ada cara lain lagi. "Hssh..." Bocah lelaki yang sekarang menyerupai seorang iblis itu mendengus keras dan siap menerjang mereka. Zein harus segera bertindak. "Apa yang akan anda lakukan sekarang, tuan?" Pertanyaan itu turut bertalu di dalam pikirannya. Zein tak menjawab dan berusaha memusatkan pikiran.
Alexan sampai di mana Martin berdiri. Pria berambut panjang itu terhenti di tengah hutan dengan raut kebingungan. "Apa kau menemukannya, Martin?""Tidak, aku kehilangan jejaknya. Jejaknya berhenti hingga titik ini, aku tidak bisa menciumnya lagi." Tapi Derl yang tadi tertinggal di belakang mereka terus melesat ke depan hingga membuat kedua demon itu keheranan. Tak lama sang tuan pun tiba, seperti mengerti kebingungan anak buahnya Zein tanpa basa-basi segera memberi perintah. "Ikuti Derl. Dia tau dimana demon itu berada."Langkah Derl berhenti tepat di bibir tebing. Disusul oleh rekan-rekannya yang lain. Iris biru terang itu nampak menatap lekat permukaan air di bawah sana, membuat Martin dan Alexan semakin bertanya-tanya. "Apakah demon itu berada di bawah sana?"Sedangkan Zein berdiri dari kejauhan seakan memperhatikan apa yang akan demon muda itu lakukan selanjutnya. Beberapa waktu terlewat, mereka dikejutkan oleh gelembung-gelembung yang tiba-tiba saja muncul
Semua sudah usai. Ferlind sudah kembali begitupun dengan demon yang berhasil dikalahkan meskipun berakhir dilenyapkan. Tapi terjadi satu keanehan. Tetua hantu masih saja mendatangi Zein malam ini."Apa ini?" Martin mengeluh. Namun nampaknya bukan cuma dia yang bingung. Semuanya juga tidak mengerti mengapa bisa jadi begini. "Jadi demon itu bukan yang kau cari??"Tetua seperti tidak enak hati. Namun begitulah adanya, dia mengangguki pertanyaan Martin. Kemudian beralih pada tuan muda yang terdiam di tempatnya. "Maaf Zein, tapi demon yang kemarin adalah demon danau itu sendiri. Dia tidak ada dalam desaku, aku tidak mengenalinya.."Zein sebenarnya juga menyadari adanya keganjilan saat melihat demon itu menyatu dengan danau. Tapi meskipun begitu mereka tidak bisa berhenti di tengah pertarungan, apalagi dengan adanya Ferlind sebagai jaminan. "Maaf mengecewakan, tetua."Berdeham pelan, tetua mengelus janggutnya se
"Tidak bisa." "Apa??" Edrich berjengit, Sin seakan menghiraukan perintahnya seperti angin lalu. Terus mengodek telinganya bagaikan suara Edrich hanya benalu. "Apa maksudmu tidak bisa?!" Sin kemudian berdiri bersedekap di hadapan pria itu. Meski badannya lebih besar, sepertinya Edrich merasa lebih berkuasa disini. "Bukankah aku tuanmu?!" Benarkan? "Kau belum sepenuhnya jadi tuanku, lagipula urusan manusia bukan urusanku." Pria berkuncir yang semula terbakar api amarah itu berubah menyipitkan mata. Menatap Sin lekat. "Apa maksudmu aku belum sepenuhnya jadi tuanmu?" Terlihat seperti dia ingin segera memanfaatkan kesempatan memerintahnya itu. "Dengar, tuan Edrich." Sin mulai memasang wajah serius. "Bagaimanapun juga aku ini seperti hewan buas yang baru saja masuk rumahmu. Apakah kau bisa langsung memegang dan mengelusku seperti anak kucing? Meskipun aku tidak akan menelanmu hidup-hidup, a
"Aku tidak mengerti denganmu." Sepanjang jalan Harss menggelengkan kepala. Keheranan dengan pria kurus yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Edrich terus berjalan lurus tanpa menghiraukan polisi berbadan kekar itu. "Untuk apa kau membawa pulang abu itu?"Berisik sekali, Edrich tidak bisa tenang berpikir. "Tentu saja ini akan membantu kita mengungkap teka-teki selanjutnya, tuan Harss. Kau juga bingung kan kenapa Kurt menghilangkan surat-surat yang ia terima seakan takut bersalah?"Ya, benar. Harss memang turut penasaran dengan itu. Tapi kenapa harus abu? Namun biarlah, Edrich terlalu rumit untuk dimengerti. Biasanya dia akan bergerak sendiri lalu dengan mengejutkannya memberikan sebuah pemikiran aneh yang ntah mengapa bisa menjadi fakta mencengangkan.-0-Rumah kembali berada dalam keadaan sunyi. Gerald seperti pernah mengalami situasi seperti ini. Hal ya