مشاركة

Antara Aku, Dia dan, Penghianat
Antara Aku, Dia dan, Penghianat
مؤلف: Asma

Awal Yang Indah

مؤلف: Asma
last update آخر تحديث: 2025-03-07 04:20:13

Aku percaya bahwa cinta bisa bertahan jika diperjuangkan. Aku percaya bahwa sahabat adalah orang yang paling bisa dipercaya. Tapi hidup selalu punya cara untuk membuktikan bahwa keyakinan seseorang bisa salah besar.

Namaku Alya. Aku mahasiswi tingkat dua di sebuah universitas di Jakarta. Hidupku dulu terasa sempurna—punya pacar yang kusayangi, sahabat yang selalu mendukung, dan masa depan yang terasa cerah.

Pacarku, Reza, adalah pria yang dulu kupikir akan menjadi akhir dari semua pencarianku. Dia bukan pria paling romantis di dunia, tapi dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Setidaknya, dulu begitu.

Sedangkan Karin, sahabatku sejak SMA, adalah orang yang selalu bersamaku dalam suka dan duka. Kami berbagi banyak hal—cerita, rahasia, bahkan impian. Aku tak pernah ragu menceritakan segalanya padanya, termasuk tentang hubunganku dengan Reza.

“Ly, jangan terlalu sering marah-marah sama Reza. Cowok itu nggak suka dikekang,” ujar Karin suatu hari, saat kami sedang duduk di kantin kampus.

Aku mendengus. “Aku nggak ngelarang apa-apa, kok. Cuma akhir-akhir ini dia sering banget ngilang tanpa kabar.”

Karin tersenyum tipis. “Mungkin dia sibuk? Atau mungkin... kamu harus kasih dia sedikit ruang?”

Aku menatap Karin, mencoba membaca ekspresinya. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terasa aneh, tapi aku memilih untuk mengabaikannya. Aku percaya pada Karin. Aku percaya pada Reza.

Setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum semuanya berubah.

Hari itu, matahari bersinar terik di atas kampus. Aku berjalan ke arah perpustakaan, berharap bisa bertemu Reza di sana seperti biasanya. Tapi sesampainya di depan pintu, aku malah menemukan sesuatu yang tak kuduga.

Reza duduk di salah satu sudut ruangan, bukan sendirian, melainkan bersama Karin. Mereka tampak tertawa pelan, berbagi sesuatu di layar ponsel. Aku mengerutkan kening, merasa sedikit aneh dengan kedekatan mereka.

Aku tahu Karin dan Reza memang akrab. Karin sering membantuku menasihati Reza, bahkan sesekali menghubunginya kalau aku sedang marah. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa ganjil saat melihat mereka berdua tanpa aku di sana.

Aku mendekat. “Hei, kalian lagi ngobrolin apa?” tanyaku sambil memasang senyum.

Reza terkejut sejenak, lalu buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Oh, nggak ada apa-apa. Karin cuma nunjukin sesuatu.”

Aku menatap Karin. Dia hanya tersenyum seperti biasa, seolah tak ada yang perlu dicurigai.

“Oke,” kataku akhirnya. Aku mencoba menepis rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul. Ini Karin. Sahabatku sendiri. Aku tak punya alasan untuk meragukannya.

Tapi hari-hari berikutnya, perasaan itu semakin sulit diabaikan.

Malamnya, aku mencoba menghubungi Reza. Sudah dua jam sejak aku mengiriminya pesan, tapi belum juga ada balasan. Ini bukan pertama kalinya dia menghilang begitu saja tanpa kabar.

Aku menggigit bibir. Apa aku terlalu posesif? Apa aku terlalu menuntut?

Di tengah pikiranku yang berantakan, ponselku akhirnya bergetar. Pesan dari Reza.

Reza: Maaf, tadi sibuk. Aku ketiduran di kos.

Aku menatap layar, merasa ada yang janggal. Reza selalu seperti ini akhir-akhir ini—menghilang, lalu kembali dengan alasan yang terdengar masuk akal tapi tetap membuatku ragu.

Aku ingin mempercayainya. Tapi semakin lama, semakin sulit.

Keesokan harinya, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku mencelos.

Aku sedang berjalan melewati parkiran saat tanpa sengaja melihat Reza turun dari sebuah motor. Bukan motornya, dan yang lebih mengejutkan, Karin lah yang ada di atas motor itu.

Aku terdiam di tempat, menyaksikan mereka bercanda sebelum akhirnya Karin melaju pergi. Reza berbalik, dan saat melihatku, ekspresinya berubah tegang.

“Alya?” tanyanya pelan.

Aku berusaha tersenyum, meski ada sesuatu yang terasa menusuk di dadaku. “Karin antar kamu?” tanyaku, mencoba terdengar biasa saja.

Reza menggaruk tengkuknya. “Iya. Motor aku lagi di bengkel, jadi tadi aku numpang.”

Aku ingin percaya. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa ini bukan apa-apa.

Tapi kenapa rasanya seperti ini lebih dari sekadar kebetulan?

Aku menatap Reza lekat-lekat, mencari jawaban yang tak terucap di matanya. Tapi dia hanya tersenyum samar, lalu menggenggam tanganku seperti biasa.

“Jangan terlalu banyak mikir, ya?” katanya.

Aku mengangguk. Tapi untuk pertama kalinya, aku tak yakin bisa melakukannya.

استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق

أحدث فصل

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status