Share

Tanda-tanda Itu Nyata

Penulis: Asma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 04:20:23

Sejak hari itu, aku mulai memperhatikan lebih banyak hal yang sebelumnya kuanggap sepele. Cara Reza dan Karin bertukar pandang saat mereka berbicara. Cara Reza tertawa lebih lepas saat bersama Karin dibandingkan denganku. Cara Karin terkadang menyinggung hal-hal kecil tentang Reza, sesuatu yang seharusnya hanya aku yang tahu.

Aku mencoba berpikir positif. Mungkin aku hanya berlebihan. Mungkin aku terlalu sensitif.

Tapi ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku, sebuah firasat yang tak mau pergi.

---

Hari itu, hujan turun deras di kampus. Aku baru saja selesai kelas sore dan berniat pulang lebih awal, tapi aku tidak membawa payung. Aku mengeluarkan ponsel, mencoba menghubungi Reza.

Alya: Zaa, kamu di mana? Bisa jemput aku sebentar?

Lima menit berlalu tanpa balasan. Lalu sepuluh menit. Aku menggigit bibir, mulai merasa gelisah. Reza memang sering lambat membalas chat, tapi akhir-akhir ini, rasanya semakin sering terjadi.

Saat aku hendak meneleponnya, mataku menangkap sesuatu di parkiran. Di bawah hujan yang masih mengguyur deras, aku melihat Reza... dan Karin.

Mereka berdiri cukup dekat, berbagi satu payung kecil. Karin tertawa pelan, sementara Reza menatapnya dengan ekspresi yang sulit kuartikan.

Dadaku terasa sesak. Aku ingin mempercayai mereka. Aku ingin berpikir bahwa ini bukan apa-apa.

Tapi kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa ada rasa nyeri yang menusuk di hatiku?

Aku mengambil napas dalam, lalu melangkah mendekat.

"Reza," panggilku.

Reza dan Karin sama-sama menoleh. Sejenak, ada ekspresi terkejut di wajah mereka sebelum Reza buru-buru tersenyum.

"Alya? Kamu belum pulang?" tanyanya seolah tak ada yang aneh.

Aku melirik Karin yang masih berdiri di sampingnya. Dia tersenyum seperti biasa, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berubah.

"Chat aku nggak dibales," kataku pelan.

Reza mengeluarkan ponselnya, lalu tertawa kecil. "Oh, maaf. Aku lupa ngecek."

Aku ingin percaya padanya. Aku benar-benar ingin.

Tapi melihat bagaimana mereka berdiri begitu dekat di bawah payung yang sama, sesuatu di dalam diriku terasa retak.

Aku mencoba tersenyum. "Kamu bisa antar aku pulang?" tanyaku akhirnya.

Reza mengangguk. "Iya, tentu."

Aku melirik Karin sekali lagi sebelum akhirnya berbalik. Aku tidak ingin bersikap dramatis. Aku tidak ingin menuduh tanpa bukti.

Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa ada sesuatu yang benar-benar salah.

Dan aku takut untuk mencari tahu apa itu.

---

Malam itu, aku mencoba mengabaikan semuanya.

Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamarku sambil memutar ulang kejadian di parkiran tadi. Berulang kali aku mencoba meyakinkan diriku bahwa aku hanya berpikir terlalu jauh.

Reza dan Karin adalah orang-orang yang paling aku percaya. Mereka tidak mungkin melakukan sesuatu di belakangku... kan?

Tapi bayangan mereka berdiri bersama di bawah payung itu terus menghantuiku.

Aku membuka ponsel, membuka chat terakhirku dengan Reza.

Alya: Udah sampai kos?

Lima belas menit berlalu tanpa jawaban. Aku menghela napas. Ini sudah kesekian kalinya dia mengabaikan pesanku.

Sampai akhirnya, sebuah pesan masuk.

Reza: Iya, udah. Sorry tadi lupa kasih kabar.

Aku menatap layar. Ada yang janggal.

Reza selalu memberi tahuku ketika dia sampai di kos. Biasanya, dia mengirim pesan lebih dulu. Sekarang, rasanya aku yang terus berusaha mendapatkan perhatiannya.

Aku menghela napas, lalu menutup mata.

Mungkin aku memang harus mulai belajar mengurangi rasa curigaku.

---

Tapi keesokan harinya, aku kembali menemukan sesuatu yang membuat perasaanku semakin kacau.

Aku sedang berjalan ke kelas ketika tanpa sengaja melihat Reza dan Karin duduk di tangga belakang gedung kampus. Lokasinya cukup sepi, jarang ada mahasiswa yang lewat.

Aku melambatkan langkahku. Mereka tampak berbicara serius, wajah Reza sedikit tegang sementara Karin menundukkan kepalanya.

Aku ingin mendekat, tapi sesuatu menahanku di tempat.

Tak lama, Karin mengangkat wajah dan tersenyum kecil. Lalu, yang membuatku semakin terpaku, Reza mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Karin pelan.

Jantungku berdegup kencang. Aku merasakan sesuatu yang panas menjalar di dadaku.

Ini... apa?

Aku ingin percaya bahwa itu hanya kebetulan. Mungkin Reza hanya menghibur Karin. Mungkin aku hanya melihatnya dari sudut pandang yang salah.

Tapi mengapa perasaan ini terasa begitu menyakitkan?

Aku menelan ludah, lalu menguatkan hati untuk melangkah ke arah mereka.

Saat aku mendekat, Reza dan Karin langsung menoleh. Wajah mereka sama-sama terkejut, seolah aku baru saja menangkap mereka melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

Aku berdiri di depan mereka, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.

"Kalian lagi apa?" tanyaku pelan.

Reza buru-buru menarik tangannya dari wajah Karin, lalu menggaruk tengkuknya. "Oh... ini, Karin lagi ada masalah. Aku cuma ngasih semangat."

Karin tersenyum kecil. "Iya, Alya. Aku tadi cuma lagi cerita soal keluargaku. Maaf kalau kelihatan aneh."

Aku mencoba mencerna kata-kata mereka. Semua terdengar masuk akal. Tapi firasatku berkata lain.

Aku mengangguk pelan. "Oke."

Tapi sejak saat itu, aku sadar satu hal.

Aku tidak bisa terus berpura-pura tidak melihat kenyataan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status