Share

Jarak dan Kesetiaan

Author: Asma
last update Last Updated: 2025-03-07 04:21:37

Aku menatap layar ponselku, melihat notifikasi pesan dari Dafa yang baru saja masuk.

Dafa: Aku sudah sampai, Alya. Perjalanan panjang, tapi aku baik-baik saja.

Aku tersenyum dan segera membalas.

Aku: Syukurlah. Aku senang kamu sampai dengan selamat.

Dafa: Gimana harimu?

Aku: Sibuk seperti biasa. Kampus semakin padat, tugas juga makin banyak. Tapi aku baik-baik saja.

Dafa: Bagus. Jangan lupa jaga kesehatan, ya.

Aku menatap layar ponselku beberapa detik sebelum mengetik balasan.

Aku: Kamu juga, Dafa. Aku rindu kamu.

Pesanku terkirim, tapi butuh beberapa menit sebelum dia membalas.

Dafa: Aku juga rindu kamu, Alya. Lebih dari yang bisa aku ungkapkan.

Aku menghela napas pelan.

Jarak di antara kami terasa nyata, tapi aku berusaha untuk tetap kuat.

---

Hari-hari berlalu tanpa kehadiran Dafa di sisiku.

Aku sibuk dengan kuliah, tugas, dan organisasi kampus, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa rindu yang semakin hari semakin besar.

Awalnya, semuanya terasa baik-baik saja. Kami masih rutin berkomunikasi melalui pesan dan video call.

Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari sesuatu.

Dafa semakin jarang menghubungiku duluan.

Jika dulu dia selalu mengirim pesan selamat pagi atau menanyakan kabarku, kini aku yang lebih sering memulai percakapan.

Waktu untuk video call pun semakin singkat.

Aku mencoba memahami. Aku tahu dia sibuk dengan studinya di luar negeri. Tapi tetap saja, ada rasa takut yang perlahan mulai tumbuh dalam hatiku.

Apakah dia mulai terbiasa tanpa aku?

---

Suatu malam, aku akhirnya memberanikan diri untuk menanyakannya.

Saat kami melakukan video call, aku mencoba berbicara dengan nada santai.

"Dafa, kamu baik-baik saja, kan?"

Dia mengangguk. "Tentu saja. Kenapa kamu tanya seperti itu?"

Aku menggigit bibir sebelum berkata, "Aku merasa kamu semakin jauh."

Dafa terdiam sejenak sebelum menghela napas. "Alya, aku nggak bermaksud menjauh. Aku hanya benar-benar sibuk di sini."

"Aku tahu," kataku pelan. "Tapi aku juga butuh kepastian, Dafa."

Dia menatapku dengan ekspresi serius. "Aku masih di sini, Alya. Aku masih mencintai kamu."

Aku mengangguk, mencoba percaya pada kata-katanya.

Tapi entah kenapa, hatiku tetap merasa gelisah.

---

Beberapa minggu kemudian, sesuatu terjadi.

Aku sedang belajar di perpustakaan ketika seorang teman mengirimkan sebuah foto ke ponselku.

Foto itu menunjukkan Dafa… bersama seorang perempuan.

Mereka tampak akrab, tertawa bersama di sebuah kafe.

Jantungku berdebar kencang.

Aku mencoba berpikir positif.

Mungkin itu hanya teman kampusnya.

Tapi… kenapa dia tidak pernah menceritakan tentang perempuan itu kepadaku?

---

Malam itu, aku menghubungi Dafa.

"Ada apa, Alya?" tanyanya, terdengar lelah.

Aku menghela napas. "Aku dapat foto kamu… dengan seorang perempuan."

Dafa terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Oh. Itu hanya teman kuliahku, Alya. Kami sedang mengerjakan proyek bersama."

Aku menggigit bibir. "Kenapa kamu nggak pernah cerita?"

Dafa menghela napas. "Aku nggak merasa itu penting. Aku nggak ingin kamu khawatir berlebihan."

Hatiku mencelos.

"Dafa, aku bukan anak kecil yang harus dilindungi dengan kebohongan," kataku pelan.

"Alya, aku nggak berbohong."

Aku terdiam.

Aku ingin percaya padanya.

Tapi kenapa rasanya semakin sulit?

---

Setelah malam itu, aku mulai meragukan segalanya.

Hubungan kami semakin terasa jauh.

Aku tidak ingin menjadi pacar yang terlalu curiga atau posesif.

Tapi aku juga tidak ingin dibohongi.

Aku mencoba meyakinkan diri bahwa Dafa masih sama seperti dulu. Bahwa dia masih mencintaiku dan tidak akan berpaling.

Tapi bayangan perempuan dalam foto itu terus menghantuiku.

Apakah dia hanya teman?

Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?

Aku tahu aku bisa saja langsung percaya pada Dafa dan melupakan ini semua. Tapi ada suara kecil di dalam hatiku yang terus berbisik…

Bagaimana kalau Dafa berubah?

---

Malam-malam berikutnya dipenuhi kegelisahan.

Aku mulai mengamati kebiasaan Dafa.

Balasannya semakin lama.

Nada suaranya terdengar berbeda.

Aku tidak ingin bersikap berlebihan, tapi firasatku mengatakan ada yang tidak beres.

Akhirnya, aku memutuskan sesuatu.

Aku tidak bisa terus begini.

Aku harus mencari tahu kebenarannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status