Share

Menata Masa Depan

Author: Asma
last update Last Updated: 2025-03-07 04:21:31

Setelah pertemuan dengan Karin, aku merasa ada beban yang terangkat dari hatiku.

Dendam, kebencian, dan rasa sakit yang dulu membebaniku perlahan menghilang. Aku tidak lagi merasa perlu membandingkan diriku dengannya atau menyesali apa yang sudah terjadi.

Aku akhirnya bisa benar-benar melangkah maju.

---

Hari-hariku bersama Dafa semakin terasa menyenangkan.

Kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, entah sekadar belajar di perpustakaan, makan siang di kantin, atau berjalan-jalan di taman kampus.

Dafa selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum, bahkan di hari-hari sulit.

"Aku nggak nyangka kita bakal sejauh ini," kataku suatu sore saat kami duduk di pinggir danau kecil di dekat kampus.

Dafa menoleh dan tersenyum. "Kenapa?"

Aku mengangkat bahu. "Aku pikir dulu aku nggak akan bisa jatuh cinta lagi setelah semua yang terjadi."

Dafa tertawa kecil. "Hati manusia itu unik, Alya. Kadang kita pikir sudah hancur, tapi ternyata bisa sembuh dengan cara yang nggak kita duga."

Aku tersenyum. "Kamu benar."

Dafa menatap danau di depan kami. "Jadi, apa rencana kamu ke depan?"

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku ingin lebih fokus ke studi, mungkin ikut beberapa proyek atau penelitian. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa sukses tanpa harus tergantung pada siapa pun."

Dafa tersenyum bangga. "Itu rencana yang bagus."

Aku menatapnya. "Kalau kamu?"

Dia tertawa kecil. "Aku? Aku cuma ingin terus mendukung kamu, apa pun yang kamu lakukan."

Aku tertawa. "Kamu nggak punya rencana buat diri sendiri?"

Dafa mengangkat bahu. "Aku ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin cari beasiswa ke luar negeri."

Aku terkejut. "Serius?"

Dia mengangguk. "Iya. Aku ingin menantang diriku sendiri."

Aku tersenyum bangga. "Aku yakin kamu bisa."

Dia menatapku lama sebelum berkata, "Kalau aku pergi ke luar negeri, kamu bakal tetap menungguku?"

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Aku percaya sama kamu, Dafa. Sejauh apa pun jarak memisahkan kita, aku yakin kita bisa melewatinya."

Dafa tersenyum lega. "Terima kasih, Alya."

Aku menggenggam tangannya. "Aku nggak mau lagi merasa takut kehilangan seseorang. Kalau kita memang berjodoh, kita pasti akan tetap bersama."

Dafa menatapku dengan mata yang penuh ketulusan. "Dan aku akan selalu memilih kamu, Alya. Apa pun yang terjadi."

---

Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kabar yang mengejutkan.

Dafa berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri.

Aku merasa bangga sekaligus sedikit cemas.

"Alya, aku diterima," katanya dengan wajah penuh kebahagiaan.

Aku tersenyum lebar. "Selamat, Dafa! Aku tahu kamu pasti bisa."

Dia menggenggam tanganku erat. "Aku bakal pergi dalam waktu tiga bulan."

Aku mengangguk, menelan sedikit kecemasan yang tiba-tiba muncul di dadaku. "Aku akan mendukung kamu, Dafa. Ini kesempatan besar buat kamu."

Dia menatapku dengan lembut. "Aku akan tetap kembali untukmu."

Aku tersenyum, meskipun dalam hati ada sedikit kekhawatiran.

Aku percaya pada Dafa, tapi aku juga tahu bahwa jarak bisa mengubah banyak hal.

---

Hari-hari berlalu dengan cepat.

Dafa semakin sibuk mengurus keberangkatannya.

Aku berusaha tetap kuat, tetap tersenyum, dan tetap menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.

Namun, malam sebelum keberangkatannya, aku tidak bisa menahan perasaanku lagi.

"Dafa," kataku lirih saat kami duduk di taman kampus. "Aku takut."

Dia menoleh. "Takut apa?"

"Takut kalau kita nggak bisa bertahan," aku mengaku jujur.

Dafa menghela napas dan menatapku dalam-dalam. "Alya, dengarkan aku."

Aku menatapnya, menunggu kata-kata yang akan dia ucapkan.

"Aku memilih kamu, bukan karena kebetulan," katanya pelan. "Aku mencintai kamu, dan aku ingin kita tetap bersama, apa pun yang terjadi."

Aku menggigit bibir. "Tapi jarak…"

"Jarak nggak akan berarti kalau kita tetap percaya satu sama lain," potongnya lembut. "Aku nggak mau kamu merasa sendiri. Kita bisa melewati ini bersama."

Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Aku akan berusaha, Dafa."

Dia tersenyum. "Itu yang aku butuhkan."

---

Keesokan harinya, aku mengantar Dafa ke bandara.

Saat dia melangkah pergi, aku merasa ada bagian dari hatiku yang ikut terbawa.

Namun aku tahu, ini bukan akhir.

Ini adalah awal dari perjuangan baru kami.

Dan aku siap untuk itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status