Home / Romansa / Antara Aku, Dia dan, Penghianat / Kenyataan Yang Menyakiti

Share

Kenyataan Yang Menyakiti

Author: Asma
last update Last Updated: 2025-03-07 04:20:29

Sejak kejadian di tangga belakang kampus, pikiranku semakin kacau. Aku mencoba menepis semua prasangka buruk, tapi perasaan tidak nyaman itu terus mengganggu. Setiap kali aku melihat Reza dan Karin bersama, dada ini terasa sesak.

Aku ingin bertanya langsung kepada mereka, tapi aku takut. Aku takut mendengar jawaban yang tidak ingin kudengar. Aku takut jika semua ketakutanku selama ini benar-benar menjadi kenyataan.

---

Malam itu, aku memutuskan untuk berbicara dengan Karin.

Kami bertemu di sebuah kafe dekat kampus, tempat biasa kami nongkrong saat ingin mengobrol lebih santai. Aku menatap sahabatku yang duduk di depanku, mencoba mencari keberanian untuk memulai pembicaraan.

“Karin, aku mau tanya sesuatu,” ucapku akhirnya.

Karin mengangkat wajahnya dari cangkir kopi yang sedang diaduknya. “Tanya apa?”

Aku menghela napas dalam-dalam. “Akhir-akhir ini, kamu sama Reza... kok, kayaknya makin dekat, ya?”

Karin tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku merinding. “Kami memang sudah lama dekat, Alya. Kamu juga tahu itu, kan?”

Aku menelan ludah. “Iya, tapi... aku merasa ada yang berubah.”

Karin menatapku lebih lama, lalu menghela napas. “Alya, kamu jangan berpikir yang aneh-aneh, ya. Aku nggak mungkin ngerebut pacar sahabatku sendiri.”

Aku ingin percaya padanya. Kata-katanya terdengar meyakinkan, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar tidak tulus.

“Beneran?” tanyaku pelan.

Karin tersenyum, kali ini lebih lebar. “Tentu saja. Aku nggak mungkin ngelakuin itu ke kamu.”

Aku mengangguk pelan, mencoba mengabaikan firasat buruk yang kembali menyeruak.

Tapi beberapa hari kemudian, aku menemukan bukti yang tidak bisa lagi kupungkiri.

---

Hari itu, aku tidak sengaja melihat ponsel Reza terbuka di meja saat kami sedang makan bersama di kantin. Dia pergi sebentar untuk mengambil minum, meninggalkan ponselnya begitu saja.

Aku tidak pernah suka mengintip ponsel orang lain. Aku percaya pada Reza. Aku percaya bahwa hubungan kami dibangun di atas kepercayaan.

Tapi entah kenapa, ada dorongan kuat dalam hatiku yang membuatku mengambil ponsel itu dan membuka chat terakhirnya.

Dan di sanalah aku menemukannya.

Karin: Aku kangen. Kita ketemu nanti malam, ya?

Tanganku gemetar saat membaca pesan itu. Aku menelusuri percakapan mereka lebih jauh, dan semakin aku membaca, semakin hatiku terasa remuk.

Mereka sudah sering bertemu di belakangku. Mereka berbagi rahasia yang aku tidak tahu. Bahkan ada beberapa pesan dari Reza yang membuat air mataku hampir jatuh.

Reza: Alya mulai curiga. Kita harus lebih hati-hati.

Dadaku terasa sesak. Ini nyata. Semua firasat buruk yang selama ini kucoba abaikan ternyata benar adanya.

Reza mengkhianatiku.

Dan yang lebih menyakitkan, dia mengkhianatiku dengan sahabatku sendiri.

Aku buru-buru mengembalikan ponsel itu ke tempatnya semula sebelum Reza kembali. Saat dia duduk di depanku dan tersenyum seperti tidak ada yang terjadi, aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan hancur.

Aku ingin marah. Aku ingin berteriak dan menanyakan semua ini padanya.

Tapi saat itu, aku terlalu sakit hati untuk berkata apa-apa.

Aku hanya ingin pulang dan menangis sendirian.

---

Malam itu, aku duduk di kamar sambil menatap layar ponselku.

Aku ingin menelepon Karin dan memintanya untuk jujur. Aku ingin menghubungi Reza dan menanyakan semua ini. Tapi jari-jariku hanya bergetar di atas layar.

Aku membaca ulang chat mereka, mencoba mencari alasan untuk tidak mempercayai apa yang kulihat. Tapi semuanya terlalu jelas.

Aku meletakkan ponselku di meja, lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku merasa bodoh.

Bagaimana aku bisa tidak menyadari ini lebih awal?

Bagaimana mungkin orang yang paling aku percayai justru mengkhianatiku?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku. Tapi air mata sudah menggenang di mataku.

Aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Mereka telah mengkhianatiku.

Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status