Beranda / Romansa / Antara Aku, Dia dan, Penghianat / Luka Yang Tak Terhindarkan

Share

Luka Yang Tak Terhindarkan

Penulis: Asma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 04:20:37

Sejak malam itu, aku merasa seperti orang asing dalam hidupku sendiri. Segala hal yang dulu terasa menyenangkan kini terasa hampa. Aku tidak lagi bisa menatap Reza tanpa mengingat pesan-pesan yang kubaca di ponselnya. Aku tidak bisa berbicara dengan Karin tanpa merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.

Aku ingin marah. Aku ingin menuntut penjelasan. Tapi aku takut. Takut kalau setelah aku mendengar kebenarannya, aku akan semakin hancur.

Keesokan harinya, aku mencoba bersikap biasa saja.

Di kampus, aku bertemu Reza seperti biasa. Ia menyapaku dengan senyum yang selalu membuatku nyaman, tapi kali ini aku tahu bahwa senyum itu penuh kepalsuan.

"Kamu kenapa? Kok kelihatan lesu?" tanyanya sambil meraih tanganku.

Aku tersentak dan buru-buru menarik tanganku. Reza tampak terkejut dengan reaksiku. Aku mencoba mengendalikan perasaanku, lalu tersenyum tipis.

"Nggak apa-apa, cuma capek aja," jawabku singkat.

Reza mengangguk, tapi aku bisa melihat ada keraguan di matanya. "Kalau gitu, nanti kita makan di luar, ya? Aku traktir."

Biasanya, aku akan langsung mengiyakan ajakannya. Tapi kali ini, aku ragu. Duduk berdua dengannya dalam situasi seperti ini hanya akan membuatku semakin sakit.

"Aku ada tugas," jawabku pelan.

Aku bisa melihat ekspresi kecewa di wajahnya, tapi aku tidak peduli. Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Sepulang kuliah, aku memutuskan untuk menemui Karin.

Aku menunggunya di depan kosnya, dan ketika ia melihatku, wajahnya tampak sedikit panik.

"Alya? Tumben ke sini," katanya sambil tersenyum.

Aku mencoba mencari keberanian. "Kita bisa bicara sebentar?"

Karin tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. Kami duduk di taman kecil dekat kosnya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata,

"Aku tahu tentang kamu dan Reza."

Sekali lagi, aku melihat kepanikan di matanya. Tapi dalam hitungan detik, ekspresi itu menghilang, digantikan oleh senyuman yang masih berusaha terlihat tenang.

"Apa maksudmu?" tanyanya, berpura-pura tidak mengerti.

Aku mengepalkan tangan. "Aku baca chat kalian. Aku tahu kalian sering ketemuan di belakangku. Aku tahu semua kebohongan yang kalian buat."

Karin terdiam. Aku bisa melihat ia berusaha mencari alasan, tapi akhirnya ia hanya mendesah pelan.

"Alya... aku nggak bermaksud menyakitimu," katanya dengan suara rendah.

Aku tertawa pahit. "Tapi kamu tetap melakukannya."

Ia menunduk, tidak bisa membalas perkataanku.

"Sejak kapan?" tanyaku lagi.

Karin menggigit bibirnya, lalu menjawab dengan suara pelan, "Beberapa bulan yang lalu."

Dada ini terasa semakin sesak. Berbulan-bulan? Jadi selama ini aku hanya menjadi orang bodoh yang percaya bahwa semuanya baik-baik saja?

Aku menggelengkan kepala. "Kenapa, Karin? Kenapa harus dia?"

Karin akhirnya menatapku, dan kali ini, aku bisa melihat rasa bersalah di matanya. "Aku nggak tahu, Alya... Aku juga nggak mau ini terjadi. Tapi aku mulai jatuh cinta sama dia, dan dia juga..."

Aku menutup mata, menolak mendengar kelanjutannya. Aku tidak perlu mendengar dari mulutnya bahwa Reza juga mencintainya. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku terluka.

Malam itu, aku menangis sendirian di kamar.

Aku kehilangan pacarku. Aku kehilangan sahabatku.

Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—dikhianati oleh orang yang kucintai atau oleh orang yang selalu kupanggil sahabat.

Aku tidak ingin menangis untuk mereka. Mereka tidak pantas mendapatkan air mataku.

Tapi aku tidak bisa menghentikan rasa sakit ini.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Aku mengajak Reza bertemu di taman kampus, tempat di mana dulu dia pertama kali menyatakan perasaannya padaku. Kali ini, bukan untuk mengukir kenangan indah, tapi untuk menutup semuanya.

Reza datang dengan senyum seperti biasa. "Tumben ngajak ketemuan di sini. Ada apa?"

Aku menguatkan hati. "Aku mau putus."

Senyumnya langsung memudar. "Apa?"

"Aku udah tahu semuanya, Za. Aku tahu tentang kamu dan Karin," ucapku tanpa berusaha menyembunyikan kemarahanku.

Reza terdiam. Aku bisa melihat bagaimana ia berusaha mencari alasan, mencari kata-kata yang bisa menyelamatkan dirinya. Tapi tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan hubungan ini.

"Alya, aku bisa jelasin—"

"Tidak ada yang perlu dijelaskan," potongku cepat. "Aku nggak butuh alasan atau kebohongan lain. Aku cuma mau ini selesai."

Reza menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan—ada penyesalan di sana, tapi juga keegoisan.

"Aku nggak pernah berniat nyakitin kamu," katanya pelan.

Aku tertawa kecil. "Tapi kamu tetap melakukannya."

Aku tidak menunggu jawabannya. Aku berbalik dan pergi, meninggalkan semua kenangan yang selama ini kusimpan dengan baik.

Air mataku jatuh, tapi kali ini aku tidak akan menangis untuk mereka lebih lama lagi.

Aku akan move on.

Aku akan membangun hidupku kembali.

Tanpa mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status