Aku pikir setelah putus dengan Reza dan memutuskan hubungan dengan Karin, segalanya akan lebih mudah. Aku bisa melupakan mereka dan melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Di kampus, aku masih sering melihat mereka. Aku melihat bagaimana Karin tetap tertawa seperti tidak terjadi apa-apa. Aku melihat Reza yang sesekali mencoba menatapku, seakan menunggu kesempatan untuk bicara. Aku benci itu. Aku benci bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup dengan mudah, sementara aku masih berjuang untuk tidak menangis setiap malam. Hari pertama tanpa mereka benar-benar terasa aneh. Biasanya, Karin akan menungguku di gerbang kampus, lalu kami berjalan bersama ke kelas. Biasanya, Reza akan mengirim pesan, mengingatkanku untuk sarapan. Tapi sekarang, tidak ada lagi pesan dari mereka. Tidak ada lagi yang menungguku di gerbang. Aku berjalan sendiri menuju kelas, mencoba mengabaikan tatapan orang-orang yang mungkin sudah tahu tentang apa yang terjadi. Saat aku masuk
Setelah berbicara dengan Dafa, aku merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, ada seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi atau berpura-pura peduli. Aku mulai membiasakan diri tanpa kehadiran Reza dan Karin. Tidak ada lagi tawa bersama mereka, tidak ada lagi pesan yang kutunggu setiap pagi. Awalnya sulit, tapi perlahan, aku mulai terbiasa. Namun, ada satu hal yang sulit kuhindari: tatapan orang-orang. Aku tahu mereka membicarakanku. Aku bisa melihat bisik-bisik di sudut kelas saat aku lewat. "Kasihan, ya, pacarnya direbut sahabat sendiri." "Makanya jangan terlalu percaya sama sahabat." "Tapi katanya Reza dan Karin sekarang pacaran beneran, lho." Setiap kali mendengar kata-kata itu, aku merasa seperti seseorang yang patut dikasihani. Aku tidak mau dikasihani. Aku harus bangkit. --- Aku mulai mengubah rutinitasku. Aku tidak lagi menghabiskan waktu sendirian di kos. Aku lebih sering pergi ke perpustakaan, mencari suasana yang lebih tenang. Kadang-kadang, Dafa ikut menema
Hari-hari setelah pertemuanku dengan Karin terasa aneh. Aku masih belum bisa benar-benar memaafkannya, tapi kata-katanya terus terngiang di kepalaku. "Aku kangen kita yang dulu." Aku juga kangen, tapi rasa sakitnya masih terlalu besar. Aku tidak bisa begitu saja kembali seperti dulu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku mulai lebih sering menyibukkan diri. Aku menghabiskan waktu dengan tugas-tugas kuliah, membaca buku di perpustakaan, atau sekadar berjalan-jalan sendirian. Dan tentu saja, aku semakin dekat dengan Dafa. --- Suatu sore, Dafa mengajakku ke sebuah kafe di dekat kampus. "Kamu udah terlalu sering mengurung diri," katanya. "Sekali-kali, coba nikmati hari tanpa mikirin mereka." Aku menghela napas. "Aku nggak mengurung diri." "Kamu serius?" Dafa menaikkan alisnya. "Dua minggu terakhir, kamu cuma ke kampus, ke kos, dan ke perpustakaan. Itu pun kalau aku nggak maksa kamu keluar." Aku terdiam. Oke, mungkin dia ada benarnya. "Ayo, lah. Aku traktir," bujuknya. Aku
Setelah pertemuanku dengan Reza, aku merasa ada beban yang terangkat dari pundakku. Aku sudah mengatakan apa yang perlu kukatakan. Aku tidak mau lagi terjebak dalam luka lama. Mungkin, aku memang harus mulai benar-benar melanjutkan hidup. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa siap. --- Beberapa hari kemudian, aku mendapat pesan dari Karin. Karin: Alya, bisakah kita bertemu? Aku janji nggak akan memaksa apa pun, aku cuma mau bicara sekali ini aja. Aku membaca pesannya berulang kali. Haruskah aku menemuinya? Aku tahu aku masih belum sepenuhnya memaafkan Karin. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin selamanya terjebak dalam kebencian. Setelah berpikir lama, aku akhirnya membalas. Aku: Baiklah. Kita bisa bertemu di kafe dekat kampus besok sore. --- Keesokan harinya, aku menunggu Karin di kafe. Aku datang lebih awal, mencoba menenangkan pikiranku. Beberapa menit kemudian, Karin muncul. Dia terlihat ragu saat berjalan ke arahku, tapi akhirnya ia duduk di depanku. "Aku nggak
Hari-hari berlalu lebih ringan. Aku tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang masa lalu. Luka itu masih ada, tapi kini aku sudah bisa berjalan tanpa terbebani olehnya. Aku mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan orang-orang baru. Aku bergabung dengan beberapa komunitas di kampus, mencoba hal-hal yang dulu tidak pernah kupikirkan. Dan tentu saja, Dafa masih tetap ada di sampingku. --- Suatu sore, aku dan Dafa duduk di taman kampus. "Aku lihat kamu makin sibuk akhir-akhir ini," kata Dafa sambil menyeruput kopi kalengnya. Aku mengangguk. "Iya, aku mau cari kesibukan baru. Biar hidupku nggak cuma tentang kuliah dan masalah lama." Dafa tersenyum. "Bagus. Kamu udah berkembang jauh, Alya." Aku tertawa kecil. "Aku cuma nggak mau tenggelam di masa lalu terus. Aku mau hidupku lebih berarti." Dafa menatapku lama sebelum akhirnya berkata, "Aku senang melihat kamu seperti ini." Aku tersenyum. "Terima kasih, Dafa. Kamu juga punya peran besar dalam ini semua." Dafa menggeleng. "Kamu ya
Sejak Dafa mengungkapkan perasaannya, pikiranku tidak pernah benar-benar tenang. Aku terus memikirkannya. Dafa selalu ada untukku. Dia yang menghiburku saat aku terpuruk, yang mendukungku saat aku kehilangan arah, yang selalu percaya padaku ketika aku sendiri meragukan diriku. Tapi apakah aku menyukainya? Ataukah aku hanya merasa nyaman karena dia selalu ada? --- Hari-hari berlalu, dan aku semakin gelisah. Aku berusaha bertindak biasa saat bersama Dafa, tapi aku tahu dia bisa merasakannya. "Kamu kelihatan banyak pikiran," katanya suatu sore saat kami duduk di bangku taman kampus. Aku menghela napas. "Aku cuma… lagi mikirin sesuatu." Dafa tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang lembut, seolah memahami segalanya tanpa aku harus menjelaskan. "Jangan terlalu membebani diri sendiri, Alya," katanya pelan. "Aku nggak ingin kamu merasa tertekan karena perasaanku." Aku menatapnya. "Tapi ini bukan hal sepele, Dafa. Aku nggak mau mengambil keputusan yang na
Setelah hari itu, semuanya terasa berbeda. Aku dan Dafa mulai menjalani hubungan yang lebih dari sekadar sahabat. Tapi anehnya, tidak ada kecanggungan di antara kami. Mungkin karena sejak awal, kami memang sudah saling memahami. Dafa tetap menjadi dirinya yang selalu sabar dan perhatian. Dan aku? Aku merasa lebih bebas dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dicintai dengan cara yang tidak menyakitkan. --- Hari-hari berlalu dengan lebih ringan. Aku mulai bisa menikmati hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Suatu hari, saat kami duduk di kantin kampus, Dafa menatapku dengan ekspresi serius. "Alya, ada sesuatu yang mau aku tanyakan." Aku menoleh. "Apa?" Dafa tersenyum kecil sebelum berkata, "Apa kamu bahagia bersamaku?" Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Iya," jawabku mantap. "Aku bahagia, Dafa." Dia menghela napas lega. "Aku cuma ingin memastikan. Aku nggak mau jadi orang yang menahan kamu." Aku menggeleng. "Kamu bukan penghalang, Dafa. Justru
Setelah pertemuan dengan Karin, aku merasa ada beban yang terangkat dari hatiku. Dendam, kebencian, dan rasa sakit yang dulu membebaniku perlahan menghilang. Aku tidak lagi merasa perlu membandingkan diriku dengannya atau menyesali apa yang sudah terjadi. Aku akhirnya bisa benar-benar melangkah maju. --- Hari-hariku bersama Dafa semakin terasa menyenangkan. Kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, entah sekadar belajar di perpustakaan, makan siang di kantin, atau berjalan-jalan di taman kampus. Dafa selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum, bahkan di hari-hari sulit. "Aku nggak nyangka kita bakal sejauh ini," kataku suatu sore saat kami duduk di pinggir danau kecil di dekat kampus. Dafa menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" Aku mengangkat bahu. "Aku pikir dulu aku nggak akan bisa jatuh cinta lagi setelah semua yang terjadi." Dafa tertawa kecil. "Hati manusia itu unik, Alya. Kadang kita pikir sudah hancur, tapi ternyata bisa sembuh dengan cara yang nggak kita duga."
Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-
Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan
Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l
Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo
Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…
Alya pikir semuanya sudah berakhir. Tapi kenapa hatinya masih terasa berat?---Alya menatap layar ponselnya, membaca kembali percakapan terakhirnya dengan Reza.Reza: Aku masih mencintaimu.Alya: Aku tidak.Ia menutup mata, membiarkan napasnya keluar perlahan. Harusnya itu cukup untuk mengakhiri semuanya, tapi kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya?Suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Alya bangkit dan membuka pintu.Dafa berdiri di sana, membawa dua gelas kopi dingin. “Kamu butuh ini.”Alya tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu, ya?”Dafa mengangkat bahu. “Karena aku memperhatikan.”Mereka duduk di balkon kosan Alya, menikmati udara malam. Hening sesaat, sebelum akhirnya Dafa berbicara.“Apa yang kamu rasakan sekarang?”Alya mengaduk kopinya. “Marah. Kecewa. Tapi… lebih ke diri sendiri.”Dafa menoleh. “Kenapa ke diri sendiri?”Alya tertawa kecil, tapi tanpa keceriaan. “Karena aku terlalu bodoh untuk percaya dia.”Dafa menghela napas. “Percaya seseorang bukan kebodoh
Alya berpikir semuanya sudah selesai, tapi kenangan lama selalu menemukan cara untuk kembali.---Malam itu, Alya duduk di balkon kosannya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa rasa dingin yang samar, tapi hatinya terasa jauh lebih dingin.Suara Reza masih terngiang di kepalanya."Tapi… aku masih mencintaimu."Alya menghela napas panjang. Ia menatap layar ponselnya, jari-jarinya ragu mengetik pesan untuk Dafa.Alya: Kamu masih bangun?Tak butuh waktu lama, balasan itu muncul.Dafa: Selalu ada buat kamu. Kenapa?Alya tersenyum tipis. Meski dunia terasa seperti berbalik melawannya, Dafa selalu ada di sisinya.Alya: Aku ketemu Reza tadi.Pesannya terkirim, dan beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dafa menelepon.“Kenapa nggak cerita dari tadi?” Suara Dafa terdengar khawatir.Alya menggigit bibir. “Nggak ada yang perlu diceritain. Dia cuma bilang kalau dia masih mencintaiku.”Dafa terdiam sejenak. “Dan kamu percaya?”Alya tersenyum miris. “
Alya mengira semuanya sudah selesai. Tapi ternyata, ada luka yang belum benar-benar sembuh.---Hening. Itu yang pertama kali Alya rasakan saat memasuki kelas pagi ini. Rasanya aneh, karena biasanya kelas ini selalu riuh dengan suara obrolan teman-temannya. Tapi hari ini, mereka hanya meliriknya sekilas lalu berbisik-bisik di belakangnya.Alya duduk di kursinya dan membuka buku catatan. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mulai menggelayut di dadanya. Namun, ketika ia melihat layar ponselnya, matanya membelalak.Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk:"Kasihan banget ya, dikhianati sahabat sendiri? Mungkin kamu harus introspeksi diri, kenapa dia lebih pilih sahabatmu daripada kamu."Jantung Alya berdegup kencang. Tangannya sedikit gemetar saat membaca pesan itu. Siapa yang mengirim ini?"Alya…"Alya menoleh dan melihat Dafa berdiri di sampingnya. Wajahnya serius, seakan ada sesuatu yang penting yang ingin dia katakan.“Kamu udah lihat?” tanya Dafa pelan."Lihat apa?"
Alya berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Sudah lama ia tidak melihat dirinya dengan begitu tenang. Dulu, setiap kali ia bercermin, yang ia lihat hanyalah seorang gadis yang terluka, yang merasa dikhianati oleh orang-orang yang ia percaya. Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang berbeda—seorang Alya yang lebih kuat, yang siap menghadapi hari esok tanpa rasa takut.Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikirannya—Reza dan Karin. Setelah pertemuannya dengan Reza kemarin, Alya tahu bahwa hubungannya dengan Karin juga harus segera diselesaikan. Ia tidak bisa selamanya menghindari kenyataan.Dengan napas panjang, ia mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Karin.Alya: Bisa ketemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul.Karin: Oke, di kafe biasa?Alya menggigit bibirnya. Kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama dulu. Sekarang, tempat itu terasa penuh dengan kenangan yang tidak lagi membuatnya nya