Aku duduk di meja belajarku, menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi. Wawancara magang tinggal beberapa hari lagi, dan aku ingin mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Aku membuka beberapa artikel tentang tips wawancara kerja, mencatat poin-poin penting yang bisa membantuku nanti. “Jangan lupa kontak mata, berbicara dengan jelas, dan tunjukkan rasa percaya diri,” gumamku sambil menulis di buku catatan. Aku menarik napas panjang. Bisa nggak ya aku melewati tahap ini? --- Pagi itu, aku bertemu Rina di kafe kampus untuk latihan wawancara bersama. “Kita harus siap mental,” kata Rina sambil menyeruput kopinya. “Dengar-dengar, pewawancaranya tegas banget.” Aku mengangguk. “Iya. Makanya aku mau latihan biar nggak gugup nanti.” Rina tersenyum. “Bagus. Ayo kita mulai.” Dia mengambil daftar pertanyaan yang biasa muncul dalam wawancara dan mulai membaca salah satunya. “Oke, pertanyaan pertama: Kenapa kamu tertarik dengan posisi ini?” tanyanya, berusaha meniru suara pewawancara y
Sejak wawancara kemarin, aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana hasilnya. Apakah aku menjawab dengan baik? Apakah mereka terkesan denganku? Aku mencoba menenangkan diri, tapi setiap kali aku membuka ponsel, rasanya ingin mengecek email atau pesan dari perusahaan tempat aku melamar magang. Namun, aku tahu bahwa hasilnya tidak akan keluar dalam sehari atau dua hari. Aku harus bersabar. --- Di kampus, aku bertemu dengan Rina di kantin. “Kamu masih kepikiran hasil wawancara?” tanyanya sambil mengunyah donat. Aku mengangguk pelan. “Banget. Aku nggak bisa berhenti mikirin jawaban-jawaban yang aku kasih.” Rina tertawa kecil. “Aku juga, sih. Rasanya kayak ada yang kurang, tapi aku nggak tahu apa.” Aku mendesah. “Kita cuma bisa nunggu sekarang.” Rina mengangguk. “Iya. Daripada stres, mending kita cari kesibukan lain.” Aku memikirkan saran Rina. Mungkin benar, daripada terus cemas, lebih baik aku menyibukkan diri dengan hal lain. --- Sore harinya, aku memutuskan untuk jalan
Pagi itu, aku bangun dengan perasaan campur aduk—antara semangat, gugup, dan tidak sabar. Hari ini adalah hari pertama magangku. Aku sudah menyiapkan pakaian terbaikku semalam, menyusun barang-barang yang perlu kubawa, dan berusaha tidur lebih awal agar tidak telat bangun. Namun, kenyataannya, aku tetap saja terbangun lebih awal dari alarm. Aku melihat jam di ponsel—baru pukul lima pagi. Daripada berbaring tanpa melakukan apa-apa, aku memutuskan untuk langsung mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian kerja yang rapi, aku menatap diriku di cermin. "Aku bisa melakukannya," bisikku pada diri sendiri. Di perjalanan menuju kantor, aku bertemu dengan Rina. "Deg-degan?" tanyanya sambil tersenyum. Aku mengangguk. "Banget. Aku takut bikin kesalahan di hari pertama." Rina tertawa. "Santai aja. Kan kita sama-sama belajar." Aku mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Kami naik bus bersama dan mengobrol sepanjang jalan. Ini sedikit mengura
Hari-hari pertama magang berjalan cukup lancar. Aku mulai terbiasa dengan ritme kerja dan tugas-tugas yang diberikan. Rina juga terlihat semakin percaya diri, sementara Damar, seperti biasa, selalu bisa beradaptasi dengan cepat. Namun, di minggu kedua, aku mulai merasakan tekanan yang lebih besar. Hari ini, aku diberi tugas untuk membuat laporan yang akan dipresentasikan di depan tim. Bukan hanya itu, aku juga harus mengumpulkan data dari beberapa divisi lain, yang berarti aku harus berinteraksi dengan orang-orang baru di kantor. Aku menghela napas panjang. Aku bukan tipe orang yang mudah berbicara dengan orang lain, apalagi orang-orang yang lebih senior. "Kenapa melamun?" suara Rina menyadarkanku dari pikiran-pikiran yang berputar di kepala. Aku menoleh dan mendesah. "Aku harus mengumpulkan data dari beberapa divisi. Rasanya agak canggung buat ngobrol sama mereka." Rina tersenyum. "Santai aja, Alya. Mereka juga manusia biasa, kok. Jangan kebanyakan mikir." Damar yang duduk di
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan gelisah. Hari ini adalah hari presentasi, dan aku masih merasa gugup. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Setelah bersiap, aku berangkat ke kantor lebih awal. Aku ingin memastikan bahwa semua materi yang akan kupresentasikan sudah siap dan tidak ada kesalahan. Sesampainya di kantor, aku melihat Rina dan Damar sudah ada di meja mereka. "Kamu siap?" tanya Damar sambil tersenyum. Aku menghela napas. "Jujur, masih deg-degan." Rina menepuk bahuku pelan. "Santai aja, Alya. Anggap aja kamu cuma ngobrol biasa. Yang penting kamu tahu apa yang kamu bicarakan." Aku mengangguk. Aku tahu mereka benar, tapi tetap saja, rasa cemas itu belum hilang. --- Setengah jam sebelum presentasi, aku pergi ke toilet untuk mencuci muka. Aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa, Alya," bisikku pada diri sendiri. Aku mencoba mengingat semua yang telah kupersiapkan. Aku sudah membuat slide dengan rapi, menghafal poin-poin penting,
Hari ini aku datang ke kantor dengan perasaan lebih ringan. Setelah berhasil melewati presentasi kemarin, rasa percaya diriku sedikit meningkat. Aku merasa lebih nyaman bekerja dan mulai menikmati ritme magang ini. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sejak pagi. Damar terlihat berbeda. Biasanya, dia selalu menyapaku dengan senyum khasnya, tapi hari ini dia terlihat lebih pendiam dan sering melamun. Aku menatapnya dengan curiga. "Damar, kamu kenapa? Dari tadi diem aja." Dia mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Alya. Cuma lagi banyak pikiran aja." Aku menatapnya dengan skeptis. "Banyak pikiran soal apa?" Damar terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Nggak penting, kok." Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebelum aku sempat, Mbak Fira datang ke meja kami dan memberikan tugas baru. "Ini proyek terakhir kalian sebelum magang selesai minggu depan. Aku ingin kalian bertiga bekerja sama membuat strategi pemasaran untuk salah satu klien kita. Kalian bisa berd
Hari terakhir magang akhirnya tiba. Aku berjalan menuju kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku bangga karena berhasil menyelesaikan magang ini dengan baik. Tapi di sisi lain, aku merasa sedih karena harus berpisah dengan lingkungan yang sudah mulai terasa seperti rumah kedua. Langit pagi tampak mendung, seakan mencerminkan suasana hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke dalam gedung. Saat tiba di meja kerja, Damar dan Rina sudah ada di sana. Mereka tampak sibuk memeriksa beberapa dokumen, tetapi ekspresi mereka terlihat berbeda dari biasanya—ada kesedihan yang tersirat di wajah mereka. "Sudah siap presentasi terakhir?" tanya Rina sambil tersenyum, meskipun matanya berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan. "Sudah, tinggal menunggu waktunya saja." Damar hanya tersenyum tipis. Aku tahu dia juga merasakan hal yang sama denganku. Perpisahan memang bukan hal yang mudah. --- Presentasi terakhir kami berjalan dengan lancar. Aku berbicara dengan percaya diri, me
Minggu ini berlalu dengan cepat. Setelah perpisahan di kantor, aku mencoba kembali ke rutinitasku sebagai mahasiswi. Rasanya aneh tidak lagi bangun pagi dan bersiap untuk ke kantor. Tidak ada lagi obrolan santai dengan Damar dan Rina, tidak ada lagi rapat-rapat penuh diskusi, dan tidak ada lagi tugas yang menantang untuk dikerjakan. Aku menatap kalender di dinding kamarku. Hari ini adalah hari keberangkatan Damar ke luar negeri. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang terasa sedikit berat. Aku membuka ponsel dan melihat pesan dari Damar di grup chat kami bertiga. Damar: Aku udah di bandara. Pesawat berangkat satu jam lagi. Rina: Selamat jalan, Dam! Jangan lupa kabari kalau sudah sampai. Aku: Semoga perjalanan lancar! Jaga diri di sana, ya. Damar membalas dengan emotikon jempol. Aku tersenyum kecil, tapi ada perasaan kehilangan yang tak bisa kuelakkan. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponsel erat. Rasanya baru kemarin kami bertiga bercanda dan beke
Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-
Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan
Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l
Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo
Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…
Alya pikir semuanya sudah berakhir. Tapi kenapa hatinya masih terasa berat?---Alya menatap layar ponselnya, membaca kembali percakapan terakhirnya dengan Reza.Reza: Aku masih mencintaimu.Alya: Aku tidak.Ia menutup mata, membiarkan napasnya keluar perlahan. Harusnya itu cukup untuk mengakhiri semuanya, tapi kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya?Suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Alya bangkit dan membuka pintu.Dafa berdiri di sana, membawa dua gelas kopi dingin. “Kamu butuh ini.”Alya tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu, ya?”Dafa mengangkat bahu. “Karena aku memperhatikan.”Mereka duduk di balkon kosan Alya, menikmati udara malam. Hening sesaat, sebelum akhirnya Dafa berbicara.“Apa yang kamu rasakan sekarang?”Alya mengaduk kopinya. “Marah. Kecewa. Tapi… lebih ke diri sendiri.”Dafa menoleh. “Kenapa ke diri sendiri?”Alya tertawa kecil, tapi tanpa keceriaan. “Karena aku terlalu bodoh untuk percaya dia.”Dafa menghela napas. “Percaya seseorang bukan kebodoh
Alya berpikir semuanya sudah selesai, tapi kenangan lama selalu menemukan cara untuk kembali.---Malam itu, Alya duduk di balkon kosannya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa rasa dingin yang samar, tapi hatinya terasa jauh lebih dingin.Suara Reza masih terngiang di kepalanya."Tapi… aku masih mencintaimu."Alya menghela napas panjang. Ia menatap layar ponselnya, jari-jarinya ragu mengetik pesan untuk Dafa.Alya: Kamu masih bangun?Tak butuh waktu lama, balasan itu muncul.Dafa: Selalu ada buat kamu. Kenapa?Alya tersenyum tipis. Meski dunia terasa seperti berbalik melawannya, Dafa selalu ada di sisinya.Alya: Aku ketemu Reza tadi.Pesannya terkirim, dan beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dafa menelepon.“Kenapa nggak cerita dari tadi?” Suara Dafa terdengar khawatir.Alya menggigit bibir. “Nggak ada yang perlu diceritain. Dia cuma bilang kalau dia masih mencintaiku.”Dafa terdiam sejenak. “Dan kamu percaya?”Alya tersenyum miris. “
Alya mengira semuanya sudah selesai. Tapi ternyata, ada luka yang belum benar-benar sembuh.---Hening. Itu yang pertama kali Alya rasakan saat memasuki kelas pagi ini. Rasanya aneh, karena biasanya kelas ini selalu riuh dengan suara obrolan teman-temannya. Tapi hari ini, mereka hanya meliriknya sekilas lalu berbisik-bisik di belakangnya.Alya duduk di kursinya dan membuka buku catatan. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mulai menggelayut di dadanya. Namun, ketika ia melihat layar ponselnya, matanya membelalak.Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk:"Kasihan banget ya, dikhianati sahabat sendiri? Mungkin kamu harus introspeksi diri, kenapa dia lebih pilih sahabatmu daripada kamu."Jantung Alya berdegup kencang. Tangannya sedikit gemetar saat membaca pesan itu. Siapa yang mengirim ini?"Alya…"Alya menoleh dan melihat Dafa berdiri di sampingnya. Wajahnya serius, seakan ada sesuatu yang penting yang ingin dia katakan.“Kamu udah lihat?” tanya Dafa pelan."Lihat apa?"
Alya berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Sudah lama ia tidak melihat dirinya dengan begitu tenang. Dulu, setiap kali ia bercermin, yang ia lihat hanyalah seorang gadis yang terluka, yang merasa dikhianati oleh orang-orang yang ia percaya. Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang berbeda—seorang Alya yang lebih kuat, yang siap menghadapi hari esok tanpa rasa takut.Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikirannya—Reza dan Karin. Setelah pertemuannya dengan Reza kemarin, Alya tahu bahwa hubungannya dengan Karin juga harus segera diselesaikan. Ia tidak bisa selamanya menghindari kenyataan.Dengan napas panjang, ia mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Karin.Alya: Bisa ketemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul.Karin: Oke, di kafe biasa?Alya menggigit bibirnya. Kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama dulu. Sekarang, tempat itu terasa penuh dengan kenangan yang tidak lagi membuatnya nya