Share

Langkah Baru, Hidup Baru

Penulis: Asma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 04:21:05

Setelah pertemuanku dengan Reza, aku merasa ada beban yang terangkat dari pundakku. Aku sudah mengatakan apa yang perlu kukatakan. Aku tidak mau lagi terjebak dalam luka lama.

Mungkin, aku memang harus mulai benar-benar melanjutkan hidup.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa siap.

---

Beberapa hari kemudian, aku mendapat pesan dari Karin.

Karin: Alya, bisakah kita bertemu? Aku janji nggak akan memaksa apa pun, aku cuma mau bicara sekali ini aja.

Aku membaca pesannya berulang kali.

Haruskah aku menemuinya?

Aku tahu aku masih belum sepenuhnya memaafkan Karin. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin selamanya terjebak dalam kebencian.

Setelah berpikir lama, aku akhirnya membalas.

Aku: Baiklah. Kita bisa bertemu di kafe dekat kampus besok sore.

---

Keesokan harinya, aku menunggu Karin di kafe.

Aku datang lebih awal, mencoba menenangkan pikiranku.

Beberapa menit kemudian, Karin muncul. Dia terlihat ragu saat berjalan ke arahku, tapi akhirnya ia duduk di depanku.

"Aku nggak akan berbelit-belit," katanya pelan. "Aku cuma mau bilang kalau aku benar-benar minta maaf, Alya."

Aku menatapnya tanpa ekspresi.

"Aku nggak punya alasan untuk membenarkan apa yang aku lakukan. Aku tahu aku salah, aku tahu aku mengkhianati kamu," lanjutnya. "Aku nggak mengharapkan kamu memaafkan aku sekarang, atau bahkan selamanya. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku menyesal."

Aku menarik napas dalam.

Dulu, mungkin aku akan langsung menangis mendengar ini. Tapi sekarang, aku sudah cukup kuat untuk menghadapi semuanya.

"Aku nggak akan bilang kalau aku sudah bisa memaafkan kamu, Karin," kataku jujur. "Luka ini terlalu dalam untuk sembuh dalam sekejap."

Karin menunduk.

"Tapi aku juga nggak mau terus membenci kamu," lanjutku. "Aku ingin melanjutkan hidup tanpa harus terus merasa marah atau sakit hati setiap kali mengingat kamu dan Reza."

Karin mengangkat wajahnya, matanya terlihat berkaca-kaca. "Terima kasih, Alya. Aku benar-benar menghargai itu."

Aku hanya mengangguk.

Kami berdua duduk dalam diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Karin berdiri. "Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Aku harap kamu bisa bahagia, Alya."

Aku menatapnya, lalu mengangguk lagi.

Saat ia pergi, aku menghela napas panjang.

Aku tidak tahu apakah aku akan pernah berteman lagi dengannya. Tapi setidaknya, aku sudah mengambil satu langkah maju.

---

Malam itu, aku bercerita pada Dafa.

Kami sedang duduk di taman kampus, menikmati angin malam.

"Jadi, kamu akhirnya bertemu Karin?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya. Dia minta maaf."

Dafa menatapku. "Dan kamu?"

"Aku nggak langsung memaafkannya, tapi aku juga nggak mau terus membenci dia," jawabku. "Aku cuma mau melanjutkan hidup tanpa ada dendam lagi."

Dafa tersenyum. "Aku bangga sama kamu, Alya. Kamu udah sejauh ini."

Aku tersenyum kecil. "Terima kasih, Dafa. Aku nggak akan bisa sampai sejauh ini tanpa kamu."

Dia menggeleng. "Nggak, Alya. Ini semua karena kamu sendiri. Aku cuma ada di sini buat mendukung kamu."

Aku menatapnya lama. Dafa selalu ada sejak awal, tanpa pernah meminta imbalan apa pun.

"Aku bersyukur punya teman seperti kamu," kataku jujur.

Dafa tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit kuartikan.

"Alya," katanya pelan.

"Hmm?"

"Apa kamu… udah siap membuka hati lagi?"

Aku terkejut dengan pertanyaannya.

Aku belum pernah memikirkan itu. Selama ini, aku hanya fokus pada bagaimana caranya untuk sembuh dari luka lama.

"Aku… nggak tahu," jawabku jujur. "Aku belum kepikiran soal itu."

Dafa mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Aku cuma penasaran."

Aku menatapnya curiga. "Kenapa kamu tanya begitu?"

Dafa tertawa kecil. "Nggak apa-apa. Aku cuma ingin tahu apakah suatu hari… kamu akan siap untuk seseorang yang baru."

Aku terdiam.

Dafa selalu ada di sampingku, mendukungku tanpa syarat. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri—aku merasa nyaman bersamanya.

Tapi apakah aku siap untuk sesuatu yang lebih dari ini?

Aku tidak tahu.

Yang aku tahu, saat ini aku ingin menikmati kebebasanku.

Tanpa luka.

Tanpa dendam.

Tanpa beban dari masa lalu.

Tapi mungkin, suatu hari nanti… aku akan siap membuka hati lagi.

Dan mungkin, orang itu adalah seseorang yang sudah ada di sampingku sejak awal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status