Share

Saat Luka Mulai Sembuh

Penulis: Asma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 04:20:59

Hari-hari setelah pertemuanku dengan Karin terasa aneh. Aku masih belum bisa benar-benar memaafkannya, tapi kata-katanya terus terngiang di kepalaku.

"Aku kangen kita yang dulu."

Aku juga kangen, tapi rasa sakitnya masih terlalu besar. Aku tidak bisa begitu saja kembali seperti dulu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku mulai lebih sering menyibukkan diri. Aku menghabiskan waktu dengan tugas-tugas kuliah, membaca buku di perpustakaan, atau sekadar berjalan-jalan sendirian.

Dan tentu saja, aku semakin dekat dengan Dafa.

---

Suatu sore, Dafa mengajakku ke sebuah kafe di dekat kampus.

"Kamu udah terlalu sering mengurung diri," katanya. "Sekali-kali, coba nikmati hari tanpa mikirin mereka."

Aku menghela napas. "Aku nggak mengurung diri."

"Kamu serius?" Dafa menaikkan alisnya. "Dua minggu terakhir, kamu cuma ke kampus, ke kos, dan ke perpustakaan. Itu pun kalau aku nggak maksa kamu keluar."

Aku terdiam. Oke, mungkin dia ada benarnya.

"Ayo, lah. Aku traktir," bujuknya.

Aku tersenyum tipis. "Baiklah, aku ikut."

Kami pergi ke sebuah kafe kecil yang cukup nyaman. Tempatnya tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan laptop masing-masing.

Dafa memesankan dua cangkir kopi dan sepotong cake untukku. "Aku tahu kamu suka cokelat," katanya sambil mendorong cake itu ke arahku.

Aku terkejut. "Kamu ingat?"

Dafa mengangguk. "Tentu. Aku bukan teman yang buruk."

Aku tertawa kecil. "Iya, sih. Kamu lebih baik daripada beberapa orang yang aku kenal."

Dafa tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa.

Kami mengobrol tentang banyak hal, mulai dari tugas kuliah, film favorit, hingga hal-hal sepele seperti cuaca hari ini. Untuk pertama kalinya sejak semua ini terjadi, aku tertawa tanpa beban.

Saat kami berjalan keluar dari kafe, aku merasa lebih ringan. Seolah-olah aku akhirnya bisa sedikit bernapas setelah sekian lama tenggelam dalam luka.

"Terima kasih, Dafa," kataku pelan.

Dafa menoleh padaku. "Untuk apa?"

"Untuk selalu ada."

Dafa tersenyum. "Aku akan selalu ada, Alya."

---

Namun, tidak semua hari seindah itu.

Beberapa hari kemudian, aku tanpa sengaja bertemu Reza di koridor kampus.

"Alya, tunggu."

Aku sebenarnya ingin langsung pergi, tapi entah kenapa, kakiku berhenti melangkah.

Reza berjalan mendekat dengan wajah yang tidak bisa kubaca. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Apa lagi yang mau dibicarakan?" tanyaku dingin.

Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku minta maaf."

Aku terkesiap.

Reza bukan tipe orang yang mudah meminta maaf. Dia selalu punya alasan untuk membenarkan tindakannya.

"Aku tahu aku salah," lanjutnya. "Aku menyakiti kamu dan aku nggak bisa mengubah itu. Tapi aku nggak mau kita berakhir seperti ini."

Aku menatapnya tajam. "Maksud kamu?"

"Aku masih peduli sama kamu, Alya. Aku masih…"

Aku mengangkat tangan, menghentikannya sebelum ia bisa melanjutkan. "Jangan lanjutkan, Reza."

Dia terdiam.

"Aku sudah cukup terluka," kataku. "Aku nggak butuh penyesalan kamu. Aku nggak butuh permintaan maaf yang terlambat."

Aku bisa melihat kesedihan di matanya, tapi aku tidak peduli lagi.

"Aku sudah selesai dengan ini, Reza. Aku harap kamu juga bisa melanjutkan hidup tanpa harus membawa aku ke dalamnya lagi."

Tanpa menunggu jawabannya, aku berbalik dan pergi.

Dulu, aku mungkin akan menangis setelah percakapan ini. Tapi tidak kali ini.

Kali ini, aku merasa lebih kuat.

---

Malam itu, aku mengirim pesan pada Dafa.

Aku: Aku ketemu Reza tadi. Dia minta maaf.

Dafa membalas dengan cepat.

Dafa: Dan kamu gimana?

Aku mengetik perlahan.

Aku: Aku nggak peduli lagi. Aku cuma mau lanjut hidup tanpa mereka.

Dafa membalas setelah beberapa detik.

Dafa: Aku bangga sama kamu, Alya.

Aku menatap layar ponselku cukup lama sebelum akhirnya tersenyum.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tapi satu hal yang pasti, aku sudah mulai sembuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status