Home / Romansa / Antara Aku, Dia dan, Penghianat / Menata Kembali Hidup yang Berantakan

Share

Menata Kembali Hidup yang Berantakan

Author: Asma
last update Last Updated: 2025-03-07 04:20:50

Setelah berbicara dengan Dafa, aku merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, ada seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi atau berpura-pura peduli.

Aku mulai membiasakan diri tanpa kehadiran Reza dan Karin. Tidak ada lagi tawa bersama mereka, tidak ada lagi pesan yang kutunggu setiap pagi. Awalnya sulit, tapi perlahan, aku mulai terbiasa.

Namun, ada satu hal yang sulit kuhindari: tatapan orang-orang.

Aku tahu mereka membicarakanku. Aku bisa melihat bisik-bisik di sudut kelas saat aku lewat.

"Kasihan, ya, pacarnya direbut sahabat sendiri."

"Makanya jangan terlalu percaya sama sahabat."

"Tapi katanya Reza dan Karin sekarang pacaran beneran, lho."

Setiap kali mendengar kata-kata itu, aku merasa seperti seseorang yang patut dikasihani.

Aku tidak mau dikasihani.

Aku harus bangkit.

---

Aku mulai mengubah rutinitasku.

Aku tidak lagi menghabiskan waktu sendirian di kos. Aku lebih sering pergi ke perpustakaan, mencari suasana yang lebih tenang. Kadang-kadang, Dafa ikut menemaniku.

"Aku heran," kata Dafa suatu hari saat kami duduk di perpustakaan. "Kenapa kamu nggak marah atau membalas mereka?"

Aku menatapnya. "Buat apa? Marah nggak akan mengubah apa pun."

Dafa menghela napas. "Tapi kamu pasti sakit hati, kan?"

Aku tersenyum pahit. "Jelas. Tapi aku nggak mau terus-terusan terjebak dalam luka ini. Aku harus melanjutkan hidup."

Dafa terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. "Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Alya."

Aku tidak tahu apakah aku benar-benar kuat atau hanya berpura-pura kuat. Tapi mendengar kata-kata itu, aku merasa sedikit lebih baik.

---

Hari demi hari berlalu, hingga sesuatu terjadi.

Suatu sore, saat aku sedang berjalan keluar dari kelas, tiba-tiba seseorang memanggilku.

"Alya!"

Aku menoleh dan melihat Karin berdiri di belakangku.

Aku tidak siap untuk ini.

"Ada yang mau aku omongin," katanya dengan wajah serius.

Aku ingin mengabaikannya. Aku ingin berjalan pergi seolah-olah dia tidak ada. Tapi hatiku menolak.

"Apa?" tanyaku dingin.

Karin menatapku dengan ekspresi bersalah. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku udah nyakitin kamu. Tapi, Alya… aku nggak mau kita musuhan selamanya."

Aku tertawa kecil. "Musuhan? Kamu pikir setelah semua yang kamu lakukan, aku masih bisa bersikap biasa aja?"

Karin terdiam. "Aku cuma… aku kangen kita yang dulu."

Dada ini terasa sesak lagi. Aku juga merindukan sahabatku. Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan pengkhianatannya.

"Aku nggak tahu, Karin," kataku jujur. "Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkanmu."

Karin menunduk. "Aku ngerti. Tapi kalau suatu hari kamu siap… aku akan tetap di sini."

Aku tidak menjawab. Aku hanya berbalik dan berjalan pergi.

Hatiku masih sakit.

Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih ringan.

Mungkin suatu hari aku akan memaafkannya. Tapi tidak sekarang.

Dan mungkin, aku tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi.

---

Malam itu, aku menghubungi Dafa.

Aku: Dafa, kamu sibuk?

Tidak butuh waktu lama sebelum ia membalas.

Dafa: Nggak. Kenapa?

Aku: Aku cuma… Aku ketemu Karin tadi.

Dafa: Terus?

Aku: Dia minta maaf. Dia bilang dia kangen kita yang dulu.

Aku menatap layar ponsel, menunggu balasannya.

Dafa: Dan kamu gimana?

Aku mengetik perlahan.

Aku: Aku masih marah. Tapi aku juga kangen.

Dafa tidak langsung membalas. Aku menunggu beberapa detik sebelum pesannya masuk.

Dafa: Wajar kalau kamu masih marah. Kamu berhak marah. Tapi kamu juga berhak untuk bahagia lagi.

Aku tersenyum kecil.

Aku: Makasih, Dafa.

Dafa: Kapan aja, Alya.

Aku menatap layar ponsel cukup lama.

Dafa selalu ada saat aku butuh seseorang. Dia tidak mencoba menghakimi atau memaksaku untuk melupakan. Dia hanya mendengarkan.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi untuk pertama kalinya sejak semua ini terjadi, aku merasa tidak sendirian.

Dan itu sudah cukup untuk saat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status