Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area.
Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.” Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan. Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri. Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat ke Cantik. “Kamu duduk aja dulu. Biar aku yang pesan makanan.” Cantik menaikkan alis. “Aku bisa pesan sendiri.” “Tapi kamu enggak tahu di mana tempat yang enak di sini,” balas Ezra santai. “Lagipula, aku udah tahu kamu akan pesen apa.” Cantika sempat ingin membantah, tapi akhirnya hanya mengangguk. “Kalau menunya enggak sesuai selera aku, aku akan hitung ini sebagai pelanggaran kontrak kerja sama.” Ezra tersenyum sekilas. “Deal.” Cantik memilih duduk di meja dekat jendela kaca besar yang menghadap ke parkiran. Ia membuka tablet lagi, menatap email yang masuk. Tapi pikirannya tak benar-benar fokus. Ada rasa ingin tahu kecil soal apa yang sebenarnya dilakukan Ezra. Sekitar tujuh menit kemudian, Ezra datang membawa nampan berisi dua piring dan dua gelas besar. Cantik menatap isi nampan itu—dan matanya menyipit sedikit. “Roti bakar isi telur dan keju, dengan sambal hijau di pinggir. Mie kuah tipis dengan topping sayur dobel, tanpa cabai, tapi pakai lada. Es lemon teh, sedikit gula, banyak es,” kata Ezra menjelaskan tanpa diminta, lalu meletakkan piring itu di depan Cantik. Cantik tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Ezra selama beberapa detik, mencoba memproses apa yang barusan terjadi. “Seingatku, terakhir kali aku makan roti bakar kayak gini di food court kampus waktu kita masih skripsi,” gumamnya pelan. Ezra duduk dan membuka sendoknya. “Benar. Dan kamu marah waktu tahu mereka ganti sambal hijau jadi saus tomat. Katamu itu pengkhianatan selera.” Cantika menatap makanannya, lalu menatap Ezra lagi. “Kamu ingat semua itu?” tanya Cantika akhirnya, dengan nada pelan. Ezra mengangkat bahu, seolah tak penting. “Aku bukan sengaja mengingatnya. Cuma … otakku menyimpan hal-hal tertentu. Dan kamu termasuk hal tertentu.” Cantik terdiam beberapa detik. Ia mengambil garpunya perlahan, menusuk mie-nya untuk mencicipi. Masih seperti dulu. Persis. Bahkan takaran lada dan suhu mie-nya mendekati sempurna. Itu membuat pertahanannya sedikit goyah—bukan karena romantisme tapi karena akurasi yang terlalu tepat untuk disebut kebetulan. Ezra melanjutkan, sambil makan, “Kalau kamu masih suka roti bagian ujungnya dibalik biar nggak soggy, itu udah aku lakukan.” Cantik mendesah kecil. “Kamu enggak berubah, ya.” “Gimana caranya berubah kalau kamu masih sama keras kepalanya?” Ezra menyeringai. Mereka makan dalam diam selama beberapa saat. Tapi tidak seperti sebelumnya, diam ini tak lagi penuh ketegangan. Justru ada sesuatu yang ganjil—nyaman, yang membuat Cantik siaga. Setelah setengah makanannya habis, Cantik akhirnya berkata, “Aku enggak butuh kamu jadi pahlawan. Bahkan dalam urusan makan malam.” Ezra tidak langsung membalas. Ia menatap piringnya, lalu menimpali, “Aku tahu. Dan aku enggak niat jadi pahlawan. Aku cuma … tahu kamu enggak akan sempat mikirin makan.” Cantik menggigit pelan rotinya. Matanya menatap ke samping. “Dan kamu pikir ini akan bikin aku luluh?” Ezra mengangkat gelasnya. “Sama sekali enggak. Aku tahu kamu bukan tipe yang bisa diluluhkan dengan mie kuah dan roti bakar. Tapi kalau kamu bisa makan dengan tenang malam ini dan enggak migrain pas nyusun laporan, aku anggap misi berhasil.” Cantik mendengus. Tapi tidak ada lagi nada sinis yang tajam. Selesai makan, mereka duduk beberapa menit lagi sambil menyeruput minuman masing-masing. Cantik akhirnya bersandar sebentar di kursi, membiarkan tubuhnya tenang. “Jangan pikir ini membuatku lebih lunak dalam rapat besok,” katanya datar. “Kalau kamu lunak, dunia justru akan bingung,” jawab Ezra cepat. “Aku di sini bukan buat mengubah kamu, Cantik. Aku Cuma … ikut ritme kamu, aku akan beradaptasi terus sama kamu sampai kamu bisa menerimaku.” Keduanya saling menatap hingga beberapa saat sampai akhirnya Cantik bangkit duluan, mengambil tabletnya. “Ayo, udah malam. Jakarta nunggu kita. Dan aku masih punya dua presentasi yang harus dicek.” Ezra mengangguk, lalu mengikuti langkah Cantik keluar dari food court. Mobil kembali melaju di jalan tol, kali ini dengan Cantik duduk di kursi depan, di samping Ezra. Ia memindahkan tablet dan tas kecilnya ke jok belakang, melirik Ezra sebentar sebelum berkata, “Kalau kamu nyetir ugal-ugalan, aku turunin kamu… biar aku yang nyetir sendiri pulang ke rumah.” Ezra tersenyum singkat, mata tetap fokus ke jalan. “Santai, Nyonya Protokol. Hari ini kamu sudah cukup trauma logistik. Aku akan nyetir kayak sopir pribadi profesional.” “Bagus,” sahut Cantik datar, tapi kali ini tanpa nada tajam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok kulit mobil, menatap lampu-lampu jalan yang melewati jendela dalam garis-garis samar. Beberapa menit pertama dipenuhi suara AC dan musik jazz instrumental dari speaker dashboard. Tak ada percakapan. Tapi juga tak ada ketegangan. Hanya keheningan yang terasa tenang dan nyaman. Ezra melirik sekilas ke samping. Cantik mulai memejamkan mata. Kedua tangannya saling bertaut di atas pangkuan, bahunya sedikit merosot. Nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, dan rambutnya jatuh ke arah kiri wajah. Ezra mengurangi volume musik, menurunkan kecepatan sedikit. Mobil berhenti di lampu merah panjang dekat simpang Pancoran. Ia menoleh pelan, menatap wajah Cantika dalam diam. Sejenak, hanya suara wiper yang bergerak pelan menghapus embun dari kaca depan. Ezra menahan napasnya. Lalu, dengan gerakan nyaris tak terdengar, ia mengangkat tangan—dan menggunakan punggung jarinya untuk menyapu pelan rambut yang menempel di pipi Cantika. “Cintaku masih sama seperti dulu,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Enggak berubah meski kamu tolak delapan puluh kali.” Ia tidak tahu bahwa kelopak mata Cantika yang tertutup itu menyimpan kesadaran penuh. Cantika tidak bergerak. Tapi di dalam pikirannya, satu bagian kecil sedang berdetak lebih cepat. Jelas. Tegas. Dan tidak bisa diabaikan. Ezra kembali menatap ke depan ketika lampu berubah hijau. Perjalanan berlanjut. Sepuluh menit lagi sampai rumah Cantika. Dan selama itu, tak satu pun dari mereka membahas tentang hati. Mobil berhenti perlahan di depan gerbang kediaman Maverick. Lampu luar rumah menyala temaram, mengukir siluet pagar besi dan taman kecil di baliknya. Udara malam terasa dingin, tapi nyaman. Ezra mematikan mesin. Cantika masih bersandar, mata terpejam. Napasnya teratur, wajahnya tetap damai—terlalu damai untuk ukuran Cantika yang biasanya tidak pernah membiarkan dirinya terlihat rentan. Ezra menyerongkan posisi duduknya pelan, menatapnya lagi. “Cantik,” panggilnya pelan. Tak ada respons. “Cleosana,” ucapnya sedikit lebih jelas. Masih tak ada reaksi. Ezra mendekat sedikit. Ada ragu. Ada napas tertahan. Tapi akhirnya ia mencondongkan diri dan, perlahan menempelkan bibirnya ke bibir Cantik. Ringan. Singkat. Tapi tulus. Sesaat, waktu seperti berhenti. Lalu Ezra menarik diri, kembali duduk tegak, dan berdehem kecil. Ia meraih tas kecil Cantik dan hendak membangunkannya sekali lagi. Namun sebelum sempat bicara, suara pelan terdengar dari samping. “Aku enggak benar-benar tidur, tahu.” Ezra menoleh kaget. Cantik sudah membuka matanya. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya tajam. Tidak marah. Tapi juga tidak lembek. “Dan kamu baru saja melanggar dua protokol interaksi kerja,” lanjut Cantik sambil duduk tegak. Ezra terdiam. “Aku .…” Cantik menyentuh bibirnya sendiri sebentar, lalu menatap Ezra lurus. “Tapi karena kamu mengemudi dengan baik dan pesenin roti bakar sempurna, aku kasih diskon sanksi.” Ezra mengangkat satu alis. “Diskon?” “Ya. Hari ini kamu lolos. Besok? Belum tentu.” Ia membuka pintu mobil, turun dengan langkah elegan, tanpa menoleh lagi. Ezra masih duduk di belakang kemudi, bibirnya terbuka sedikit. “Jadi dia enggak tidur? Terus kenapa diem aja waktu aku cium?” Ezra tertawa. “Kamu menikmatinya ya, Cantik?” sambungnya lagi bicara sendiri. Sementara itu di dalam rumah, Cantika menyandarkan punggung ke pintu utama di ruang tamu. Dia menyentuh bibirnya yang dicium Ezra. Ini adalah ciuman ketiga pria itu yang diambil tanpa seijinnya sejak mereka pertama kali bertemu di usia sembilan tahun. Cantik menggigit bibir bagian bawah, dia tidak akan pernah membiarkan pria lain melakukannya tapi Ezra, sewaktu kelas sebelas dan ketika mereka kuliah semester tiga—berhasil mencuri kecup di bibirnya tanpa pernah mendapat tamparan sekalipun. Apakah itu menunjukkan kalau sebenarnya hati Cantika sengaja membiarkannya?Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area. Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.”Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan.Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri.Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat
Langit Jakarta bagian selatan mulai memucat ketika dua mobil SUV hitam berhenti di gerbang lokasi utama HorizonOne. Di sekelilingnya, area seluas dua belas hektar itu dipagari seng pelindung yang mulai berkarat di bagian ujung, tanah merah terbentang penuh cekungan dan jejak roda berat.Cantik keluar lebih dulu, body goal—nya dibalut kemeja biru langit, celana panjang hitam dan sepatu boots lapangan. Helm putih bertuliskan Vice PD – GZ Corp sudah bertengger rapi di kepala. Tablet di tangannya menyala dengan peta denah digital.Tak lama kemudian, Ezra turun dari mobil di belakang mobil Cantika. Helmnya bertuliskan Vice PD – LZ Corp, seragam lapangannya lusuh di bagian siku, dan dia berjalan santai dengan ekspresi yang terlalu tenang untuk hari penting seperti ini.“Kamu telat dua menit,” ujar Cantika tanpa menoleh.Padahal dia tahu kalau mereka tiba bersama, sapaan selamat pagi Cantik memang berbeda dengan perempuan kebanyakan.Ezra melirik jam tangan. “Lalu lintasnya padat, dan a
Pagi itu suasana di kantor pusat HorizonOne Project Division—yang menempati satu lantai penuh di Centris Tower—jauh dari kata tenang. Beberapa staf dari dua kubu, GZ Corp dan LZ Corp, tampak sibuk di depan komputer. Tapi sesekali, pandangan mereka mencuri ke arah ruang rapat kaca yang masih kosong—tempat dua Vice PD muda akan kembali duduk satu meja.Bisik-bisik kecil beredar di lorong, bukan karena skandal, tapi karena rasa ingin tahu.Pasalnya Cantika dan Ezra tampak akrab tapi penuh dendam.“Katanya semalam ada makan malam keluarga antara Maverick dan Lazuardy.” “Iya, kakakku kerja di bagian hospitality, katanya keluarga Lazuardy booking ruangan private di restoran mahal.”“Pak Ezra dan bu Cantik duduk berdampingan. Tapi kayaknya bukan yang romantis-romantis banget deh .…”“Eh, tapi mereka debat, katanya. Bahkan pas makan malam keluarga pun tetap beda pendapat.”Tak ada yang tahu pasti bagaimana info itu bisa menyebar, tapi di dunia sekelas mereka, gosip kantor tak butuh
Sore hari di rumah kediaman Maverick terasa seperti satu persiapan besar menuju perang dingin diplomatik.Bukan pernikahan, bukan gala, tapi jamuan makan malam yang melibatkan dua keluarga dengan sejarah panjang—dan lebih banyak tensi personal ketimbang tender bisnis.Di ruang tengah, mommy Jill memeriksa dua box kado buah premium yang akan dibawa, memastikan pita dan kartu ucapan tertempel rapi. Ragnala, yang berusia dua puluh tahun dan masih duduk di semester akhir kuliahnya, sedang mencoba dasi kupu-kupu sambil mengeluh.“Aku enggak ngerti kenapa harus ikut acara kayak gini. Ini kan cuma makan malam, bukan lamaran kak Cantik.”Dari ujung sofa, Rae, si anak tengah yang baru saja lulus S2 di Melbourne, mencibir. “Justru karena belum lamaran makanya kamu harus tampil sopan. Siapa tahu habis makan malam, keluarga Lazuardy ngelamar kak Cantik di depan nasi goreng kambing.”Cantik muncul dari tangga atas, mengenakan gaun hitam polos selutut dan blazer formal abu gelap. Rambutnya dig
Hujan sisa semalam masih menyisakan kabut tipis di area parkir basement Centris Tower pagi itu. Proyek HorizonOne memasuki fase pra-eksekusi dan hari ini seluruh jajaran Vice Project Director muda dijadwalkan untuk survei lokasi pembangunan kawasan smart-industry yang akan menjadi mahakarya gabungan GZ Corp dan LZ Corp.Cantik menuruni tangga basement dengan sepatu hitam berhak tujuh senti meter, mengenakan blazer warna charcoal dan rok span senada. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya setajam agenda meeting yang tak bisa diganggu.Di sisi lain, Ezra menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam—dengan tangan di saku celana abu gelap dan kemeja putih yang lengan panjangnya sudah digulung sampai siku.“Pagi juga, Cleosana Cantika Maverick,” sapa Ezra begitu Cantik mendekat, suaranya santai dan… menyebalkan.Cantik meliriknya datar. “Mana drivernya?”Ezra menunjuk ke arah mobil. “Driver enggak ikut. One car policy. Arahan dari Project Director—biar efisien, katanya. Kita gantian nyetir.”
Sore menjelang malam di rumah utama keluarga Maverick, langit Jakarta mulai bergradasi jingga dan di ruang kerja pribadi Kenzo Maverick—CEO GZ Corp—aroma kopi hitam dan kayu tua berbaur dalam atmosfer yang elegan dan tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat pintu dibuka sedikit keras.Cantik masuk tanpa salam, langsung menutup pintu di belakangnya.Daddy Kenzo mendongak dari balik laptop. “Putri Daddy yang paling cantik, baru satu hari nanganin Horizon One, wajahnya tampak muram gini?”“Don’t play nice, Daddy,” ujar Cantik tajam, menjatuhkan tablet ke meja kerja Kenzo. “Kenapa aku enggak dikasih tahu kalau dia yang jadi Vice Project Director dari LZ Corp?”Daddy Kenzo menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. Tatapannya tidak terkejut karena memang sudah tahu lebih dulu.Beliau tampak tenang, seperti sudah menanti pertanyaan itu datang.“Because I know you’d react like this.”“Exactly!” Cantik membentak pelan. “Ini bukan sekadar proyek