Home / Romansa / Antara Ambisi dan Cinta / Diam-diam Menikmati

Share

Diam-diam Menikmati

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-09-26 22:08:38

Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area.

Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.”

Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan.

Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri.

Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat ke Cantik. “Kamu duduk aja dulu. Biar aku yang pesan makanan.”

Cantik menaikkan alis. “Aku bisa pesan sendiri.”

“Tapi kamu enggak tahu di mana tempat yang enak di sini,” balas Ezra santai. “Lagipula, aku udah tahu kamu akan pesen apa.”

Cantika sempat ingin membantah, tapi akhirnya hanya mengangguk. “Kalau menunya enggak sesuai selera aku, aku akan hitung ini sebagai pelanggaran kontrak kerja sama.”

Ezra tersenyum sekilas. “Deal.”

Cantik memilih duduk di meja dekat jendela kaca besar yang menghadap ke parkiran. Ia membuka tablet lagi, menatap email yang masuk. Tapi pikirannya tak benar-benar fokus. Ada rasa ingin tahu kecil soal apa yang sebenarnya dilakukan Ezra.

Sekitar tujuh menit kemudian, Ezra datang membawa nampan berisi dua piring dan dua gelas besar.

Cantik menatap isi nampan itu—dan matanya menyipit sedikit.

“Roti bakar isi telur dan keju, dengan sambal hijau di pinggir. Mie kuah tipis dengan topping sayur dobel, tanpa cabai, tapi pakai lada. Es lemon teh, sedikit gula, banyak es,” kata Ezra menjelaskan tanpa diminta, lalu meletakkan piring itu di depan Cantik.

Cantik tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Ezra selama beberapa detik, mencoba memproses apa yang barusan terjadi.

“Seingatku, terakhir kali aku makan roti bakar kayak gini di food court kampus waktu kita masih skripsi,” gumamnya pelan.

Ezra duduk dan membuka sendoknya. “Benar. Dan kamu marah waktu tahu mereka ganti sambal hijau jadi saus tomat. Katamu itu pengkhianatan selera.”

Cantika menatap makanannya, lalu menatap Ezra lagi.

“Kamu ingat semua itu?” tanya Cantika akhirnya, dengan nada pelan.

Ezra mengangkat bahu, seolah tak penting. “Aku bukan sengaja mengingatnya. Cuma … otakku menyimpan hal-hal tertentu. Dan kamu termasuk hal tertentu.”

Cantik terdiam beberapa detik. Ia mengambil garpunya perlahan, menusuk mie-nya untuk mencicipi.

Masih seperti dulu. Persis. Bahkan takaran lada dan suhu mie-nya mendekati sempurna. Itu membuat pertahanannya sedikit goyah—bukan karena romantisme tapi karena akurasi yang terlalu tepat untuk disebut kebetulan.

Ezra melanjutkan, sambil makan, “Kalau kamu masih suka roti bagian ujungnya dibalik biar nggak soggy, itu udah aku lakukan.”

Cantik mendesah kecil. “Kamu enggak berubah, ya.”

“Gimana caranya berubah kalau kamu masih sama keras kepalanya?” Ezra menyeringai.

Mereka makan dalam diam selama beberapa saat. Tapi tidak seperti sebelumnya, diam ini tak lagi penuh ketegangan. Justru ada sesuatu yang ganjil—nyaman, yang membuat Cantik siaga.

Setelah setengah makanannya habis, Cantik akhirnya berkata, “Aku enggak butuh kamu jadi pahlawan. Bahkan dalam urusan makan malam.”

Ezra tidak langsung membalas. Ia menatap piringnya, lalu menimpali, “Aku tahu. Dan aku enggak niat jadi pahlawan. Aku cuma … tahu kamu enggak akan sempat mikirin makan.”

Cantik menggigit pelan rotinya. Matanya menatap ke samping. “Dan kamu pikir ini akan bikin aku luluh?”

Ezra mengangkat gelasnya. “Sama sekali enggak. Aku tahu kamu bukan tipe yang bisa diluluhkan dengan mie kuah dan roti bakar. Tapi kalau kamu bisa makan dengan tenang malam ini dan enggak migrain pas nyusun laporan, aku anggap misi berhasil.”

Cantik mendengus. Tapi tidak ada lagi nada sinis yang tajam.

Selesai makan, mereka duduk beberapa menit lagi sambil menyeruput minuman masing-masing. Cantik akhirnya bersandar sebentar di kursi, membiarkan tubuhnya tenang.

“Jangan pikir ini membuatku lebih lunak dalam rapat besok,” katanya datar.

“Kalau kamu lunak, dunia justru akan bingung,” jawab Ezra cepat. “Aku di sini bukan buat mengubah kamu, Cantik. Aku Cuma … ikut ritme kamu, aku akan beradaptasi terus sama kamu sampai kamu bisa menerimaku.”

Keduanya saling menatap hingga beberapa saat sampai akhirnya Cantik bangkit duluan, mengambil tabletnya. “Ayo, udah malam. Jakarta nunggu kita. Dan aku masih punya dua presentasi yang harus dicek.”

Ezra mengangguk, lalu mengikuti langkah Cantik keluar dari food court.

Mobil kembali melaju di jalan tol, kali ini dengan Cantik duduk di kursi depan, di samping Ezra. Ia memindahkan tablet dan tas kecilnya ke jok belakang, melirik Ezra sebentar sebelum berkata, “Kalau kamu nyetir ugal-ugalan, aku turunin kamu… biar aku yang nyetir sendiri pulang ke rumah.”

Ezra tersenyum singkat, mata tetap fokus ke jalan. “Santai, Nyonya Protokol. Hari ini kamu sudah cukup trauma logistik. Aku akan nyetir kayak sopir pribadi profesional.”

“Bagus,” sahut Cantik datar, tapi kali ini tanpa nada tajam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok kulit mobil, menatap lampu-lampu jalan yang melewati jendela dalam garis-garis samar.

Beberapa menit pertama dipenuhi suara AC dan musik jazz instrumental dari speaker dashboard. Tak ada percakapan. Tapi juga tak ada ketegangan.

Hanya keheningan yang terasa tenang dan nyaman.

Ezra melirik sekilas ke samping.

Cantik mulai memejamkan mata. Kedua tangannya saling bertaut di atas pangkuan, bahunya sedikit merosot. Nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, dan rambutnya jatuh ke arah kiri wajah.

Ezra mengurangi volume musik, menurunkan kecepatan sedikit.

Mobil berhenti di lampu merah panjang dekat simpang Pancoran.

Ia menoleh pelan, menatap wajah Cantika dalam diam.

Sejenak, hanya suara wiper yang bergerak pelan menghapus embun dari kaca depan. Ezra menahan napasnya.

Lalu, dengan gerakan nyaris tak terdengar, ia mengangkat tangan—dan menggunakan punggung jarinya untuk menyapu pelan rambut yang menempel di pipi Cantika.

“Cintaku masih sama seperti dulu,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Enggak berubah meski kamu tolak delapan puluh kali.”

Ia tidak tahu bahwa kelopak mata Cantika yang tertutup itu menyimpan kesadaran penuh.

Cantika tidak bergerak. Tapi di dalam pikirannya, satu bagian kecil sedang berdetak lebih cepat. Jelas. Tegas. Dan tidak bisa diabaikan.

Ezra kembali menatap ke depan ketika lampu berubah hijau.

Perjalanan berlanjut. Sepuluh menit lagi sampai rumah Cantika.

Dan selama itu, tak satu pun dari mereka membahas tentang hati.

Mobil berhenti perlahan di depan gerbang kediaman Maverick.

Lampu luar rumah menyala temaram, mengukir siluet pagar besi dan taman kecil di baliknya. Udara malam terasa dingin, tapi nyaman.

Ezra mematikan mesin.

Cantika masih bersandar, mata terpejam. Napasnya teratur, wajahnya tetap damai—terlalu damai untuk ukuran Cantika yang biasanya tidak pernah membiarkan dirinya terlihat rentan.

Ezra menyerongkan posisi duduknya pelan, menatapnya lagi.

“Cantik,” panggilnya pelan.

Tak ada respons.

“Cleosana,” ucapnya sedikit lebih jelas.

Masih tak ada reaksi.

Ezra mendekat sedikit. Ada ragu. Ada napas tertahan. Tapi akhirnya ia mencondongkan diri dan, perlahan menempelkan bibirnya ke bibir Cantik.

Ringan.

Singkat.

Tapi tulus.

Sesaat, waktu seperti berhenti.

Lalu Ezra menarik diri, kembali duduk tegak, dan berdehem kecil. Ia meraih tas kecil Cantik dan hendak membangunkannya sekali lagi.

Namun sebelum sempat bicara, suara pelan terdengar dari samping.

“Aku enggak benar-benar tidur, tahu.”

Ezra menoleh kaget.

Cantik sudah membuka matanya. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya tajam. Tidak marah. Tapi juga tidak lembek.

“Dan kamu baru saja melanggar dua protokol interaksi kerja,” lanjut Cantik sambil duduk tegak.

Ezra terdiam. “Aku .…”

Cantik menyentuh bibirnya sendiri sebentar, lalu menatap Ezra lurus. “Tapi karena kamu mengemudi dengan baik dan pesenin roti bakar sempurna, aku kasih diskon sanksi.”

Ezra mengangkat satu alis. “Diskon?”

“Ya. Hari ini kamu lolos. Besok? Belum tentu.”

Ia membuka pintu mobil, turun dengan langkah elegan, tanpa menoleh lagi.

Ezra masih duduk di belakang kemudi, bibirnya terbuka sedikit.

“Jadi dia enggak tidur? Terus kenapa diem aja waktu aku cium?” Ezra tertawa.

“Kamu menikmatinya ya, Cantik?” sambungnya lagi bicara sendiri.

Sementara itu di dalam rumah, Cantika menyandarkan punggung ke pintu utama di ruang tamu.

Dia menyentuh bibirnya yang dicium Ezra. Ini adalah ciuman ketiga pria itu yang diambil tanpa seijinnya sejak mereka pertama kali bertemu di usia sembilan tahun.

Cantik menggigit bibir bagian bawah, dia tidak akan pernah membiarkan pria lain melakukannya tapi Ezra, sewaktu kelas sebelas dan ketika mereka kuliah semester tiga—berhasil mencuri kecup di bibirnya tanpa pernah mendapat tamparan sekalipun.

Apakah itu menunjukkan kalau sebenarnya hati Cantika sengaja membiarkannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Ambisi dan Cinta   Semakin Hancur karena Penyesalan

    Keesokan paginya, di saat sinar matahari menyusup lembut dari sela tirai kamar rawat dan aroma antiseptik masih samar memenuhi ruangan—Selena masih terlelap dengan wajah tenang, pipinya sudah tidak sepucat kemarin. Cantika sudah bangun, duduk di kursi samping ranjang pasien. Selama menunggui Selena—dia nyaris tidak bisa tidur dengan lelap. Ketukan pintu terdengar. Seorang dokter masuk bersama dua perawat. Ezra dan Cantika segera berdiri, menyambut dengan tatapan penuh cemas. “Pagi, Pak … Bu,” sapa dokter sambil tersenyum tipis. “Saya sudah lihat hasil pemeriksaan terakhir Selena. Semua tanda vitalnya stabil, hasil tes darah juga normal. Jadi … Selena boleh pulang hari ini. Tinggal dipantau pemulihannya di rumah.” Seakan beban besar runtuh dari bahu, Ezra langsung menunduk, mengembuskan napas lega begitu juga dengan Cantika yang meski tersenyum namun matanya berkaca-kaca. “Jadi … Selena benar-benar sudah boleh pulang, Dok?” suaranya bergetar. Dokter

  • Antara Ambisi dan Cinta   Sendirian

    Selena akhirnya terlelap dengan tenang setelah minum obat, napas kecilnya teratur, sesekali jemarinya bergerak seolah meraih mimpi yang indah. Seketika ruang rawat VVIP itu mendadak hening, hanya terdengar suara mesin pendingin ruangan dan detak jam dinding. Ezra yang duduk di kursi samping ranjang Selena, memandang putri kecilnya lama lalu bangkit. “Aku ke kamar mandi sebentar, mau mandi sama ganti baju,” ujarnya singkat. Cantika mengangguk lantas bangkit dari sofa, tanpa menatap Ezra—dia duduk menggantikan suaminya di kursi samping ranjang. Tak lama kemudian terdengar suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi. Sunyi menyelimuti kembali ruangan itu. Cantika menoleh sekilas ke arah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, ponsel Ezra tergeletak begitu saja—layarnya masih menyala samar. Refleks Cantika bangkit dan berjalan ke sana, dia melihat notifikasi yang baru masuk di ponsel Ezra. Seketika dada Cantika mengeras. Nama itu. Elara Yunita. Bibirnya mene

  • Antara Ambisi dan Cinta   Arah yang Nyaris Hilang

    Gedung LZ Corp berdiri megah di bawah langit pagi yang mendung. Ezra melangkah masuk dengan langkah tergesa, dasi miring sedikit karena tadi pagi ia lebih sibuk memastikan Cantika mau makan ketimbang merapikan dirinya sendiri. Beberapa staf menyapanya dengan senyum sopan, tapi Ezra hanya mengangguk cepat. “Pagi Pak,” sapa Andi sang sekretaris yang beberapa hari terakhir sibuk mengerjakan sebagian tugas Ezra. “Pagi.” Ezra menyahut sambil melangkah cepat ke ruangannya. Di sana, tumpukan dokumen dan MacBook sudah menunggu. Andi yang mengikuti di belakang membuka iPadnya. “Pak, hari ini ada dua meeting besar yang harus Bapak hadiri … satu dengan investor asing via Zoom, satu lagi dengan tim proyek pembangunan resort di Lombok.” “Oke ….” Ezra duduk di kursi kebesarannya sambil membaca data di layar MacBook. “Pak Ezra, ini proposal revisi dari tim marketing. Harus dicek hari ini,” ujar Andi, dia meletakkan map biru di atas meja. “Aku cek setelah meeting,” jawab Ezra

  • Antara Ambisi dan Cinta   Menghancurkan Hati Cantika

    Langkah Ezra terasa berat ketika ia meninggalkan ruang rawat VVIP. Sepanjang koridor, kepalanya penuh gema suara Cantika tadi. “Wajahmu kusut, matamu merah. Kalau kamu sakit, siapa yang mau bantuin aku jagain Selena?” Nada Cantika memang datar, dingin, bahkan ketus. Tapi Ezra tahu di balik kalimat itu terselip perhatian yang tulus. Setelah menyalakan mobil, ia duduk lama di parkiran, menatap setir tanpa menyalakan mesin. “Aku beneran pulang? Apa ini langkahnya Cantika buat menjauhkan aku?” gumamnya lirih. Namun akhirnya ia menekan tombol engine, meninggalkan rumah sakit menuju rumah yang seharusnya terasa hangat tapi kini dingin menusuk. Sesampainya di rumah, Ezra langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras, tapi bukannya menyegarkan, justru terasa seperti menelanjangi hatinya yang penuh luka. Di cermin berembun, ia melihat bayangan dirinya sendiri—mata cekung, rahang mengeras. “Cantika masih peduli … tapi aku? Aku malah—” Suara notifika

  • Antara Ambisi dan Cinta   Demi Anak

    Ruangan rawat VVIP itu kembali hening setelah dokter meninggalkan mereka dengan kabar kecil yang melegakan. Selena sudah mulai merespons lebih baik, meski tetap harus diawasi ketat. Pandangan Cantika masih terpusat pada wajah mungil sang putri. Matanya masih sembab, tetapi setiap gerakan tangannya penuh kelembutan—membetulkan selimut, mengusap kening, lalu mengecup jemari kecil Selena. Ezra memperhatikannya dari sofa. Hatinya berdesir aneh. Semua yang ia saksikan terasa asing—Cantika yang selama ini keras kepala, tiba-tiba jadi begitu teduh. Tetapi keteduhan itu seperti lapisan tipis di atas samudra yang bergejolak. Ia tahu, di balik sikap tenang itu, ada luka dalam yang masih berdarah. “Ezra.” Suara itu membuat Ezra menoleh cepat. Cantika tidak sedang menatapnya, ia tetap menunduk pada Selena, tapi nada bicaranya jelas ditujukan padanya. “Kamu pulang aja sebentar. Mandi, ganti baju, istirahat. Aku di sini jagain Selena.” Ucapannya tegas, singkat, dan tanpa nada mani

  • Antara Ambisi dan Cinta   Harus Memilih

    “Nan, saya titip Nayaka … mungkin malam ini saya akan menginap di rumah sakit gantian sama papinya.” Cantika berpesan ketika masuk ke dalam kamar si kembar. “Baik Bu … yang sabar dan kuat ya Bu, Selena sudah tertangani dengan baik … sebentar lagi juga pulih,” kata nannynya Selena menguatkan. Cantika tersenyum lembut tapi matanya sembab. Dia menggendong Nayaka yang masih terlelap dan belum mandi, mengecupnya dalam lalu menyimpannya kembali ke box bayi. Setelah itu Cantika keluar dan turun ke lantai satu. “Pagi Bu … sarapan sudah siap,” kata bu Ratri dari bawah tangga. “Makasih Bu ….” Cantik duduk di kursi meja makan, dia harus sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. “Bu, ini saya buatkan teh herbal untuk Ibu.” Bu Ratri meletakan cangkir mug dekat Cantika. “Saya juga membuat untuk bapak, ada di tumbler sama sarapan pagi untuk bapak,” kata Bu Ratri sembari meletakan satu tas berisi kotak makanan. Cantika menatap tas itu sebentar kemudian menatap bu Ratr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status