Langit Jakarta bagian selatan mulai memucat ketika dua mobil SUV hitam berhenti di gerbang lokasi utama HorizonOne. Di sekelilingnya, area seluas dua belas hektar itu dipagari seng pelindung yang mulai berkarat di bagian ujung, tanah merah terbentang penuh cekungan dan jejak roda berat.
Cantik keluar lebih dulu, body goal—nya dibalut kemeja biru langit, celana panjang hitam dan sepatu boots lapangan. Helm putih bertuliskan Vice PD – GZ Corp sudah bertengger rapi di kepala. Tablet di tangannya menyala dengan peta denah digital. Tak lama kemudian, Ezra turun dari mobil di belakang mobil Cantika. Helmnya bertuliskan Vice PD – LZ Corp, seragam lapangannya lusuh di bagian siku, dan dia berjalan santai dengan ekspresi yang terlalu tenang untuk hari penting seperti ini. “Kamu telat dua menit,” ujar Cantika tanpa menoleh. Padahal dia tahu kalau mereka tiba bersama, sapaan selamat pagi Cantik memang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Ezra melirik jam tangan. “Lalu lintasnya padat, dan aku enggak punya sirine darurat seperti kamu.” Dan Ezra menanggapinya dengan santai. Cantik menatapnya sekilas. “Lain kali naik helikopter.” Di masa sekolah dulu, Ezra sering lupa membawa tas sehingga asisten papa Nicholas sering datang ke sekolah menggunakan helikopter agar cepat sampai mengingat jalanan di Jakarta tidak pernah bersahabat dan helikopter itu mendarat di atas gedung sekolah mereka. Ezra menyeringai. “Kalau kamu yang jadi pilotnya, aku pikir-pikir dulu.” Cantik mendelik tajam kemudian melanjutkan langkah. Tim teknis dan konsultan struktur sudah berkumpul. Suara generator dari tenda logistik bergemuruh rendah, sementara di kejauhan crane tampak bersiap di sisi timur lahan. “Pagi ini kita survei tiga titik krusial: pondasi utama, jalur drainase, dan area relokasi lahan hijau,” ucap Cantik ke tim. “Kita mulai dari sisi timur laut.” Mereka berjalan melintasi jalan berbatu, menuju area yang ditandai dengan bendera kuning. Cantik berhenti di depan garis pondasi yang dibentangkan oleh tali ukur. “Kenapa jalur pondasi geser dua meter dari blueprint awal?” tanyanya ke kepala lapangan. “Permintaan pak Ezra,” jawab teknisi. Cantik menoleh tajam. “Kenapa?” Ezra membuka tablet, memperbesar peta digital. “Karena kamu minta perluasan jalur logistik barat kemarin. Kalau jalur itu jadi, sisi timur akan terlalu dekat dengan saluran buangan. Aku geser sedikit untuk jaga buffer zone, sesuai regulasi K3.” Cantik mengangguk—tapi bukan karena setuju. “Kamu ubah rencana tanpa konfirmasi ke aku?” “Aku kirim revisi semalam. Kamu enggak balas.” “Aku tidur empat jam semalam, Ezra. Bukan berarti kamu bisa override keputusan GZ Corp semaumu.” “Aku enggak override. Aku improvisasi.” “Dan kamu tahu pendapatku soal improvisasi yang tak terkendali.” “Yup. Kamu anggap itu kriminal.” Cantik mendekat, berdiri satu meter dari Ezra, wajahnya datar namun tajam. “Kita bukan lagi dua anak SMA yang sedang lomba memperebutkan kursi ketua OSIS, Ezra. Ini proyek senilai triliunan. Setiap keputusan sekecil dua meter itu berdampak.” Ezra menatapnya balik. “Justru karena itu aku ambil keputusan. Dua meter itu bisa nyelametin struktur kalau musim hujan datang lebih awal. Tapi ya, kalau kamu lebih suka banjir daripada fleksibilitas, silakan lanjutkan.” Pria itu mengangkat bahu. Para teknisi saling pandang. Beberapa mundur pelan-pelan dari jalur pertarungan. Cantik mengecilkan layar tabletnya, menghela napas pelan. “Kalau kamu ambil keputusan tanpa koordinasi sekali lagi, aku akan ajukan pembekuan aksesmu ke dokumen GZ Corp. Dan aku serius.” Ezra tak bicara. Tapi tatapannya cukup untuk mengatakan, “ Fine. Tapi aku enggak akan diam juga.” Beberapa jam berlalu. Mereka melanjutkan ke titik drainase utama di sisi selatan. Sinar matahari mulai terik, debu beterbangan, dan suasana mulai panas—secara harfiah dan emosional. “Kamu lihat jalur drainase ini?” tanya Ezra, menunjuk gundukan tanah yang digali separuh. “Kamu pakai pendekatan vertikal karena lebih hemat ruang. Tapi itu bikin risiko tekanan balik saat musim hujan naik dua puluh persen.” Cantik berjongkok, mengamati kemiringan jalur. “Aku pakai sistem modular dengan bahan beton ringan. Tekanannya sudah diperhitungkan. Ini bukan ide mentah.” “Tapi vendor kamu pakai sistem lama. Aku udah cek. Mereka enggak pakai dual-layer valve.” “Karena dual-layer belum diuji sepenuhnya di lahan seperti ini.” “Justru karena belum diuji, kamu harus fleksibel. Kalau metode lama enggak relevan, kenapa dipertahankan?” Cantik berdiri, menatap Ezra dengan suara menurun tapi berbahaya. “Karena aku tidak mengambil keputusan berdasarkan insting, tapi berdasarkan data.” Ezra balas tatapan itu tanpa gentar. “Dan aku justru berpikir kamu terlalu banyak percaya angka, sampai lupa manusia yang kerja di lapangan enggak seideal simulasi.” Suara berat dari atas bukit mengalihkan perhatian mereka. Rex, berdiri di atas gundukan tanah dengan helm kebesaran, melambaikan tangan. “Berantem lagi? Siang ini aku upload ke TikTok ya! Judulnya ‘Love and Logistics: Episode Dua Kepala Batu’!” Cantik memutar bola mata. “Kenapa dia ada di sini lagi?” Ezra hanya menahan tawa. “Kayanya dia lagi enggak ada kerjaan.” “Dia kayak hama proyek,” desis Cantik, “datang tanpa izin, ngelawak di tempat yang enggak lucu.” Rex turun dari gundukan sambil membawa botol air dan snack bar. “Aku bawa logistik darurat buat kalian berdua,” katanya santai. “Karena jelas, panasnya enggak cuma dari matahari.” Cantik merebut air itu tanpa basa-basi. “Terima kasih, sekarang pulang.” Ezra menahan Rex sebelum pergi. “Tunggu, nanti kamu bareng mobilku.” Cantik menyela, “Dia enggak boleh masuk ke jalur instalasi. Security?” “Santai, Kak. Aku udah foto dari kejauhan. Enggak masuk site line,” balas Rex sambil melenggang. Setelah Rex benar-benar keluar dari area kerja, Ezra menoleh ke Cantik. “Kamu tahu, kamu bisa aja marah sepuasnya. Tapi aku akan tetap di sini.” Cantik tidak merespon. Ia berjalan melewati Ezra, membuka kembali tablet dan menandai beberapa titik lokasi survei. Ezra menatap punggungnya. Tak ada senyum. Tak ada kompromi. Tapi ada ketegasan yang membuatnya kagum. Di antara panas, debu, dan grafik fondasi, dia sadar bahwa ia tidak sedang jatuh cinta lagi pada Cantik. Ia sedang jatuh cinta pada versi Cantik yang lebih keras kepala, lebih cerdas, dan lebih sulit dimenangkan dari sebelumnya. Dan ia tidak sabar menantang itu—hari demi hari. *** Hari sudah sore saat mereka menyelesaikan survey titik terakhir di sisi barat HorizonOne. Cahaya jingga matahari sore menggurat langit seperti sapuan kuas seniman murung. Angin mulai menurunkan suhu, tapi tensi dalam kepala Cantik justru naik perlahan. Ia melangkah ke area parkir dengan tablet di tangan, mengirim voice note ke tim legal untuk pengecekan ulang kontrak vendor. Sampai di sana, dia berhenti mendadak. Mobil hitam GZ Corp yang biasa mengantarnya, terparkir miring. Si sopir, Pak Slamet, berdiri dengan tangan panik menunjuk kap mobil yang mengeluarkan asap tipis. “Maaf banget, Bu Cantika… tadi waktu nunggu di luar pagar, ada suara ‘dug’ terus mesin mati sendiri. Sekarang enggak bisa distarter .…” Cantik menutup mata, menekan pelipisnya. “Jadi sekarang mobilnya gimana?” “Enggak bisa jalan, Bu. Saya sudah coba telepon teknisi, tapi—” “Berapa lama?” potong Cantik cepat. “Paling cepat dua jam sampai teknisinya datang. Itu pun kalau enggak macet dari arah Depok.” Cantik menoleh ke arah jalan tanah yang mengarah ke gerbang utama. Tidak ada taksi. Tidak ada Grab. Sinyal pun hanya tiga bar. Dia menghela napas. “Great. Mobil mogok di tengah ladang proyek. Hampir malam. Sinyal pas-pasan. Rasanya seperti scene pembuka film horor kelas B.” “Kalau ini film horor ….” Suara itu datang dari belakang, santai seperti biasa, “… maka kamu jelas bukan korban pertama. Kamu sutradaranya.” Cantik menoleh tajam. Ezra berdiri di sisi kiri, helm sudah dilepas, rambutnya sedikit acak, dan satu tangan memegang botol air yang sudah kosong setengah. “Jangan bilang kamu nguping,” kata Cantik dingin. “Aku melihat asap mobil dari jauh. Terlalu dramatis untuk diabaikan,” jawab Ezra, mendekat. “Mau tebakan?” “Enggak.” “Mobil kamu mati total dan enggak ada kendaraan GZ Corp lain dalam radius sepuluh kilometer.” Cantik mendengus. “Aku bisa naik truk pengangkut beton kalau perlu.” Ezra menyipitkan mata, “Iya, kalau kamu rela duduk di kursi besi dan disuguhi debu proyek selama dua jam.” Cantik menoleh ke sopirnya. “Ada opsi rental darurat?” Pak Slamet menggeleng pelan. “Sudah coba cari, Bu, tapi semua supir sudah balik ke pool.” Ezra menyandarkan tubuh ke mobil Cantik dan berkata pelan tapi penuh kemenangan halus, “Mobilku masih bagus. AC dingin. Suspensi empuk. Musik jazz. Bahkan ada air lemon di dashboard.” Cantik menyipitkan mata. “Kamu promosi mobilmu atau ngajak aku pindah perusahaan?” Ezra mengangkat tangan seperti bersumpah. “Pure logistik. Aku juga mau balik ke Jakarta malam ini. Kursi penumpang kosong.” Cantik terdiam cukup lama. Rasionalitasnya tahu kalau ini satu-satunya opsi nyaman dan cepat. Tapi egonya—yang sudah ditempa bertahun-tahun sejak usia sembilan—menolak kalah pada Ezra dalam bentuk apa pun. Termasuk soal tumpangan. Tapi langit semakin gelap. Dan laptopnya masih perlu di-charge. “Aku duduk belakang,” katanya akhirnya. Ezra tersenyum lebar. “Tentu, Nyonya Protokol.” *** Perjalanan pulang dimulai dalam diam. Mobil Ezra melaju mulus di jalan aspal setelah keluar dari jalur proyek, dengan radio memutar musik instrumental. Ezra melirik ke kaca spion tengah. “Kamu nyaman di belakang sana? Atau mau pindah ke depan dan debat tentang kecepatan laju kendaraan?” “Jangan menggoda takdir, Ezra,” sahut Cantik tanpa melihat ke depan. “Kalau aku pindah ke depan, mungkin kita enggak sampai Jakarta hidup-hidup.” Ezra tertawa. “Setidaknya dramanya akan viral.” Beberapa menit berlalu dalam senyap. Lalu, dengan nada sedikit lebih rendah, Ezra bertanya,“Capek?” “Kalau kamu sedang mencoba bersikap manusiawi, Ezra, kamu pilih waktu yang enggak tepat.” “Justru waktu yang enggak tepat bikin percakapan jadi jujur,” jawab Ezra ringan. Cantik tak menjawab. Tapi suara tarik napasnya terdengar. Ia mulai menurunkan tablet dari pangkuannya. Ezra bicara lagi, lebih lembut. “Tadi siang… kamu ngelakuin hal yang benar. Tegas, jelas, dan enggak takut bikin vendor gemetar.” “Dan kamu bikin semuanya cair dengan satu kalimat,” sahut Cantik. “Seolah kamu sengaja nunggu aku meledak dulu.” Ezra tersenyum. “Kadang kamu butuh seseorang yang nge-backup kamu dari belakang. Kamu udah jago berdiri di depan.” Cantik menatap keluar jendela. Jalanan mulai dipenuhi lampu kendaraan. Ia tidak bicara cukup lama, hingga akhirnya ia berucap, “Aku masih enggak suka kamu ubah keputusan tanpa koordinasi.” “Noted,” jawab Ezra, pelan. “Tapi aku enggak akan berhenti jadi diriku sendiri juga.” “Aku juga.” Mereka kembali diam. “Mau makan malam dulu enggak? Kayanya macet banget di depan … menurut gmaps.” Ezra menunjuk layar di dashboard. Cantik mengembuskan nafas panjang. “Boleh … aku juga laper.”Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area. Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.”Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan.Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri.Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat
Langit Jakarta bagian selatan mulai memucat ketika dua mobil SUV hitam berhenti di gerbang lokasi utama HorizonOne. Di sekelilingnya, area seluas dua belas hektar itu dipagari seng pelindung yang mulai berkarat di bagian ujung, tanah merah terbentang penuh cekungan dan jejak roda berat.Cantik keluar lebih dulu, body goal—nya dibalut kemeja biru langit, celana panjang hitam dan sepatu boots lapangan. Helm putih bertuliskan Vice PD – GZ Corp sudah bertengger rapi di kepala. Tablet di tangannya menyala dengan peta denah digital.Tak lama kemudian, Ezra turun dari mobil di belakang mobil Cantika. Helmnya bertuliskan Vice PD – LZ Corp, seragam lapangannya lusuh di bagian siku, dan dia berjalan santai dengan ekspresi yang terlalu tenang untuk hari penting seperti ini.“Kamu telat dua menit,” ujar Cantika tanpa menoleh.Padahal dia tahu kalau mereka tiba bersama, sapaan selamat pagi Cantik memang berbeda dengan perempuan kebanyakan.Ezra melirik jam tangan. “Lalu lintasnya padat, dan a
Pagi itu suasana di kantor pusat HorizonOne Project Division—yang menempati satu lantai penuh di Centris Tower—jauh dari kata tenang. Beberapa staf dari dua kubu, GZ Corp dan LZ Corp, tampak sibuk di depan komputer. Tapi sesekali, pandangan mereka mencuri ke arah ruang rapat kaca yang masih kosong—tempat dua Vice PD muda akan kembali duduk satu meja.Bisik-bisik kecil beredar di lorong, bukan karena skandal, tapi karena rasa ingin tahu.Pasalnya Cantika dan Ezra tampak akrab tapi penuh dendam.“Katanya semalam ada makan malam keluarga antara Maverick dan Lazuardy.” “Iya, kakakku kerja di bagian hospitality, katanya keluarga Lazuardy booking ruangan private di restoran mahal.”“Pak Ezra dan bu Cantik duduk berdampingan. Tapi kayaknya bukan yang romantis-romantis banget deh .…”“Eh, tapi mereka debat, katanya. Bahkan pas makan malam keluarga pun tetap beda pendapat.”Tak ada yang tahu pasti bagaimana info itu bisa menyebar, tapi di dunia sekelas mereka, gosip kantor tak butuh
Sore hari di rumah kediaman Maverick terasa seperti satu persiapan besar menuju perang dingin diplomatik.Bukan pernikahan, bukan gala, tapi jamuan makan malam yang melibatkan dua keluarga dengan sejarah panjang—dan lebih banyak tensi personal ketimbang tender bisnis.Di ruang tengah, mommy Jill memeriksa dua box kado buah premium yang akan dibawa, memastikan pita dan kartu ucapan tertempel rapi. Ragnala, yang berusia dua puluh tahun dan masih duduk di semester akhir kuliahnya, sedang mencoba dasi kupu-kupu sambil mengeluh.“Aku enggak ngerti kenapa harus ikut acara kayak gini. Ini kan cuma makan malam, bukan lamaran kak Cantik.”Dari ujung sofa, Rae, si anak tengah yang baru saja lulus S2 di Melbourne, mencibir. “Justru karena belum lamaran makanya kamu harus tampil sopan. Siapa tahu habis makan malam, keluarga Lazuardy ngelamar kak Cantik di depan nasi goreng kambing.”Cantik muncul dari tangga atas, mengenakan gaun hitam polos selutut dan blazer formal abu gelap. Rambutnya dig
Hujan sisa semalam masih menyisakan kabut tipis di area parkir basement Centris Tower pagi itu. Proyek HorizonOne memasuki fase pra-eksekusi dan hari ini seluruh jajaran Vice Project Director muda dijadwalkan untuk survei lokasi pembangunan kawasan smart-industry yang akan menjadi mahakarya gabungan GZ Corp dan LZ Corp.Cantik menuruni tangga basement dengan sepatu hitam berhak tujuh senti meter, mengenakan blazer warna charcoal dan rok span senada. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya setajam agenda meeting yang tak bisa diganggu.Di sisi lain, Ezra menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam—dengan tangan di saku celana abu gelap dan kemeja putih yang lengan panjangnya sudah digulung sampai siku.“Pagi juga, Cleosana Cantika Maverick,” sapa Ezra begitu Cantik mendekat, suaranya santai dan… menyebalkan.Cantik meliriknya datar. “Mana drivernya?”Ezra menunjuk ke arah mobil. “Driver enggak ikut. One car policy. Arahan dari Project Director—biar efisien, katanya. Kita gantian nyetir.”
Sore menjelang malam di rumah utama keluarga Maverick, langit Jakarta mulai bergradasi jingga dan di ruang kerja pribadi Kenzo Maverick—CEO GZ Corp—aroma kopi hitam dan kayu tua berbaur dalam atmosfer yang elegan dan tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat pintu dibuka sedikit keras.Cantik masuk tanpa salam, langsung menutup pintu di belakangnya.Daddy Kenzo mendongak dari balik laptop. “Putri Daddy yang paling cantik, baru satu hari nanganin Horizon One, wajahnya tampak muram gini?”“Don’t play nice, Daddy,” ujar Cantik tajam, menjatuhkan tablet ke meja kerja Kenzo. “Kenapa aku enggak dikasih tahu kalau dia yang jadi Vice Project Director dari LZ Corp?”Daddy Kenzo menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. Tatapannya tidak terkejut karena memang sudah tahu lebih dulu.Beliau tampak tenang, seperti sudah menanti pertanyaan itu datang.“Because I know you’d react like this.”“Exactly!” Cantik membentak pelan. “Ini bukan sekadar proyek