Share

Sudah Cukup

Penulis: Erna Azura
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-22 22:59:24

Pagi itu suasana di kantor pusat HorizonOne Project Division—yang menempati satu lantai penuh di Centris Tower—jauh dari kata tenang.

Beberapa staf dari dua kubu, GZ Corp dan LZ Corp, tampak sibuk di depan komputer. Tapi sesekali, pandangan mereka mencuri ke arah ruang rapat kaca yang masih kosong—tempat dua Vice PD muda akan kembali duduk satu meja.

Bisik-bisik kecil beredar di lorong, bukan karena skandal, tapi karena rasa ingin tahu.

Pasalnya Cantika dan Ezra tampak akrab tapi penuh dendam.

“Katanya semalam ada makan malam keluarga antara Maverick dan Lazuardy.”

“Iya, kakakku kerja di bagian hospitality, katanya keluarga Lazuardy booking ruangan private di restoran mahal.”

“Pak Ezra dan bu Cantik duduk berdampingan. Tapi kayaknya bukan yang romantis-romantis banget deh .…”

“Eh, tapi mereka debat, katanya. Bahkan pas makan malam keluarga pun tetap beda pendapat.”

Tak ada yang tahu pasti bagaimana info itu bisa menyebar, tapi di dunia sekelas mereka, gosip kantor tak butuh banyak saksi. Satu sopir yang ngobrol dengan staf restoran saja bisa menyalakan percikan kecil di ruang obrolan karyawan.

Dan pagi ini, semua menanti apakah dua orang paling keras kepala di proyek ini akan kembali bertarung atau mulai berdamai.

Suara pintu lift terbuka.

Cantik melangkah masuk, tubuh semampainya kali ini mengenakan blazer hitam dan celana panjang abu-abu gelap. Wajahnya datar, sorot matanya fokus, dan langkahnya tak menyisakan celah untuk basa-basi. Laptop di tangan kiri, ponsel di kanan.

Beberapa detik kemudian, Ezra muncul, dengan lengan kemeja birunya sudah tergulung rapi hingga sikut dan kopi panas di tangan.

“Pagi,” sapa Ezra santai kepada beberapa staf yang melintas. “Kalau kalian haus gosip, pastikan juga minum air putih, biar enggak seret saat bisik-bisik.” Ezra sedang menyindir, pasalnya ketika tadi di pantry membuat kopi, dia sempat mendengar beberapa karyawan berkumpul menggosipkan makan malam kemarin.

Beberapa orang tertawa kecil, sebagian cepat-cepat berlalu pura-pura serius. Tapi tak satu pun dari mereka melewatkan fakta bahwa atmosfer di kantor ini berubah sejak dua nama besar duduk dalam satu proyek yang sama.

Cantik tak menoleh. Ia langsung menuju ruang rapat, membuka pintu kaca, dan mulai menyalakan layar proyektor.

“Pagi, Pak Hartanto,” sapa Cantika ketika pria paruh baya itu masuk.

“Pagi… pagi.” Pak Hartanto duduk di kursi ujung meja, merapikan map di depannya. “Rapat mingguan dimulai lima menit lagi,” kata beliau, nada tajam dan efisien, seperti biasa.

Cantika menatap layar. “Kita mulai dari laporan logistik. Minggu ini terjadi keterlambatan pasokan baja ringan. Siapa yang tangani langsung?”

Seorang staf LZ Corp, Kevin, mengangkat tangan gugup. “Saya, Mbak.”

“Saya lihat di laporan kamu, kamu ambil rute distribusi dari jalur selatan, padahal jelas-jelas kita sudah sepakati jalur utara untuk efisiensi waktu tempuh. Kenapa?”

Kevin menoleh ke Ezra, seperti minta perlindungan.

Ezra segera angkat suara. “Saya minta Kevin coba jalur selatan karena ada indikasi perbaikan jalan di utara.”

Cantika menoleh tajam. “Tapi kamu tidak melaporkan perubahan jalur itu ke saya atau ke manajer pengadaan.”

Ezra menarik napas. “Karena saya ambil keputusan saat itu juga. Kalau saya nunggu persetujuan, pasokan bisa makin mundur.”

“Lalu kamu anggap keputusan impulsif itu sebagai inisiatif?” Cantika membalas tenang.

“Kalau hasilnya lebih cepat, ya. Ini bukan soal ego, Cantik. Ini soal kelangsungan proyek.”

“Tapi kita bukan proyek kelas warung, Ezra. Ini struktur organisasi miliaran. Kalau setiap perubahan dilakukan tanpa koordinasi, itu namanya bukan kerja sama. Dan kita akan menjadi sekelompok hewan sirkus.”

Ruang rapat hening. Beberapa staf menunduk, pura-pura sibuk menulis catatan.

Pak Hartanto mengetuk ujung pulpen ke meja, suaranya pelan tapi mengiris keheningan. “Saya setuju dengan poin Mbak Cantika soal koordinasi. Ezra, kamu tahu saya menghargai keputusan cepat di lapangan. Tapi kamu juga tahu—dalam proyek sebesar ini—tidak ada ruang untuk aksi solo. Semua perubahan jalur, teknis, atau supplier, harus ada catatan resmi dan disetujui minimal oleh salah satu VP.

Ezra mengangguk tipis. “Baik, Pak. Next time, saya update dulu sebelum eksekusi.”

Pak Hartanto menatap mereka bergantian, nada suaranya dingin tapi terukur. “Kalian berdua di sini bukan untuk saling membuktikan siapa lebih cepat atau lebih tepat. Kalian di sini untuk memastikan proyek ini berjalan sesuai standar yang kita sepakati. Kalau ada perbedaan strategi, selesaikan di luar forum ini. Di sini, kita bicara hasil dan prosedur.”

Cantika mengangguk kecil. “Baik, Pak.”

Rapat berlanjut dengan pembahasan teknis dan koreksi desain minor. Beberapa ide Ezra disetujui tim, tapi Cantika selalu memberi revisi kecil yang tajam—bukan untuk menjatuhkan, tapi sebagai bentuk kontrol mutu. Sesekali, Pak Hartanto masuk dengan komentar singkat, memastikan diskusi tidak melenceng menjadi debat personal.

Satu jam kemudian, rapat selesai.

Staf mulai keluar satu per satu, beberapa melirik ke arah Ezra dan Cantika, penasaran apakah akan ada “babak kedua”. Pak Hartanto hanya menutup mapnya, menatap keduanya, lalu berkata singkat, “Ingat, kalian ini wakil perusahaan besar. Jangan sampai ruang rapat ini berubah jadi arena adu gengsi.”

Cantik masih menyusun berkas, Ezra masih di depan laptopnya.

“Aku serius soal laporan logistik, by the way,” ujar Ezra, pelan tapi cukup jelas untuk didengar.

“Aku tahu,” jawab Cantik tanpa menatap. “Tapi kamu terlalu terbiasa bekerja dengan insting.”

Ezra memutar kursi sedikit menghadapnya. “Dan kamu terlalu terbiasa membuat semua orang tunduk pada protokol. Dunia nyata enggak selalu patuh sama SOP.”

Cantik menatapnya, dingin tapi tajam. “Maka tugas kita bukan membiarkan dunia menjadi liar, tapi mengatur supaya dunia itu tunduk.”

Ezra terdiam. Tatapan Cantik terlalu kuat untuk dipecahkan oleh debat logika. Namun di balik itu semua, dia menyadari satu hal—Cantika tak pernah sekalipun menyerang pribadinya. Hanya pekerjaannya.

Dan hal tersebut membuat Ezra semakin yakin kalau Cantik masih percaya padanya, setidaknya sebagai rekan kerja.

Setelah hening sempat terbentang usai kalimat terakhir mereka, Cantika menegakan punggungnya, membereskan dokumen, lalu berdiri.

“Ada rapat lanjutan dengan vendor jam dua siang. Jangan telat. Dan tolong jangan improvisasi,” ujarnya datar sambil melangkah pergi.

Ezra menatap pintu yang menutup di belakangnya. Lalu mendesah panjang.

“Terima kasih atas pengingatnya, Nyonya Protokol,” gumamnya.

Cantika melengos tanpa menimpali, namun beberapa saat setelah Cantika masuk ke dalam ruangannya, suara notifikasi grup tim masuk di laptop Ezra.

Cleosana C. Maverick: Checklist hasil rapat dan revisi distribusi bahan sudah saya update di drive. Tolong semua segera konfirmasi.

Ezra membuka file itu, tersenyum kecil.

Dia tahu, satu hari lagi, satu pertempuran lagi.

Tapi selama Cantik masih membalas pesan, masih memperdebatkan ide, masih meluruskan langkahnya maka perang ini belum selesai. Dan dia tidak akan menyerah.

***

Jam menunjuk pukul 13.58 ketika Cantik memasuki ruang rapat eksekutif di lantai 22 Centris Tower, tempat rapat bersama vendor konstruksi dan logistik dijadwalkan berlangsung. Ekspresi wajahnya tampak seperti definisi dari kendali dan presisi.

Beberapa vendor sudah duduk rapi mulai dari manajer perwakilan Triastra Logistics, Borneo Beton, serta pihak audit eksternal yang ditunjuk oleh konsultan proyek.

Semua orang berdiri ketika Cantik masuk. Ia mengangguk cepat tanpa senyum, lalu duduk di kursinya di ujung meja.

Ezra santai saja membiarkan Cantika mendominasi meski posisinya dengan Cantika sama tapi sejak dulu, sejak mereka masih duduk di bangku sekolah, Cantika memang selalu mendominasi dalam kelompok belajar.

Dan Ezra akui, Cantika memang memiliki otak yang encer dan pemikiran yang luar biasa.

“Terima kasih sudah datang tepat waktu,” ucapnya langsung. “Saya ingin kita mulai dari laporan pemenuhan pasokan beton dan keterlambatan tahap satu yang terjadi minggu lalu.”

Suasana langsung terasa tegang. Manajer Borneo Beton-pak Rudy, membuka map, nadanya sudah defensif bahkan sebelum bicara.

“Mohon maaf sebelumnya, Bu Cantika. Tim kami sudah melakukan koordinasi, tapi ada kendala dari pihak logistik yang—“

“Saya sudah baca laporan Bapak,” potong Cantik, tenang tapi tegas. “Yang saya minta sekarang adalah solusi. Karena jika keterlambatan ini berulang, sesuai kontrak, penalti akan diberlakukan.”

Pak Rudy menelan ludah. “Kami usulkan revisi jadwal … penyesuaian volume harian agar tetap bisa tercapai, tanpa harus menambah shift malam yang mahal.”

Cantik menggeleng pelan. “Kami tidak akan kompromi soal efisiensi. Jika Anda tidak bisa memenuhi volume sesuai jadwal, maka kami pertimbangkan vendor pengganti. LZ Corp sudah siapkan dua alternatif.”

Pak Rudy terdiam. Semua orang di ruangan menahan napas.

Dari sisi kiri meja, Ezra yang duduk diam sejak awal hanya mengamati, akhirnya angkat suara. Nadanya datar, hampir tak terdengar mengancam.

“Maaf, boleh saya tambahkan sedikit?”

Cantik menoleh, tapi tak bicara.

Ezra melanjutkan, tenang dan netral. “Kami juga menyadari ada satu isu teknis yang belum tercermin di laporan—yaitu perubahan berat jenis material dari pabrik pemasok baru yang ditunjuk vendor. Itu membuat jumlah muatan per rit berkurang 6%.”

Pak Rudy tampak terkejut. “Benar sekali … tapi saya belum sempat sampaikan ke bu Cantika.”

Ezra mengangguk pelan. “Jadi jika kita sesuaikan hitungan volume dengan toleransi berat jenis tersebut, sebenarnya vendor masih bisa memenuhi target—dengan sedikit penyesuaian jadwal, tanpa penalti.”

Cantik diam sejenak. Matanya menatap Ezra, tajam dan menyelidik.

“Kenapa kamu tahu ini?” tanyanya akhirnya.

Ezra menatap lurus ke depan. “Saya minta anak magang finance lintas-divisi kumpulkan data tiga hari lalu. Mereka belum sempat serahkan laporan ke pihak GZ Corp. Aku juga baru baca semalam.”

Pak Rudy buru-buru mengangguk. “Benar, kami baru dapat laporan lengkapnya tadi pagi.”

Suasana rapat mencair perlahan. Beberapa vendor tampak lega, walau tetap tegang.

Cantik mengetuk ujung pulpennya ke meja. “Baik. Kirim laporan revisi estimasi harian berdasarkan kalkulasi berat jenis, selambat-lambatnya pukul sembilan pagi besok. Masukkan juga data supplier dan justifikasi penyesuaian distribusi.”

Pak Rudy mengangguk cepat. “Siap, Bu Cantika.”

Cantik berdiri. “Kalau tidak ada tambahan, rapat saya tutup. Terima kasih atas waktu dan kejelasannya.”

Satu per satu peserta rapat pamit keluar. Cantik masih berdiri di ujung ruangan, membereskan map dan tablet. Ezra belum bergerak dari tempat duduknya.

Setelah ruangan nyaris kosong, Cantik mendekat ke tempat Ezra duduk.

“Kalau kamu tahu vendor bisa diselamatkan, kenapa enggak bilang dari awal?” tanyanya disertai tatapan kesal.

Ezra berdiri, menatapnya lurus. “Karena kamu pemimpin rapat. Bukan aku.”

Cantik memicingkan mata. “Dan kalau aku langsung jatuhkan mereka?”

Ezra mengangkat bahu ringan. “Berarti aku harus keluarin rencana cadangan. Tapi aku masih lebih percaya sama cara kamu mengatur tekanan. Aku cuma intervensi kalau perlu.”

Cantik menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, “Kamu tetap keras kepala.”

Ezra tersenyum miring. “Dan kamu tetap pengendali.”

Cantik menarik napas, kemudian berbalik. “Besok pagi jangan telat. Kita audit ulang semua vendor jam delapan.”

“Siap, Nyonya Protokol,” gumam Ezra sambil mengambil mapnya.

Cantik berjalan keluar tanpa menoleh.

Tapi kali ini, senyumnya muncul lebih cepat dari langkahnya. Kecil, singkat. Tapi cukup untuk menyadarkan Ezra bahwa ia tidak menyelamatkan rapat itu demi tampil heroik.

Ia menyelamatkan kepercayaan Cantik—meskipun diam-diam.

Di dunia mereka, itu sudah cukup untuk bertahan satu hari lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Ambisi dan Cinta   Semakin Hancur karena Penyesalan

    Keesokan paginya, di saat sinar matahari menyusup lembut dari sela tirai kamar rawat dan aroma antiseptik masih samar memenuhi ruangan—Selena masih terlelap dengan wajah tenang, pipinya sudah tidak sepucat kemarin. Cantika sudah bangun, duduk di kursi samping ranjang pasien. Selama menunggui Selena—dia nyaris tidak bisa tidur dengan lelap. Ketukan pintu terdengar. Seorang dokter masuk bersama dua perawat. Ezra dan Cantika segera berdiri, menyambut dengan tatapan penuh cemas. “Pagi, Pak … Bu,” sapa dokter sambil tersenyum tipis. “Saya sudah lihat hasil pemeriksaan terakhir Selena. Semua tanda vitalnya stabil, hasil tes darah juga normal. Jadi … Selena boleh pulang hari ini. Tinggal dipantau pemulihannya di rumah.” Seakan beban besar runtuh dari bahu, Ezra langsung menunduk, mengembuskan napas lega begitu juga dengan Cantika yang meski tersenyum namun matanya berkaca-kaca. “Jadi … Selena benar-benar sudah boleh pulang, Dok?” suaranya bergetar. Dokter

  • Antara Ambisi dan Cinta   Sendirian

    Selena akhirnya terlelap dengan tenang setelah minum obat, napas kecilnya teratur, sesekali jemarinya bergerak seolah meraih mimpi yang indah. Seketika ruang rawat VVIP itu mendadak hening, hanya terdengar suara mesin pendingin ruangan dan detak jam dinding. Ezra yang duduk di kursi samping ranjang Selena, memandang putri kecilnya lama lalu bangkit. “Aku ke kamar mandi sebentar, mau mandi sama ganti baju,” ujarnya singkat. Cantika mengangguk lantas bangkit dari sofa, tanpa menatap Ezra—dia duduk menggantikan suaminya di kursi samping ranjang. Tak lama kemudian terdengar suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi. Sunyi menyelimuti kembali ruangan itu. Cantika menoleh sekilas ke arah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, ponsel Ezra tergeletak begitu saja—layarnya masih menyala samar. Refleks Cantika bangkit dan berjalan ke sana, dia melihat notifikasi yang baru masuk di ponsel Ezra. Seketika dada Cantika mengeras. Nama itu. Elara Yunita. Bibirnya mene

  • Antara Ambisi dan Cinta   Arah yang Nyaris Hilang

    Gedung LZ Corp berdiri megah di bawah langit pagi yang mendung. Ezra melangkah masuk dengan langkah tergesa, dasi miring sedikit karena tadi pagi ia lebih sibuk memastikan Cantika mau makan ketimbang merapikan dirinya sendiri. Beberapa staf menyapanya dengan senyum sopan, tapi Ezra hanya mengangguk cepat. “Pagi Pak,” sapa Andi sang sekretaris yang beberapa hari terakhir sibuk mengerjakan sebagian tugas Ezra. “Pagi.” Ezra menyahut sambil melangkah cepat ke ruangannya. Di sana, tumpukan dokumen dan MacBook sudah menunggu. Andi yang mengikuti di belakang membuka iPadnya. “Pak, hari ini ada dua meeting besar yang harus Bapak hadiri … satu dengan investor asing via Zoom, satu lagi dengan tim proyek pembangunan resort di Lombok.” “Oke ….” Ezra duduk di kursi kebesarannya sambil membaca data di layar MacBook. “Pak Ezra, ini proposal revisi dari tim marketing. Harus dicek hari ini,” ujar Andi, dia meletakkan map biru di atas meja. “Aku cek setelah meeting,” jawab Ezra

  • Antara Ambisi dan Cinta   Menghancurkan Hati Cantika

    Langkah Ezra terasa berat ketika ia meninggalkan ruang rawat VVIP. Sepanjang koridor, kepalanya penuh gema suara Cantika tadi. “Wajahmu kusut, matamu merah. Kalau kamu sakit, siapa yang mau bantuin aku jagain Selena?” Nada Cantika memang datar, dingin, bahkan ketus. Tapi Ezra tahu di balik kalimat itu terselip perhatian yang tulus. Setelah menyalakan mobil, ia duduk lama di parkiran, menatap setir tanpa menyalakan mesin. “Aku beneran pulang? Apa ini langkahnya Cantika buat menjauhkan aku?” gumamnya lirih. Namun akhirnya ia menekan tombol engine, meninggalkan rumah sakit menuju rumah yang seharusnya terasa hangat tapi kini dingin menusuk. Sesampainya di rumah, Ezra langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras, tapi bukannya menyegarkan, justru terasa seperti menelanjangi hatinya yang penuh luka. Di cermin berembun, ia melihat bayangan dirinya sendiri—mata cekung, rahang mengeras. “Cantika masih peduli … tapi aku? Aku malah—” Suara notifika

  • Antara Ambisi dan Cinta   Demi Anak

    Ruangan rawat VVIP itu kembali hening setelah dokter meninggalkan mereka dengan kabar kecil yang melegakan. Selena sudah mulai merespons lebih baik, meski tetap harus diawasi ketat. Pandangan Cantika masih terpusat pada wajah mungil sang putri. Matanya masih sembab, tetapi setiap gerakan tangannya penuh kelembutan—membetulkan selimut, mengusap kening, lalu mengecup jemari kecil Selena. Ezra memperhatikannya dari sofa. Hatinya berdesir aneh. Semua yang ia saksikan terasa asing—Cantika yang selama ini keras kepala, tiba-tiba jadi begitu teduh. Tetapi keteduhan itu seperti lapisan tipis di atas samudra yang bergejolak. Ia tahu, di balik sikap tenang itu, ada luka dalam yang masih berdarah. “Ezra.” Suara itu membuat Ezra menoleh cepat. Cantika tidak sedang menatapnya, ia tetap menunduk pada Selena, tapi nada bicaranya jelas ditujukan padanya. “Kamu pulang aja sebentar. Mandi, ganti baju, istirahat. Aku di sini jagain Selena.” Ucapannya tegas, singkat, dan tanpa nada mani

  • Antara Ambisi dan Cinta   Harus Memilih

    “Nan, saya titip Nayaka … mungkin malam ini saya akan menginap di rumah sakit gantian sama papinya.” Cantika berpesan ketika masuk ke dalam kamar si kembar. “Baik Bu … yang sabar dan kuat ya Bu, Selena sudah tertangani dengan baik … sebentar lagi juga pulih,” kata nannynya Selena menguatkan. Cantika tersenyum lembut tapi matanya sembab. Dia menggendong Nayaka yang masih terlelap dan belum mandi, mengecupnya dalam lalu menyimpannya kembali ke box bayi. Setelah itu Cantika keluar dan turun ke lantai satu. “Pagi Bu … sarapan sudah siap,” kata bu Ratri dari bawah tangga. “Makasih Bu ….” Cantik duduk di kursi meja makan, dia harus sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. “Bu, ini saya buatkan teh herbal untuk Ibu.” Bu Ratri meletakan cangkir mug dekat Cantika. “Saya juga membuat untuk bapak, ada di tumbler sama sarapan pagi untuk bapak,” kata Bu Ratri sembari meletakan satu tas berisi kotak makanan. Cantika menatap tas itu sebentar kemudian menatap bu Ratr

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status