Rian Pratama berdiri di sudut studio musik Kemang, jari-jarinya meraba mixer canggih yang berkilau di bawah lampu neon biru. Di luar, Jakarta berdenyut dalam ritme kacau—klakson mobil bertabrakan dengan teriakan tukang sate, aroma asap knalpot bercampur kopi tubruk dari warung sebelah. Studio ini adalah bentengnya, tempat ia menyusun kembali puing kariernya setelah skandal plagiarisme dua tahun lalu. Tapi pagi ini, benteng itu terasa goyah, seperti kaca yang retak di ujung nada.
Pesan Vita dari malam sebelumnya, setelah panggilan Budi ke Naya, masih menghantui: Lo pikir Naya cuma penulis lagu biasa? Tanya dia soal ayahnya, Rian. Atau aku yang kasih tahu dunia. Kata-kata itu seperti belati, dan nama Naya di dalamnya membuat Rian gelisah. Apa hubungan Vita dengan Naya, dan kenapa Budi Santoso, investor misterius, tiba-tiba jadi pusat badai? Rian menyeruput kopi hitam, pahitnya menyengat lidah. Demo Nada di Tengah Hujan milik Naya diputar di latar, melodi melankolisnya seperti cermin luka yang ia coba kubur—skandal yang menghancurkan namanya, tuduhan Vita yang tak pernah terbukti. Naya seharusnya datang jam 10 untuk latihan, tapi sudah lewat tiga puluh menit, dan ponselnya tak menjawab. “Kenapa gue peduli?” gumam Rian pada diri sendiri, suaranya tenggelam dalam gemuruh AC studio. Matanya melayang ke foto Naya di meja, diambil saat latihan di Senayan. Matanya—cokelat tua, penuh luka—seperti memanggil, dan Rian benci perasaan asing yang mendera dadanya. “Dita, Naya mana?” tanya Rian saat asistennya masuk, membawa tumpukan kabel dan aroma roti bakar dari sarapan. Dita mengangkat bahu, rambut pendeknya bergoyang. “Nggak tahu, Bos. Tadi malam dia bilang ada urusan keluarga. Lo coba telepon lagi?” Rian mengangguk, tapi jari-jarinya ragu di atas ponsel. “Ada apa sama dia? Kemarin dia marah gara-gara dokumen Budi Santoso itu,” katanya, nadanya rendah, mencoba menyembunyikan kekhawatiran. Dita menatapnya, alis terangkat. “Budi Santoso? Investor konser? Dia orang besar, Bos. Aku dengar dia juga dulu danain proyek Vita. Mungkin Naya kenal dia dari situ?” Kata-kata Dita seperti petir. Vita dan Budi? Rian ingat dokumen di mejanya, nama Budi di kontrak lama, tapi ia tak pernah curiga mereka terhubung. “Vita kenal Budi sejak kapan?” tanyanya, suaranya tegang. “Dua tahun lalu, pas skandal lo,” jawab Dita, sibuk mengatur kabel. “Katanya Budi bayarin promo lagu Vita, tapi nggak pernah muncul di media. Lo nggak tahu?” Rian menegang, pikirannya berputar. Skandal itu—lagu yang Vita klaim, headline kejam—merusak kariernya, dan sekarang Budi terlibat? Ia ingin menyelidiki, tapi pintu studio berderit. Naya masuk, wajahnya pucat, rambut tergerai kusut, jaket jeans basah oleh hujan. Matanya menyipit penuh curiga saat melihat Rian. “Lo terlambat,” kata Rian, nadanya datar untuk sembunyikan debar jantungnya. “Ada apa?” Naya meletakkan tas selempang di kursi, tangannya gemetar membuka buku catatan. “Kita lanjut latihan,” katanya dingin, tapi getar suaranya seperti senar piano yang terlalu kencang. “Aku di sini nggak buat ngobrol.” “Naya, lo nggak kelihatan baik-baik aja,” kata Rian, melangkah ke piano elektrik, jari-jarinya menyentuh tuts. “Ceritain. Apa hubungannya sama Budi Santoso?” Naya membeku, matanya menyala penuh tuduhan. “Kenapa lo tanya dia?” sambarnya, suaranya tajam. “Lo tahu siapa dia, kan? Dia ayahku, Rian. Dan tadi malam dia telepon, bilang aku dalam bahaya… gara-gara lo.” Rian merasa seperti dipukul, napasnya tersendak. Budi Santoso ayah Naya? “Naya, aku cuma tahu dia investor konser,” katanya, nadanya mendesak. “Aku ketemu dia sekali, urusan bisnis. Aku nggak tahu dia ayah lo!” “Jangan bohong!” bentak Naya, air mata menggenang. “Dokumen itu di meja lo! Lo kerja sama dia, kan? Apa lo juga bagian dari rencana Vita?” Suaranya pecah, seperti nada yang patah, mengingatkan Rian pada trauma Naya soal ayahnya. Rian menghela napas, tangannya terulur ingin menenangkan, tapi Naya mundur. “Naya, aku janji, aku nggak sembunyiin apa-apa. Vita cuma mau bikin kita bertengkar. Kita cari tahu bareng apa maksud Budi.” “Percaya sama lo?” Naya tertawa pahit, menggeleng. “Setelah Vita muncul di studio kemarin ? Setelah lo sembunyiin dokumen itu ? Aku nggak bisa, Rian.” Ia mengemasi buku catatannya, langkahnya cepat ke pintu. “Naya, tunggu!” Rian mengejar, tapi pintu studio tertutup keras. Hujan di luar mengguyur trotoar, suara gemericik bercampur klakson. Rian berdiri di koridor, napasnya berat, perasaan tak berdaya menyelimuti. Apa yang Vita tahu soal Naya? Dan bagaimana Budi terlibat? ----- Malam itu, di kafe kecil Jakarta Selatan, aroma kopi tubruk dan roti bakar mengisi udara. Rian duduk sendirian, mencoba hubungi Naya, tapi ponselnya mati. Sepasang kekasih di meja sebelah tertawa, mengingatkannya pada masa sebelum Vita—saat ia masih percaya cinta. Ponselnya bergetar—pesan dari nomor tak dikenal: Rian, ini Budi Santoso. Ketemu aku di Monas, jam 8 malam. Kita bicara soal Naya. Dia dalam bahaya, dan lo tahu kenapa. Rian menatap pesan itu, jantungan berdegup kencang. Tiba-tiba, pesan Vita masuk: Lo pikir Budi akan selamatin lo? Aku punya bukti yang akan hancurkan Naya. Apa bukti Vita, dan bagaimana Rian bisa lindungi Naya sebelum terlambat?Rian Pratama berdiri di tengah studio Kemang, tangannya menyentuh meja mixer yang dingin, aroma plastik panas dari kabel yang kelebihan beban menyengat hidungnya. Lampu neon di plafon berkedip pelan, memantul di dinding kedap suara yang berlapis busa abu-abu, menciptakan bayang-bayang seperti rahasia yang merayap di sudut-sudut ruangan. Di luar, Jakarta malam berdenyut—suara klakson ojek daring dan aroma minyak goreng dari warung pecel lele di gang sempit menyusup lewat ventilasi. Udara masih lembap dari hujan sore, membawa bau tanah basah yang bercampur wangi asap knalpot dari trotoar. Jantung Rian berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan irama, saat ia menatap ponselnya. WA dari Naya tadi pagi (Rian, aku temuin kaset dari Mama. Kita bicara sekarang) terasa seperti nada yang tak selaras. Kaset itu—Lagu ini punya Mama, Nay. Budi ambil tanpa izin—dan pengakuan Budi di kafe (Dana gelap, Vita tahu terlalu banyak) membuat kepalanya pusing, seperti papan kunci piano yang retak. Ap
Naya Putri duduk di depan piano tua di apartemen Tebet, jari-jarinya menyentuh tuts usang yang dingin seperti batu. Cahaya senja menyelinap lewat jendela berdebu, memantul di permukaan kayu piano yang penuh goresan, menciptakan bayang-bayang seperti luka lama di hatinya. Di luar, Jakarta mulai meredup—suara adzan Magrib bergema dari masjid ujung gang, bercampur deru motor dan aroma asap bakpao dari pedagang keliling yang lewat di trotoar. Hujan pagi tadi meninggalkan udara lembap, membuat bau kayu tua di apartemen bercampur wangi tanah basah yang menyusup lewat ventilasi. Naya mencoba memainkan Nada di Tengah Hujan, lagu yang ia ciptakan bersama Rian di studio Kemang, tapi nadanya patah, seperti senar yang kehilangan jiwa. Setiap tuts terasa berat, mengingatkannya pada rekaman Vita tadi malam—suara Budi: Rian nggak boleh tahu soal Naya—dan pesan Budi: Aku tahu lo ketemu Rian. Jauhi dia, atau aku batalkan bantuan operasi. Jantungnya berdegup kencang, seperti metronom yang lari dari i
Rian Pratama duduk di sudut kafe kecil di Jakarta Selatan, meja kayu tua berderit saat ia menyandarkan lengan. Aroma asap arang dari warung sate kambing di seberang jalan menyusup lewat jendela terbuka, bercampur bau bensin dari motor yang menderu di gang sempit. Lampu neon kafe berkedip pelan, bayang-bayang menari di dinding bata yang retak, seperti rahasia yang menolak disembunyikan. Malam Jakarta terasa seperti lagu yang tak selesai—berisik, basah, penuh nada-nada sumbang. Ponsel Rian tergeletak di meja, layar menyala menampilkan pesan WA dari Naya: Rian, aku baca surat Mama. Apa yang lo tahu soal lagu aku? Ketemu di studio besok.. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan ritme. Surat ibu Naya (Budi, kenapa kau libatkan lagu Naya?, dan video editan Vita (Naya akui lagu bukan miliknya, mengguncangnya. Apa yang Budi sembunyikan? Dan kenapa Vita terus menekan Naya?Rian meneguk kopi hitam, pahitnya menyengat lidah seperti kebenaran yang ia hindari. Dua tahun lalu,
Naya Putri bersandar pada dinding lorong RS Cikini, ubin dingin menyerap panas tubuhnya yang sudah lama terasa kosong. Suara monitor jantung dari ruang ICU berdetak pelan, seperti metronom tua yang kehilangan irama, setiap bunyi seperti jarum menusuk dadanya. Cahaya neon di atas berkedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di lantai basah, bercampur aroma keringat pasien dan embun hujan yang menempel di jendela bocor. Di luar, Jakarta malam bergemuruh—siren ambulans memecah udara, klakson motor berderit di jalan raya, dan teriakan pedagang martabak manis di trotoar menggema samar, membawa Naya kembali ke Tebet yang selalu basah setelah hujan. Jaket jeansnya terasa berat, menyerap kelembapan udara, seperti beban hidupnya yang kian menumpuk. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Naya nggak boleh tahu soal proyek itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam retak, setiap kata seperti pisau yang mengiris hatinya. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti tali ya
Rian Pratama duduk di bangku logam di luar ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung berdetak pelan, seperti irama lagu yang tak selesai. Di luar, Jakarta pagi itu masih lembap, aroma tanah basah bercampur dengung AC tua dan keringat pasien di lorong. Klakson motor dan teriakan pedagang bakpao menggema, tapi di sini, waktu terasa beku. Naya mengiirim WA di grup tim konser kemarin: Mama pingsan, aku di RS dan Dita bilang Maya nemuin ibu Naya pingsan di apartemen. Rekaman Vita—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—mengguncangnya, dan pertemuan dengan Budi di Monas bikin curiga. Budi bilang, Vita tahu terlalu banyak, tapi apa? Bayang Naya di lorong RS—matanya penuh luka tapi kuat—membuat dadanya sesak.“Dita, apa kabar Naya?” tanya Rian ke ponsel, suaranya rendah. “Ada WA baru di grup?”“Bos, Naya WA lagi tadi pagi, bilang ibunya stabil tapi butuh operasi,” jawab Dita. “Dia nggak banyak ngomong, kayaknya stres soal tagihan.” Rian menutup telepon, tangannya mengepal di saku j
Naya Putri duduk di kursi plastik di ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung dari balik pintu kaca berdetak pelan, seperti metronom yang menghitung sisa waktu hidup ibunya. Di luar, Jakarta terbangun—adzan subuh bergema dari masjid terdekat, klakson motor dan teriakan pedagang bubur ayam memecah fajar, tapi di sini, udara terasa beku, aroma desinfektan bercampur dengung pelan AC yang tua. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam rusak, setiap kata seperti jarum menusuk. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti jerat, dan foto Naya-Rian di studio membuatnya gemetar. Apa rahasia yang hubungkan ayahnya, Vita, dan Rian? Ingatan ibunya pingsan di apartemen kemarin, saat Maya datang bawa obat rutin seperti biasa, menambah beban, seperti gunung yang tak bisa ia singkirkan.Naya memegang tangan Bu Ratna, dingin dan rapuh seperti kertas tua, jari-jarinya gemetar. “Ma, aku janji, aku bakal cari ca