LOGINNaya Putri berdiri di tengah panggung latihan Senayan, suaranya gemetar saat menyanyikan Nada di Tengah Hujan, lagu yang ia tulis untuk konser, tapi setiap kata terasa seperti menggali luka yang ditinggalkan ayahnya sepuluh tahun lalu. Lampu sorot menyilaukan, membuatnya merasa telanjang di tengah auditorium kosong, jantungnya berdegup kencang seperti drum yang kehilangan ritme. Aroma cat panggung yang segar bercampur suara teknisi yang mengatur kabel di belakang, mengingatkannya pada Jakarta yang tak pernah diam—tapi di sini, di bawah sorotan lampu, ia merasa sendirian, terjebak antara mimpi dan ketakutan.
Panggilan Vita malam tadi masih bergema: Lo nggak tahu siapa Rian sebenarnya. Kata-kata itu seperti belati, memperdalam keraguan Naya, tapi tagihan rumah sakit ibunya yang menumpuk memaksa ia bertahan di panggung ini. Rian berdiri di sisi panggung, matanya menyelami Naya, seperti melihat jiwa yang terluka. "Rasakan liriknya, Naya," katanya, suaranya lembut tapi tegas. "Bukan cuma nyanyi—ceritain luka lo. Lagu ini punya jiwa karena lo." Naya mengangguk, menarik napas dalam, tapi suaranya pecah di bait pertama. Bayangan ayahnya muncul di pikirannya—Budi Santoso, pria yang dulu mengajarinya piano dengan tawa hangat, lalu menutup pintu apartemen tanpa pamit, meninggalkan ibunya menangis di dapur. Setiap nada yang ia nyanyikan terasa seperti membuka luka itu kembali, seperti darah yang mengalir dari hati. Auditorium ini, dengan kursi kosong dan aroma cat panggung yang baru, terasa seperti mimpi buruk. "Aku nggak bisa, Rian," katanya, suaranya serak, wajahnya memanas karena malu. Ia menunduk, lampu sorot membakar kulitnya, dan suara gemerisik kabel dari teknisi di belakang terasa seperti ejekan. "Naya, mic lo oke?" tanya seorang teknisi dari bawah panggung, suaranya kasar, memecah ketegangan. Pria itu, dengan kaus lusuh dan headset di leher, mengatur tripod lampu dengan gerakan cepat. "Oke," jawab Naya, tapi suaranya gemetar, pikirannya masih penuh bayang ayahnya. Ia menarik napas lagi, menutup mata, dan membayangkan ibunya di ranjang rumah sakit, wajah pucat dengan uban menempel di kening. Lagu ini untuknya, untuk harapan mereka. Ia mulai lagi, membiarkan luka mengalir—gambar ayahnya yang pergi, tangis ibunya, dan ketakutan bahwa Rian, dengan sorot mata yang terlalu tulus, mungkin menyimpan rahasia seperti Vita bilang. Nadanya pecah, penuh emosi, hingga tim produksi di bawah panggung terdiam. Beberapa berbisik, "Ini bakal jadi hit." Rian tersenyum kecil, langka dan tulus. "Itu lo, Naya. Itu lagunya yang sebenarnya." Naya turun dari panggung, keringat menempel di keningnya, jantungnya masih berdegup kencang. Ia duduk di sudut ruang latihan, di antara tumpukan kabel dan aroma debu bercampur cat, mengingatkannya pada studio kecilnya di Tebet. Saat membereskan partitur, ia melihat tas Rian yang terbuka di kursi sebelah. Sebuah map cokelat tua mencuat, dan saat ia menariknya, nama Budi Santoso tercetak tebal di sampul, dengan catatan tentang "proyek musik" dan "kerahasiaan." Jantungnya seperti dihantam palu. Tapi yang membuatnya membeku adalah foto kecil yang terselip di antara kertas—ayahnya, lebih muda, berdiri di samping pria lain yang samar, di depan studio tua. "Ayahku?" gumamnya, tangannya gemetar, ingatan pengkhianatan Budi Santoso membanjiri seperti air bah. "Rian, ini apa?" tanyanya, suaranya tajam saat Rian mendekat dari sisi panggung. Ia mengacungkan map dan foto itu, matanya penuh kecurigaan. "Lo kenal ayahku? Budi Santoso? Apa hubungannya ini sama lo dan Vita?" Suaranya naik, hampir pecah, seperti nada yang keluar dari akor yang salah. Rian menegang, wajahnya pucat seperti kertas di tangan Naya. "Naya, itu… aku nggak tahu pasti," jawabnya, suaranya lemah, seperti orang yang ketahuan. Ia melangkah mendekat, tangannya terulur ingin mengambil map. "Aku cuma ketemu dia sekali, urusan bisnis lama. Aku nggak tahu itu ayah lo!" "Jangan bohong!" bentak Naya, air mata mengintip. "Semua orang sembunyiin sesuatu—Vita, lo, sekarang ayahku. Aku nggak bisa lanjut kalau lo nggak jujur!" Ia menepis tangannya, matanya penuh luka, seperti melihat pengkhianatan baru. Foto itu terasa seperti bukti bahwa masa lalu ayahnya dan rahasia Rian terhubung, tapi ia tak tahu caranya. Rian menghela napas, tangannya kembali meraih bahu Naya, dan kali ini ia biarkan, meski tubuhnya kaku. "Naya, aku janji, aku cari tahu apa yang terjadi," katanya, matanya penuh penyesalan, tapi juga kehangatan yang membuat Naya goyah. "Konser ini penting buat kita berdua. Lagu lo… itu bisa ubah hidup kita. Aku nggak akan nyakitin lo." Naya menggeleng, tapi diam, biarkan Rian pegang bahunya sejenak. Chemistry itu terasa di sela-sela keraguan, seperti nada yang hampir pas tapi tergelincir. Ia menatap foto itu lagi, jari-jarinya mengelus wajah ayahnya, dan perutnya mual. Apa hubungan Rian dengan ayahnya, dan kenapa Vita tahu semua ini? Malam itu, di apartemen Tebet, Bu Ratna marah saat Naya cerita soal dokumen dan foto. "Jauhi orang kayak itu, Nay! Ayahmu, Rian, mereka sama!" katanya, suaranya gemetar, wajahnya pucat di bawah lampu redup. "Ma, aku butuh konser ini," balas Naya, memeluk ibunya. "Aku nggak akan kayak ayah." Bu Ratna menggeleng. "Aku cuma takut lo hancur, Sayang." Kembali ke kamarnya, Naya menatap foto dari map itu, wajah ayahnya yang tersenyum tapi penuh rahasia. Ia menyimpannya di laci, tapi tangannya masih gemetar. Jakarta di luar jendela bergerak seperti biasa—lampu warung berkedip, suara motor dan adzan isya bercampur—tapi hidupnya terasa seperti lagu yang akan patah. Ponselnya berdering tiba-tiba—nomor Budi Santoso. Naya ragu, jarinya melayang di atas layar, tapi akhirnya mengangkat. "Naya, kita perlu bicara," kata suara rendah di ujung sana, suara ayahnya yang kini seperti hantu. Budi melanjutkan: "Jauhi Rian, Naya. Dia tahu rahasia yang bisa hancurkan ibumu. Jangan ulangi kesalahan ayah." Apa rahasia yang Budi maksud, dan bagaimana Naya bisa mempercayainya setelah pengkhianatan sepuluh tahun lalu?5 Oktober 2032 Monas, pukul 17:30Langit Jakarta sore itu biru lembut, awan tipis bergerak pelan seperti cat air yang baru disapu. Tidak ada panggung megah. Hanya rumput hijau luas yang sama, basah karena hujan kecil tadi siang, dan kini menguap menjadi uap hangat yang membawa bau tanah dan kenangan.Lima tahun sudah lewat sejak malam Baby Rain debut di tempat ini.Sekarang, di tengah lapangan yang sama, berdiri lingkaran kecil dari kayu jati tua, diameter sepuluh meter. Di atasnya hanya ada satu mikrofon berdiri, satu gitar akustik, dan satu stroller kosong yang sudah besar, warna putih pudar karena sering terkena matahari dan hujan.Di depan lingkaran itu, satu juta orang duduk di rumput. Tidak ada tiket. Tidak ada sponsor. Hanya undangan terbuka di Instagram Tiga Suara: “Kami pulang ke rumah. Kalau kalian mau ikut, datang aja.”Dan mereka datang. Dari Sabang sampai Merauke. Ada yang bawa anak kecil, ada yang bawa orang tua, ada yang bawa spanduk tulis tangan:
Angka di layar LED raksasa terus berlari liar: 500.000.000 → 503.217.890 → 507.892.111 Setiap detik lahir jutaan views baru, seperti detak jantung planet yang baru sadar ada bayi bernama Baby Rain.Pukul 00:17, 6 Oktober 2027. Udara malam Jakarta dingin menusuk tulang, tapi rumput masih hangat karena ratusan ribu kaki yang baru saja menginjaknya berjam-jam. Bau tanah basah, keringat, gorengan sisa, tumpahan kopi instan, dan susu bayi yang menetes ke selimut Baby Rain bercampur jadi satu aroma khas: aroma kemenangan.Rian menatap layar, napasnya membentuk kabut kecil di udara. Kaus hitamnya sudah menempel kulit seperti kulit kedua, rambut acak-acakan menempel dahi, jari kanannya berdarah sedikit karena senar E putus tadi, tapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya tersenyum lelet, seperti orang yang baru sadar dia menang lotre dunia.Naya mendorong stroller perlahan mendekat. Roda kecilnya berderit pelan di rumput becek, meninggalkan jejak ban tipis yang langsung tert
Langit Jakarta masih menetes-netes sisa gerimis ketika jam di drone TMZ berkedip tepat pukul 22:45, 5 Oktober 2027. Huruf-huruf merah darah menyala terang di layar LED raksasa pinggir Monas: DISNEY TAWAR 2 MILIAR UNTUK LARA KE BROADWAY. Angka 2.000.000.000 itu seperti palu godam yang menghantam dada 500 ribu orang sekaligus. Pantulannya merah membara di genangan air rumput, di bola mata yang membelalak, di layar ponsel yang terangkat serentak. Hujan baru saja reda, tapi udara malam masih berat—lembab, lengket, bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan yang sudah dingin, asap knalpot motor polisi yang baru saja meninggalkan barikade. Di tengah lapangan yang licin, Rian berdiri sendirian bagai tiang listrik yang kehabisan arus. Kaus hitam polosnya basah kuyup menempel di tubuh, gitar akustik Takamine tua terkulai di pangkuan, senar E rendah masih bergetar pelan seolah menolak diam. Di depannya, stroller Baby Rain berwarna abu-abu tua berlumur lumpur. Naya duduk bersil
Drone TMZ menukik tajam pukul 21:15, 5 Oktober 2027. Kamera HD 200 mm zoom ke layar LED raksasa di pinggir Monas, headline merah darah menyala di tengah hujan yang mulai reda, huruf kapital besar seperti teriakan di malam Jakarta yang basah. NETFLIX TAWAR 1 MILIAR KEMBALI KE VITA. Angka 1.000.000.000 itu berkedip seperti petir kecil, terpantul di genangan air rumput, di mata 500.000 orang yang mulai terdiam. Bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan dingin dari pedagang pinggir, asap knalpot motor polisi yang baru mundur, kopi instan Kapal Api dari termos Rian yang sudah dingin. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup menempel kulit, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi pelan seperti napas terakhir lagu. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong pasca-lahir, napas tersengal seperti nada minor yang menunggu resolusi. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah,
Bab 65: Budi Bicara – Netflix 1 Miliar(1.800 kata tepat – naratif penuh tanpa tanda ":" )Budi pegang mikrofon dadakan pukul 20:00, 5 Oktober 2027. Suara seraknya menggema di rumput Monas, lebih keras dari 500.000 orang yang mulai diam, lebih dalam dari hujan yang masih turun pelan. Rambut putih pendek basah, mata dalam seperti sumur tua, jaket kulit usang basah kuyup. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah, mata hitam pekat terbuka lebar menatap Budi. Lara 15 tahun di samping, kaus Tiga Suara basah, glitter jatuh ke rumput seperti hujan bintang tenggelam. Ratna tanpa walker, kaki kanan kuat, mata tajam. Maya rekam di ponsel, gitar kayu tua di pangkuan, jari gemetar di layar. Polisi mundur total, drone TMZ melayang di atas.Budi berdiri 5 meter
Vita jalan pelan di rumput Monas pukul 18:45, 5 Oktober 2027. Rambut panjang hitam basah hujan, mata tajam seperti pisau yang baru diasah, kaus putih polos basah kuyup menempel kulit. Bau tanah basah bercampur keringat 500.000 orang, gorengan dari pedagang pinggir, hujan deras yang baru turun. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah, mata hitam pekat terbuka lebar menatap Vita. Lara 15 tahun di samping, kaus Tiga Suara basah, glitter jatuh ke rumput seperti hujan bintang tenggelam. Ratna tanpa walker, kaki kanan kuat, mata tajam. Maya rekam di ponsel, gitar kayu tua di pangkuan, jari gemetar di layar. Polisi mundur total, drone TMZ melayang di atas.Rian pikir dalam hati. 2015. Vita ambil lagu Budi. Aku blacklist. Sekarang Baby Rain lahir. Vita ke







