Share

Setelah Keputusan (2)

“Begini, satu hal yang perlu kalian tahu. Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf kami, karena kami ternyata mahram. Sudah itu saja.” Airin meninggalkan kantin yang mendadak sepi. Martha membulatkan matanya kaget.

 

~ ~ ~

 

 “Tadi siang Bunda Airin ke rumah,” ucap Hera. Aiman berhenti mengunyah makan malamnya.

 

“Ibu ga papa?” tanya Aiman. Hera menoleh, lalu tersenyum tipis.

 

“Nggak, alhamdulillah. Mbak Vina ke sini Cuma mau cerita saja.” Mata Hera menerawang sambil terus mengaduk-aduk nasi di piringnya.

 

“Tapi apa, Bu?” tanya Aiman seolah mampu membaca kegelisahan sang ibu. Hera menghela nafas berat.

 

“Mbak Vina minta ibu rujuk sama mas Agus,” jawab Hera. Aiman tersedak.

 

“Lalu?” tanya Aiman dengan wajah penasaran.

 

Hatinya mendadak dipenuhi perasaan tidak nyaman. Sekelebat pikiran negatif memenuhi otaknya. Meski ia tak begitu mengenal istri pertama ayahnya, ia sedikit banyak paham bahwa perasaan wanita tidak menginginkan sedikit pun untuk diduakan.

 

“Ibu masih harus berpikir. Mas Agus, ayahmu, belum pernah mengucapkan talak ke ibu. Tapi untuk kembali, ibu masih belum siap. Kesendirian ibu selama ini, memang atas dasar keinginan ibu. Ibu menjauh karna ibu tidak ingin tersakiti. Tapi, mendengar cerita Mbak Vina, ibu benar-benar merasa bersalah.” Mata Hera menerawang.

 

“Memang, bunda Airin cerita apa sama ibu?” tanya Aiman.

 

Hera menceritakan semua. Tentang wafatnya sang ibu mertua, pencarian Agus, hingga lahirnya Airin. Aiman termangu membayangkan besarnya cinta sang ayah kepada ibunya.

 

“Kamu gimana, nak, kalau ibu rujuk sama ayahmu?” tanya Hera meminta pendapatnya. Aiman menoleh. Ia menghela nafasnya.

 

“Aiman belum siap, Bu, sebenarnya. Perasaan yang sudah tumbuh di dada Aiman buat Airin harus bisa Aiman kuasai. Tapi jika ibu akan bahagia, Aiman siap, insyaa Allah,” Ia tersenyum sambil mengelus tangan ibunya. “Sekarang ibu makan, ya, yang baik. Nanti kalau-kalau ayah Airin datang, ibu dalam kondisi sehat,” lanjutnya. 

 

Hera tersenyum. “Biarkan Ibu istikharah dulu, ya.”

 

~ ~ ~

 

“Papa memutuskan buat mengajukan Aiman jadi tim direksi di perusahaan.” Agus memulai diskusi keluarga setelah makan malam.

Airin, Arman dan Vina terdiam. Keheningan menyelimuti pembicaraan.

 

“Terus, Papa sudah mengobrol sama nak Aimannya?” tanya Vina memecah suasana. Perih di hatinya terusik. Ia tersenyum hambar.

 

“Sudah. Aiman bilang, ia akan memikirkannya dulu,” jawab Agus. Ia menghela nafas, “Papa mohon, mulai saat ini, kalian akan menerima Aiman sebagai keluarga. Karena, Aiman anak kandung Papa juga,” ujar Agus. Arman tersenyum sinis.

 

“Oh, iya. Mama tadi habis ketemu Hera,” ujar Vina datar. Ia menjeda, hendak melihat reaksi Agus saat ini, “Mama juga meminta Hera buat kembali jadi keluarga ini,” lanjutnya.

 

Agus tersedak. Segelas susu jahe yang dihidangkan Vina menggaruk tenggorokannya. Airin dan Arman menatap Vina yang menyeruput susu jahe di gelasnya perlahan.

 

“Mama serius?” Mata Airin membulat. Ia tidak menyangka, sang Mama akan melakukan hal yang tak pernah dibayangkannya.

 

“Iya, Mama serius,” jawab Vina tenang. Agus menatap Vina. Ia menggeleng tak percaya.

 

“Anak-anak. Papa sudah selesai dengan pembicaraan malam ini. Tolong kalian masuk kamar. Papa dan Mama harus berbicara berdua,” ucap Agus tegas.

 

Arman dan Airin beranjak. “Pa, apa pun keputusannya. Tolong jangan sakiti Mama,” ucap Arman sebelum pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status