"Gue gak ngerasa salah tuh kerja ginian. Kita punya hak buat nentuin hidup kita sendiri. Masalah dosa, walaupun nggak kerja kaya gini juga banyak yang bikin dosa."
Aku hanya diam mendengar ucapan Maya. Dia lah yang membawaku ke dunia gelap ini setelah kesucianku direnggut paksa oleh preman-preman tak berperasaan. Diam-diam aku bekerja seperti ini tanpa sepengetahuan siapapun. Jelas saja, masa iya aku koar-koar. Kini kami sudah tiba di depan diskotik tempat kami bekerja mencari pelanggan. Suara dentuman disko pun sampai terdengar hingga luar, beberapa orang pasti sudah memenuhi diskotik itu sambil minum dan berpasang-pasangan. Aku dan Maya langsung duduk di kursi meja yang masih kosong. Mungkin karena aroma parfum yang sudah mereka kenal, mereka langsung menoleh menyadari kehadiran kami. Beberapa laki-laki pun mendekat, sekedar menyapa dan berbincang-bincang. Ada juga yang memang sudah berlanqqanan pada Maya, sehingga mereka langsung menghampiri dan mengajak Maya ke kamar. "Gue dulu!" "Gue dulu!" Mereka saling berebut demi mendapat service terdepan. "Oke-oke, tenang dulu. Gini aja, siapa yang berani bay4r paling tinggi, dia yang duluan," ucap Maya membuat ketiga laki-laki tadi saling menatap. "Satu juta!" "Dua juta!" "Dua juta setengah!" Maya tertawa sambil bertepuk tangan, benar-benar menikmati persaingan mereka dalam memperebutkannya. "Sepuluh juta!" Aku dan Maya sontak menoleh ke arah suara itu terdengar, seorang pria yang cukup matang dengan jenggot tipis berjalan mendekat. Maya menjentikkan jari dengan antusias. "Ada lagi?" Semua orang terdiam sambil saling tatap. "Oke, karena gak ada yang nawar lagi, dia pemenangnya. Ris, gue duluan ya?" ucapnya sambil diranqkul oleh laki-laki tadi. Aku hanya tersenyum tipis menatap kepergian sahabatku dengan pelanggan pertamanya. "Dia emang gak heran sih, selalu gampang narik cowok. Dari yang kaya sampe yang pas-pasan, dari tua sampai anak ABG sekalipun. Beda sama gue yang cuma punya penampilan pas-pasan," gumamku. Ya, sahabatku itu salah satu primadona di sini. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang menggoda dan idaman para pria membuatnya jadi rebutan. Mungkin karena itu pula Maya tidak pernah kepikiran untuk berhenti dari pekerjaan ini, walaupun neneknya nangis-nangis minta dia berhenti malam ini juga. Nenek Maya tak seperti biasanya menangisi kepergian Maya. Padahal, biasanya tidak pernah menampakkan diri dan peduli. Mungkin saking sudah lelahnya mengingatkan tapi tidak didengar. Selang beberapa jam, Maya baru kembali dan menghampiriku. "Eh, bengong aja Lo," tegurnya. "Iya nih, gak biasanya sepi" ucapku dengan lesu. "Sabar Say, nanti juga dateng kok. Waktu masih panjang." Lagi-lagi aku tersenyum kecut mendengar ucapannya. Dan hingga lewat tengah malam pun, aku nyatanya tak mendapat ajakan sama sekali, sedangkan Maya sudah melayani tiga orang. sepertinya rezekiku malam ini lagi jelek. Aku yang putus asa pun bangkit dari kursi dan hendak pulang. Namun, tanpa sengaja aku malah menabrak seseorang yang berada di belakangku. "Aduh, maaf banget, Om. Aku gak sengaja," ucapku. Pria yang sudah cukup tua yang semula berwajah marah seketika langsung berubah ekspresi, menatapku dari bawah hingga atas dengan tatapan lapar. Uhuy! Dapat mangsa juga nih, kayanya. Hatiku bersorak. "Siapa namamu, Cantik?" tanya om-om itu. "Aku Marisa Om," jawabku sambil tersenyum manis. Sebisa mungkin berusaha menarik perhatiannya. Ya, inilah yang harus kami lakukan sebagai wanita penjaja raga. "Manis sekali, bisa kamu temani saya malam ini?" tanyanya dengan tatapan nakal. "Oh, tentu saja Om. Kebetulan aku lagi kosong malam ini," ucapku dengan suara yang sengaja dibuat mendayu-dayu. "Jadi saya yang pertama, nih?" tanyanya antusias bagaikan menang undian saja. "Betul, Om." "Panggil saja saya Mas Daka." "Oh, iya, Mas Daka," ulangku dengan mengedipkan mata. Dia tersenyum dan mencubit daguku dengan gemas. Kemudian merangkul dan menuntunku menaiki tangga. Tangan si pria plontos itu sudah tak sabar terus saja bermain-main dengan tubuhku walaupun kamu masih berjalan. Saat hendak masuk ke dalam kamar, aku sempat melihat Maya yang juga akan masuk ke dalam kamar dengan pria yang sudah berbeda lagi. Kali ini pria itu terlihat cukup berumur, seperti ayah beranak tiga. Kami sempat saling melempar senyum dan dia mengacungkan kedua jempolnya padaku. Begitu pintu ditutup, pria yang bernama Daka itu pun langsung menerjang tubuhku dan menyerang dengan ganas hingga aku hampir kewalahan. "Pelan-pelan, Mas." "Ah, saya sudah gak sabar." Baru saja beberapa menit pemanasan, aku dan Daka dikejutkan dengan suara teriakan histeris dari luar kamar. "Tolooongg...... Diaa... Dia sekarat! Toloong!" Suara seorang laki-laki berteriak dari luar kamar. Aku yang penasaran pun segera membenarkan pakaian dan hendak beranjak. "Hey, mau kemana kamu? Biarin saja itu, kamu harus menuntaskan ini semua," ucap Daka dengan mata tajam. "Sebentar Mas, takutnya di luar ada polisi atau penggerebekan. Kan gawat?" ucapku membuat Daka mendengkus kesal. "Sebentar saja, langsung kemari lagi!" ucapnya dengan kesal. Aku pun mengangguk, membuka pintu dan keluar meninggalkan Daka sendirian. Terlihat sudah ada beberapa orang yang mengerumuni ambang pintu salah satu kamar. Aku mulai merasa cemas saat mengingat kalau pintu kamar itu adalah yang tadi dimasuki oleh sahabatku, Maya. Dengan tergesa-gesa aku pun mendekat. "Permisi, ada apa ya ini?" tanyaku pada salah satu orang yang ikut berkumpul di sana. Siapa tahu aku salah dengar tadi. "Katanya ada yang sedang sekarat," ucap orang itu menjawab. Deg! Perasaanku semakin tak enak, dengan sekuat tenaga aku berusaha menerobos ke dalam kamar. Mataku langsung membulat sempurna saat melihat pemandangan yang begitu mengerikan di dalam sana..."Wah, gantengnya. Mirip siapa, ya?" "Mirip abinya dong," ucap Mas Haidar. "Nggak, ah. Kaya mirip ... " Hilya menoleh padaku sejenak, kemudian melirik mas Haidar dengan tatapan mencurigakan. "Mirip siapa?" tanya mas Haidar penasaran. "Ah, nggak. Mirip Kak Marisa." "Masa?" mas Haidar mengerutkan kening dan mengamati wajah Azril, bayi kami. "Kamu itu, Dar, gak papa dong mirip uminya ini." Aku tertawa kecil bersama yang lain menanggapi tingkah Mas Haidar yang seperti anak kecil. Kamar ku penuh, seluruh keluarga kini masih anteng melihat dan menggendong Azril bergantian. Tak lupa Umi Hamidah dan Abi Sofyan juga benar-benar menginap di sini malam ini. Mereka tersenyum bahagia sampai menitikkan air mata, dan itu selalu membuatku tak bisa mengendalikan diri. "Mirip Luqman, Bi," bisik Umi yang masih dapat kudengar. Aku menoleh cepat ke arah mas Haidar yang berada tak jauh dari bibi dan pamannya. Hatiku mencelos mendengar bisikan Umi, pasti mas Haidar juga ikut mendengarnya. Keheb
"Mas!" Untung saja hanya oleng sedikit. Haduh, jantungku!"Kamu kenapa, sih, Mas?" "Kamu sih, Dek!" "Kok nyalahin aku?" Mas Haidar mengusap wajah dengan gusar. Dia juga pasti kaget sama sepertiku. Jika saja Mas Haidar tak segera mengendalikan mobil pasti kami sudah meleset dari jalur dan .... Huh!"Mas kaget loh denger kamu ngomong kaya gitu tadi."Aku mengernyit dan merenung sesaat. "Aku cuma bilang i love you, loh, Mas. Kamu ini kenapa, sih?" "Ya itu! Mas kaget, jantung Mas berdebar-debar," ucapnya sambil memegang dada. Wajahnya yang tersenyum jahil membuatku mau tak mau juga ikut tersenyum. "Ya ampun, Mas! Hampir aja kita mati konyol. Kamu ini, ih!" Kalau saja mobil nggak lagi maju, udah aku kusek-kusek suami tampanku ini."Kamu sih! Ih, gemes banget!" ucapnya sambil menggerak-gerakkan bahu seperti orang kedinginan. Aku membulatkan mata melihat sikapnya yang baru kali ini kulihat. Sejak kapan Mas Haidar jadi konyol seperti ini? Ini seperti bukan suamiku. Setibanya di rumah
"Tenang, Mas."Mas Haidar yang sepanjang jalan berkali-kali menghela nafas kasar mengangguk menanggapi ucapanku. Walaupun ku tahu kalau ucapanku itu tak sedikitpun mempengaruhi hatinya yang kini sedang bergejolak. Kami turun di halaman rumah makan. Suasana ramai seperti biasanya, Mas Haidar masih tenang menggandengku masuk walau ku tahu pasti inginnya saat ini dia berlari mencari Arga. "Mana Arga?" tanyanya tanpa basa-basi pada seorang pegawai perempuan. "Pak Arga ada di dalam, Pak." Pegawai itu mengangguk ramah padaku sambil tersenyum. Para pegawai perempuan di sini Mas Haidar beri peraturan untuk wajib mengenakan hijab. Semuanya rapi dan cantik dengan rok plisket hitam yang dipadukan dengan kaus panjang khusus seragam pegawai. Mungkin ini jadi salah satu ciri khas dari suamiku, karena di cabang kedua pun Mas Haidar menggunakan peraturan yang sama. Sedangkan di toko, pegawainya semua laki-laki. Di antara banyaknya pegawai, dari tadi mataku tak melihat Stefani. Dia adalah pegawai
Keresahan kini telah sirna, berganti dengan senyuman yang terlihat dari semua orang. Termasuk aku, aku tersenyum haru dengan apa yang dokter Fera katakan. Ya Allah, aku hamil!Mas Haidar terus mengelus kepalaku dengan sayang, tak peduli ada orang lain di kamar kami, kebahagiaan itu ia tunjukan tanpa sungkan. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Indah melakukan video call padaku. "Iya, Ndah, ada apa?" "Gimana keadaan kamu sekarang, Ris? Kita khawatir." Susan ikut muncul dengan raut wajah yang tak berbeda dengan Indah. "Aku baik, Ndah. Kalian tahu, gak, aku hamil." Aku mengatakannya dengan tersenyum lebar, kemudian menutup mulutku sendiri. Malu juga dilihatin umi, Abi, Jihan, dan Mas Haidar. "Hamil?" pekik keduanya kompak. Ish, malu-maluin. "Kok gitu ekspresinya?" protesku. "Nggak, kita bukannya gak ikut bahagia, Ris, tapi ... Ya Allah, Ris, untung aja tadi kamu gak jatuh beneran pas turun dari benteng!" cerocos Susan panik. "Apalagi kamu tadi juga bilang ngangkat Haris yang berat ke j
"Ya ampun Marisa!! Kamu ke mana aja, sih? Kita khawatir, tahu!" sembur Indah dan Susan begitu aku duduk di atas benteng. Tak ku tanggapi lebih dulu cerocosan mereka dan segera turun. "Marisa hati-hati!" teriak Jndah dan Susan saat aku hampir tergelincir. Dadaku sudah berdegup kencang, entah kenapa aku panik sekali, padahal kini posisiku sudah tak terlalu tinggi. Jatuh pun tak akan terlalu sakit. Setelah berhasil menginjakkan kaki di tanah aku menyimpan tangga tadi ke tempat semula."Gimana, Ris? Haris sudah aman, kan?" tanya Indah."Sudah. Dia sudah aman. Tadi sempat kaget karena ternyata saat aku batu Haris ke kamarnya ketahuan sama Deni. Tapi untungnya Deni malah bantu. Semoga saja Deni gak ngasih tau yang lain sebelum Pak Fikri di tangkap polisi.""Ya udah, ayo kita pergi dari sini." ---Esok harinya aku dapat kabar dari Indah kalau Paman Fikri langsung dijemput polisi di kediamannya. Beberapa hari pun polisi melakukan penyelidikan dan menanyai anak-anak satu persatu. Dan terny
Aku menemui Indah dan Susan, kami berbicara bertiga di salah satu kamar. "Gila! Jadi sebenarnya begitu?" tanya Indah setelah mendengar ceritaku."Ih! Kebangetan tuh Paman Fikri. Gak takut di tuntut dunia akhirat apa ya?" timpal Susan."Sudah. Sekarang kalian tolongin aku." "Tolongin apa?" Aku membisikkan rencana. Kedua temanku itu langsung mengangguk setuju dan sangat bersemangat. "Kamu bener, Ris. Orang seperti Paman Fikri jangan dikasih kendor. Eh, jangan dikasih kesempatan buat kabur," ucap Susan."Sekarang di mana Harisnya?" tanya Indah."Dia sudah aku suruh masuk ke mobil dan sembunyi. Ayo, kita harus segera keluar dari sini dan mengakhiri kejahatannya. Sebelum paman Fikri datang ke sini dan curiga," jawabku."Iya. Ayo." Kami bertiga pun berpamitan pada anak-anak. Seperti yang sudah dikatakan Indah, semua anak-anak itu terlihat sangat sedih dan tidak mau kami tinggalkan. Hatiku berdenyut sakit melihat itu.Sabar, adik-adikku, Kakak pergi untuk mengakhiri penderitaan kalian.