"Dia sekarat di dalam!"
Dengan cepat aku berlari ke dalam kamar, terlihat Maya sedang tergeletak di lantai dan menggelepar-gelepar seperti ikan kekeringan membuatku sangat syok dan panik. Baru saja aku mendekat, Maya sudah terkulai lemas dalam keadaan telanjang dada, matanya melotot dan busa keluar dari mulutnya. "Maya! May, lho kenapa? May!" Dengan panik ku tepuk pipi Maya yang sudah tak bergerak sedikitpun. Semua orang hanya diam sambil berbisik-bisik melihat keadaan naas yang menimpa Maya. Mataku membelalak saat menyadari kalau detak jantung Maya sudah tak ada. Merasa tak percaya, aku pun mengecek nafasnya. Namun lagi-lagi tak kutemukan ciri kehidupan di sana. Tidak! Baru saja beberapa menit yang lalu kami saling melempar senyum. Dan sekarang ... "Heh, Lho, kan, cowok yang tadi bersama Maya sebelum dia kaya gini? Lho apain dia hah?" tanyaku dengan emosi pada pria yang tadi sempat kulihat masuk ke dalam kamar bersama Maya. "Ya mana saya tahu! Saya gak berbuat apa-apa yang bisa bikin dia seperti ini. Kita tadi baru juga pemanasan, tapi tiba-tiba dia kejang-kejang dan jatuh ke lantai," jelas pria itu. "Terus kalau bukan Lo, siapa? Siapa yang buat Maya begini? Lo harus tanggung jawab! Lo udah bunuh sahabat gue!" teriakku sambil memukul pria itu dengan brutal, mengeluarkan rasa sedih dan sakit dengan apa yang menimpa Maya. "Ini ada apa? Apa yang terjadi?" tanya seseorang membuat tanganku berhenti dan menoleh. Bos datang, dia melihat Maya dengan tatapan jijik dan sedikit panik. "Dia! Dia sudah membunuh Maya!" teriakku menunjuk pria tadi. "Jangan sembarangan! Saya gak bunuh dia. Kamu jangan menuduh saya seenaknya gitu dong." "Lalu siapa pembunuhnya? Bos, pria itu yang bersama Maya sebelum dia seperti ini. Pasti ini semua perbuatan dia." Si bos masih menyimak perdebatan kami dengan tatapan terus mondar mandir ke arahku dan pria yang ku tuduh tadi. "Saya ke sini buat bersenang-senang, pengen hiburan, bukan buat nyari perkara. Dan saya juga gak punya motif untuk membunuhnya. Saya gak tahu apa-apa tentang semua ini," ucap pria itu bersikeras. "Halah! Itu semua basi! Laki-laki brengsek!" "Dengerin gua!" bentaknya. "Kalau gua emang yang bunuh dia, gua sudah pasti cepat kabur biar gak ada yang mencurigai gua. Dasar aneh! Sudah lah, gua mau pergi aja." Pria itu balik emosi dan melenggang pergi. "Heh! Jangan pergi Lo! Lo harus tanggung jawab!" "Diam Marisa!" bentak bos membuatku seketika terdiam. "Sekarang, kalian antarkan jasadnya ke rumahnya. Kalau perlu kalian tinggalkan saja di depan rumahnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari keluarganya," ucap bos pada para laki-laki bertubuh tinggi besar di belakang nya, tentu saja perintahnya itu membuatku tercengang tak setuju. "Apa, Bos? Gak bisa gitu dong. Harus ada yang tanggung jawab dengan apa yang menimpa Maya. Aku akan lapor polisi!" ucapku dengan menggebu. Plaak! Aku memegangi pipi yang terasa panas dan kebas, perlahan rasa perih mulai menjalar menguasai pipiku. Aku menoleh pada bos yang sudah menamparku tanpa sebab yang jelas. Wajahnya sudah sangat memerah, matanya melotot sempurna menatapku. "Jangan sekali-kali kamu melapor polisi! Mau bunuh diri, kamu? Mau tempat ini disita? Jangan bodoh, Marisa! Sudah, yang sudah mati tidak bisa di apa-apakan lagi, gak berguna. Kalian antarkan jasadnya," ucap bos pada ajudannya. Aku yang masih terpaku hanya bisa menatap para ajudan itu menggendong tubuh Maya keluar dari kamar. Hati ini sangat perih, bos sangat tak berperikemanusiaan sekali. Bagaimana bisa dia bersikap seegois ini sebagai manusia? "Jangan mengungkit-ungkit lagi kejadian ini. Anggap saja semuanya tak pernah terjadi. Ingat! Kalau ada yang menyebarkan berita ini, maka saya yang akan mengurusnya langsung," ucap bos pada semua orang. Aku menggeleng pelan, air mata terus turun tanpa bisa ku tahan-tahan. Ternyata seperti ini rasanya kehilangan teman dekat. Tapi yang paling menyakitkan adalah, ketidakadilan yang dialami Maya, yang terjadi di depan mata kepalaku sendiri. "Gue masih gak percaya semua ini, May. Baru saja tadi, tadi gue lihat Lo. Baru tadi malem kita ngobrol dan bersama. Apa yang sebenarnya terjadi sama Lo? Siapa yang sampai tega membunuh Lo dengan cara murahan seperti ini?" racauku sambil duduk di lantai dengan terisak. Dalam renungan, tiba-tiba tanganku ditarik seseorang yang membuatku langsung mendongak. Ternyata Daka, pria berkepala plontos yang tadi bersamaku di kamar. Namun karena keributan ini, aku pun meninggalkan nya. Pria itu terus menarik tanganku sambil menyeret ke luar dari kamar itu. "Kamu ini, ditungguin malah nangis di sini. Saya sudah gak tahan, ayo!" ucap pria itu kembali menyeret ku menuju kamar. "Gak mau Om, saya mau pulang saja," ucapku sambil menepis tangan Daka. "Heh, enak saja. Kamu harus melayani saya dulu, baru setelah itu kamu boleh pulang," ucapnya dengan tatapan nyalang. "Saya mau pulang, sahabat saya meninggal, Om. Mana bisa saya melayani Om," ucapku masih menolak. Rahang Daka mengeras, dadanya terlihat kembang kempis menahan amarah. Melihat itu, aku sedikit takut. "Pergi! Pergi saja kalau begitu! Awas ya, kamu sudah mempermainkan ku, aku akan terus ingat wajahmu itu! Dasar jalang sialan!" ucap Daka sambil mendorong tubuhku hingga terhuyung dan terduduk di lantai. Berbagai perilaku tak mengenakan bertubi-tubi kurasakan hari ini. Ya tuhan, apa begini kah nilai wanita sepertiku dihadapan laki-laki? Hanya saat mereka mempunyai keinginan atas tubuhku saja mereka bersikap lembut, dan saat seperti ini, atau bahkan saat wanita sudah tak bisa diandalkan seperti yang terjadi pada Maya, maka mereka akan membuangnya begitu saja seperti memperlakukan hewan mati. "Sialan! Tua bangka Sialan!" umpatku melampiaskan semua. *** "Ish, ngeri ya? Meninggal pas jadi l0nte," bisik salah satu tetangga yang kini berkerumun di depan rumah Maya. Mendengar itu aku langsung mengurungkan niat untuk melihat keadaan nenek Maya yang terdengar terus meraung-raung histeris, membuat semua tetangga langsung geger dan berkumpul di dini hari begini. "Iya, bener. Gimana azabnya ya? Hiiih... Pasti pedih." "Paling juga itu mati karena azab, sayang banget ya, cantik-cantik tapi murahan." "Orang seperti dia gak perlu dikasihani dan diurus kematiannya. Dibuang aja ke laut biar jadi makanan hiu." Air mata yang keluar dari mataku semakin deras, cepat ku bekap mulut sambil berlari meninggalkan kerumunan itu, dadaku begitu sesak mendengar ucapan-ucapan kejam dari para tetangga tadi. Haruskah Maya mendapatkan semua kekejaman ini di masa kematiannya?"Wah, gantengnya. Mirip siapa, ya?" "Mirip abinya dong," ucap Mas Haidar. "Nggak, ah. Kaya mirip ... " Hilya menoleh padaku sejenak, kemudian melirik mas Haidar dengan tatapan mencurigakan. "Mirip siapa?" tanya mas Haidar penasaran. "Ah, nggak. Mirip Kak Marisa." "Masa?" mas Haidar mengerutkan kening dan mengamati wajah Azril, bayi kami. "Kamu itu, Dar, gak papa dong mirip uminya ini." Aku tertawa kecil bersama yang lain menanggapi tingkah Mas Haidar yang seperti anak kecil. Kamar ku penuh, seluruh keluarga kini masih anteng melihat dan menggendong Azril bergantian. Tak lupa Umi Hamidah dan Abi Sofyan juga benar-benar menginap di sini malam ini. Mereka tersenyum bahagia sampai menitikkan air mata, dan itu selalu membuatku tak bisa mengendalikan diri. "Mirip Luqman, Bi," bisik Umi yang masih dapat kudengar. Aku menoleh cepat ke arah mas Haidar yang berada tak jauh dari bibi dan pamannya. Hatiku mencelos mendengar bisikan Umi, pasti mas Haidar juga ikut mendengarnya. Keheb
"Mas!" Untung saja hanya oleng sedikit. Haduh, jantungku!"Kamu kenapa, sih, Mas?" "Kamu sih, Dek!" "Kok nyalahin aku?" Mas Haidar mengusap wajah dengan gusar. Dia juga pasti kaget sama sepertiku. Jika saja Mas Haidar tak segera mengendalikan mobil pasti kami sudah meleset dari jalur dan .... Huh!"Mas kaget loh denger kamu ngomong kaya gitu tadi."Aku mengernyit dan merenung sesaat. "Aku cuma bilang i love you, loh, Mas. Kamu ini kenapa, sih?" "Ya itu! Mas kaget, jantung Mas berdebar-debar," ucapnya sambil memegang dada. Wajahnya yang tersenyum jahil membuatku mau tak mau juga ikut tersenyum. "Ya ampun, Mas! Hampir aja kita mati konyol. Kamu ini, ih!" Kalau saja mobil nggak lagi maju, udah aku kusek-kusek suami tampanku ini."Kamu sih! Ih, gemes banget!" ucapnya sambil menggerak-gerakkan bahu seperti orang kedinginan. Aku membulatkan mata melihat sikapnya yang baru kali ini kulihat. Sejak kapan Mas Haidar jadi konyol seperti ini? Ini seperti bukan suamiku. Setibanya di rumah
"Tenang, Mas."Mas Haidar yang sepanjang jalan berkali-kali menghela nafas kasar mengangguk menanggapi ucapanku. Walaupun ku tahu kalau ucapanku itu tak sedikitpun mempengaruhi hatinya yang kini sedang bergejolak. Kami turun di halaman rumah makan. Suasana ramai seperti biasanya, Mas Haidar masih tenang menggandengku masuk walau ku tahu pasti inginnya saat ini dia berlari mencari Arga. "Mana Arga?" tanyanya tanpa basa-basi pada seorang pegawai perempuan. "Pak Arga ada di dalam, Pak." Pegawai itu mengangguk ramah padaku sambil tersenyum. Para pegawai perempuan di sini Mas Haidar beri peraturan untuk wajib mengenakan hijab. Semuanya rapi dan cantik dengan rok plisket hitam yang dipadukan dengan kaus panjang khusus seragam pegawai. Mungkin ini jadi salah satu ciri khas dari suamiku, karena di cabang kedua pun Mas Haidar menggunakan peraturan yang sama. Sedangkan di toko, pegawainya semua laki-laki. Di antara banyaknya pegawai, dari tadi mataku tak melihat Stefani. Dia adalah pegawai
Keresahan kini telah sirna, berganti dengan senyuman yang terlihat dari semua orang. Termasuk aku, aku tersenyum haru dengan apa yang dokter Fera katakan. Ya Allah, aku hamil!Mas Haidar terus mengelus kepalaku dengan sayang, tak peduli ada orang lain di kamar kami, kebahagiaan itu ia tunjukan tanpa sungkan. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Indah melakukan video call padaku. "Iya, Ndah, ada apa?" "Gimana keadaan kamu sekarang, Ris? Kita khawatir." Susan ikut muncul dengan raut wajah yang tak berbeda dengan Indah. "Aku baik, Ndah. Kalian tahu, gak, aku hamil." Aku mengatakannya dengan tersenyum lebar, kemudian menutup mulutku sendiri. Malu juga dilihatin umi, Abi, Jihan, dan Mas Haidar. "Hamil?" pekik keduanya kompak. Ish, malu-maluin. "Kok gitu ekspresinya?" protesku. "Nggak, kita bukannya gak ikut bahagia, Ris, tapi ... Ya Allah, Ris, untung aja tadi kamu gak jatuh beneran pas turun dari benteng!" cerocos Susan panik. "Apalagi kamu tadi juga bilang ngangkat Haris yang berat ke j
"Ya ampun Marisa!! Kamu ke mana aja, sih? Kita khawatir, tahu!" sembur Indah dan Susan begitu aku duduk di atas benteng. Tak ku tanggapi lebih dulu cerocosan mereka dan segera turun. "Marisa hati-hati!" teriak Jndah dan Susan saat aku hampir tergelincir. Dadaku sudah berdegup kencang, entah kenapa aku panik sekali, padahal kini posisiku sudah tak terlalu tinggi. Jatuh pun tak akan terlalu sakit. Setelah berhasil menginjakkan kaki di tanah aku menyimpan tangga tadi ke tempat semula."Gimana, Ris? Haris sudah aman, kan?" tanya Indah."Sudah. Dia sudah aman. Tadi sempat kaget karena ternyata saat aku batu Haris ke kamarnya ketahuan sama Deni. Tapi untungnya Deni malah bantu. Semoga saja Deni gak ngasih tau yang lain sebelum Pak Fikri di tangkap polisi.""Ya udah, ayo kita pergi dari sini." ---Esok harinya aku dapat kabar dari Indah kalau Paman Fikri langsung dijemput polisi di kediamannya. Beberapa hari pun polisi melakukan penyelidikan dan menanyai anak-anak satu persatu. Dan terny
Aku menemui Indah dan Susan, kami berbicara bertiga di salah satu kamar. "Gila! Jadi sebenarnya begitu?" tanya Indah setelah mendengar ceritaku."Ih! Kebangetan tuh Paman Fikri. Gak takut di tuntut dunia akhirat apa ya?" timpal Susan."Sudah. Sekarang kalian tolongin aku." "Tolongin apa?" Aku membisikkan rencana. Kedua temanku itu langsung mengangguk setuju dan sangat bersemangat. "Kamu bener, Ris. Orang seperti Paman Fikri jangan dikasih kendor. Eh, jangan dikasih kesempatan buat kabur," ucap Susan."Sekarang di mana Harisnya?" tanya Indah."Dia sudah aku suruh masuk ke mobil dan sembunyi. Ayo, kita harus segera keluar dari sini dan mengakhiri kejahatannya. Sebelum paman Fikri datang ke sini dan curiga," jawabku."Iya. Ayo." Kami bertiga pun berpamitan pada anak-anak. Seperti yang sudah dikatakan Indah, semua anak-anak itu terlihat sangat sedih dan tidak mau kami tinggalkan. Hatiku berdenyut sakit melihat itu.Sabar, adik-adikku, Kakak pergi untuk mengakhiri penderitaan kalian.