Share

2. Tak Berharga

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2025-04-08 11:09:44

"Dia sekarat di dalam!" 

Dengan cepat aku berlari ke dalam kamar, terlihat Maya sedang tergeletak di lantai dan menggelepar-gelepar seperti ikan kekeringan membuatku sangat syok dan panik. Baru saja aku mendekat, Maya sudah terkulai lemas dalam keadaan telanjang dada, matanya melotot dan busa keluar dari mulutnya.

"Maya! May, lho kenapa? May!" Dengan panik ku tepuk pipi Maya yang sudah tak bergerak sedikitpun. Semua orang hanya diam sambil berbisik-bisik melihat keadaan naas yang menimpa Maya. 

Mataku membelalak saat menyadari kalau detak jantung Maya sudah tak ada. Merasa tak percaya, aku pun mengecek nafasnya. Namun lagi-lagi tak kutemukan ciri kehidupan di sana. Tidak! Baru saja beberapa menit yang lalu kami saling melempar senyum. Dan sekarang ... 

"Heh, Lho, kan, cowok yang tadi bersama Maya sebelum dia kaya gini? Lho apain dia hah?" tanyaku dengan emosi pada pria yang tadi sempat kulihat masuk ke dalam kamar bersama Maya. 

"Ya mana saya tahu! Saya gak berbuat apa-apa yang bisa bikin dia seperti ini. Kita tadi baru juga pemanasan, tapi tiba-tiba dia kejang-kejang dan jatuh ke lantai," jelas pria itu.

"Terus kalau bukan Lo, siapa? Siapa yang buat Maya begini? Lo harus tanggung jawab! Lo udah bunuh sahabat gue!" teriakku sambil memukul pria itu dengan brutal, mengeluarkan rasa sedih dan sakit dengan apa yang menimpa Maya.

"Ini ada apa? Apa yang terjadi?" tanya seseorang membuat tanganku berhenti dan menoleh. Bos datang, dia melihat Maya dengan tatapan jijik dan sedikit panik.

"Dia! Dia sudah membunuh Maya!" teriakku menunjuk pria tadi.

"Jangan sembarangan! Saya gak bunuh dia. Kamu jangan menuduh saya seenaknya gitu dong."

"Lalu siapa pembunuhnya? Bos, pria itu yang bersama Maya sebelum dia seperti ini. Pasti ini semua perbuatan dia." 

Si bos masih menyimak perdebatan kami dengan tatapan terus mondar mandir ke arahku dan pria yang ku tuduh tadi. 

"Saya ke sini buat bersenang-senang, pengen hiburan, bukan buat nyari perkara. Dan saya juga gak punya motif untuk membunuhnya. Saya gak tahu apa-apa tentang semua ini," ucap pria itu bersikeras.

"Halah! Itu semua basi! Laki-laki brengsek!" 

"Dengerin gua!" bentaknya. "Kalau gua emang yang bunuh dia, gua sudah pasti cepat kabur biar gak ada yang mencurigai gua. Dasar aneh! Sudah lah, gua mau pergi aja." Pria itu balik emosi dan melenggang pergi.

"Heh! Jangan pergi Lo! Lo harus tanggung jawab!"  

"Diam Marisa!" bentak bos membuatku seketika terdiam.

"Sekarang, kalian antarkan jasadnya ke rumahnya. Kalau perlu kalian tinggalkan saja di depan rumahnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari keluarganya," ucap bos pada para laki-laki bertubuh tinggi besar di belakang nya, tentu saja perintahnya itu membuatku tercengang tak setuju.

"Apa, Bos? Gak bisa gitu dong. Harus ada yang tanggung jawab dengan apa yang menimpa Maya. Aku akan lapor polisi!" ucapku dengan menggebu.

Plaak!

Aku memegangi pipi yang terasa panas dan kebas, perlahan rasa perih mulai menjalar menguasai pipiku. Aku menoleh pada bos yang sudah menamparku tanpa sebab yang jelas. Wajahnya sudah sangat memerah, matanya melotot sempurna menatapku.

"Jangan sekali-kali kamu melapor polisi! Mau bunuh diri, kamu? Mau tempat ini disita? Jangan bodoh, Marisa! Sudah, yang sudah mati tidak bisa di apa-apakan lagi, gak berguna. Kalian antarkan jasadnya," ucap bos pada ajudannya.

Aku yang masih terpaku hanya bisa menatap para ajudan itu menggendong tubuh Maya keluar dari kamar. Hati ini sangat perih, bos sangat tak berperikemanusiaan sekali. Bagaimana bisa dia bersikap seegois ini sebagai manusia?

"Jangan mengungkit-ungkit lagi kejadian ini. Anggap saja semuanya tak pernah terjadi. Ingat! Kalau ada yang menyebarkan berita ini, maka saya yang akan mengurusnya langsung," ucap bos pada semua orang.

Aku menggeleng pelan, air mata terus turun tanpa bisa ku tahan-tahan. Ternyata seperti ini rasanya kehilangan teman dekat. Tapi yang paling menyakitkan adalah, ketidakadilan yang dialami Maya, yang terjadi di depan mata kepalaku sendiri. 

"Gue masih gak percaya semua ini, May. Baru saja tadi, tadi gue lihat Lo. Baru tadi malem kita ngobrol dan bersama. Apa yang sebenarnya terjadi sama Lo? Siapa yang sampai tega membunuh Lo dengan cara murahan seperti ini?" racauku sambil duduk di lantai dengan terisak.

Dalam renungan, tiba-tiba tanganku ditarik seseorang yang membuatku langsung mendongak. Ternyata Daka, pria berkepala plontos yang tadi bersamaku di kamar. Namun karena keributan ini, aku pun meninggalkan nya. Pria itu terus menarik tanganku sambil menyeret ke luar dari kamar itu.

"Kamu ini, ditungguin malah nangis di sini. Saya sudah gak tahan, ayo!" ucap pria itu kembali menyeret ku menuju kamar.

"Gak mau Om, saya mau pulang saja," ucapku sambil menepis tangan Daka.

"Heh, enak saja. Kamu harus melayani saya dulu, baru setelah itu kamu boleh pulang," ucapnya dengan tatapan nyalang.

"Saya mau pulang, sahabat saya meninggal, Om. Mana bisa saya melayani Om," ucapku masih menolak.

Rahang Daka mengeras, dadanya terlihat kembang kempis menahan amarah. Melihat itu, aku sedikit takut.

"Pergi! Pergi saja kalau begitu! Awas ya, kamu sudah mempermainkan ku, aku akan terus ingat wajahmu itu! Dasar jalang sialan!" ucap Daka sambil mendorong tubuhku hingga terhuyung dan terduduk di lantai.

Berbagai perilaku tak mengenakan bertubi-tubi kurasakan hari ini. Ya tuhan, apa begini kah nilai wanita sepertiku dihadapan laki-laki? Hanya saat mereka mempunyai keinginan atas tubuhku saja mereka bersikap lembut, dan saat seperti ini, atau bahkan saat wanita sudah tak bisa diandalkan seperti yang terjadi pada Maya, maka mereka akan membuangnya begitu saja seperti memperlakukan hewan mati. 

"Sialan! Tua bangka Sialan!" umpatku melampiaskan semua.

***

"Ish, ngeri ya? Meninggal pas jadi l0nte," bisik salah satu tetangga yang kini berkerumun di depan rumah Maya. Mendengar itu aku langsung mengurungkan niat untuk melihat keadaan nenek Maya yang terdengar terus meraung-raung histeris, membuat semua tetangga langsung geger dan berkumpul di dini hari begini. 

"Iya, bener. Gimana azabnya ya? Hiiih... Pasti pedih." 

"Paling juga itu mati karena azab, sayang banget ya, cantik-cantik tapi murahan." 

"Orang seperti dia gak perlu dikasihani dan diurus kematiannya. Dibuang aja ke laut biar jadi makanan hiu."

Air mata yang keluar dari mataku semakin deras, cepat ku bekap mulut sambil berlari meninggalkan kerumunan itu, dadaku begitu sesak mendengar ucapan-ucapan kejam dari para tetangga tadi. Haruskah Maya mendapatkan semua kekejaman ini di masa kematiannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 53

    Aku masuk ke dalam kamar, terlihat Haidar sedang khusyuk membaca ayat suci. Suaranya hanya bisa terdengar sayup-sayup olehku. Namun, aku tahu dia begitu menghayati setiap kalimat dan ayat yang dia lantunkan. Apakah Haidar mengerti arti dari apa yang baca?Selesai membaca Al-Qur'an, Haidar langsung menoleh ke arahku. Tatapannya datar seperti biasa. Nampaknya dia berusaha mengalihkan rasa gugupnya setelah tadi digoda keluarga dengan membaca Al-Qur'an itu. "Apa kamu?" tanyanya sambil bangkit. Aku tertegun. Maksudnya gimana?"Aku manusia." "Bukan markisa?" Aku nyengir sebal. "Jangan merusak namaku seperti itu." Haidar tak menyahut lagi, tapi dia berjalan ke arah pintu keluar. "Tidur!" ucapnya membuatku merasa dihardik. Dia ini kenapa jutek sekali, sih?Pintu tertutup kemudian. Aku menghela nafas. Sabar, Marisa. Aku beringsut naik ke atas tempat tidur, kemudian menarik selimut. Baru saja hendak berbaring, pintu kembali terbuka. Haidar masuk lagi dengan wajah kacau. Aku langsung dudu

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 66

    Selesai mandi, aku celingukan dengan panik saat tak mendapati baju ganti. Aku menepuk jidat ketika teringat aku lupa tak membawanya. Dan, tak ada kimono juga di sini. Hanya ada handuk biasa yang hanya membalut tubuhku dari dada hingga paha. Bagaimana ini?? "Cepat, Markisa! Aku ingin mandi sekarang." Teriakan Haidar itu membuatku semakin panik dan ketar ketir. Ah! Sial sekali aku. Bagaimana sekarang? Apa aku harus keluar dengan handuk ini? Toh, dia sudah sah menjadi suamiku? Tetapii ... Rasanya aku belum berani. Dan kalau aku tetap diam di sini, dia pasti marah dan mendobrak pintunya. Ah, bagaimana ini?"Markisa! Kamu sedang apa sih?" Kleeekk ...Kubuka pintu sedikit saja, menampilkan sebelah mataku mengintip ke balik pintu. Seketika Haidar muncul dan mendorong pintu cukup kuat hingga membuatku terkejut, dengan segera ku dorong pintu tersebut hingga kami pun saling dorong mendorong beberapa saat."Eh, ini perempuan maunya apa, sih?" ucapnya sambil terus berusaha mendorong pintu. Den

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 65

    "Ya Allah, Marisa, kamu cantik sekali." Ibu Panti langsung berhambur memelukku. Tanganku bersambut membalas pelukannya dengan hati mengambang."Kakak Marisa sangat cantik." Beberapa anak panti yang memang dekat denganku pun ikut mengatakan hal yang sama. Aku tersenyum tipis, lalu mengusap kepala mereka satu persatu."Iya, Kakak Marisa sangat cantik. Dan Kakak Suami juga sangat tampan," celoteh Gina, balita berusia empat tahun. Pujian mereka seakan sebuah angin lalu bagiku. Aku tahu, mereka hanya ingin menghiburku saja. "Marisa ... " Aku memutar badan ke belakang, Umi dan Abi dari A Luqman tersenyum bahagia menatapku. Ku peluk mereka satu persatu, mau tak mau aku menangis di sini. "Jangan nangis, semoga pernikahan kalian dirahmati Allah, dan kalian bahagia selamanya."Aku tersenyum tipis. "Aamiiin.""Ayo duduk di sana, Kak." Jihan menegurku. Lalu ia menuntunku semakin mendekati pria yang sudah merusak namaku itu. Haidar langsung menggeser duduknya begitu aku duduk. Tidak masalah,

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 64

    Setidaknya melihat orang lain bahagia karena aku itu yang terbaik. Karena jujur, aku sudah tak memikirkan apapun lagi untuk kebahagiaanku. Tak ada yang aku harapkan, tak ada yang kuinginkan. Entahlah ... Aku tak putus asa. Tetapi, aku hanya takut untuk mengharapkan kebahagiaan lagi. Setiap kali aku hendak mencecap manisnya sebuah kebahagiaan, malah pahit yang aku rasakan. Jadi, biarlah kini semua berlalu seperti air yang mengalir. Mau aku bahagia atau tidak nantinya, aku hanya akan melakukan semuanya semata-mata untuk meraih ridho Allah dan kebahagiaan keluargaku. Seperti nasehat Abi, aku harus tegar dan ikhlas, inilah jalan takdir yang harus aku jalani.Semua orang sangat bahagia mendengar persetujuanku. Mereka langsung mempersiapkan seluruh persiapan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tapi baik aku dan Haidar sepakat untuk tidak membuat pesta, hanya acara ijab kabul dan syukuran saja. Kini, untuk kedua kalinya rumah megah ini dihias dengan sedemikian rupa untuk pernikahanku. Tet

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 63

    "Markisa buka!" Aku memeluk guling, itu benar Haidar. Mau apa dia sampai mengetuk pintu kamarku? Apa dia masih mau menghajarku?Ketukannya tak kunjung berhenti walaupun sedari tadi ku abaikan. Dia bahkan semakin keras mengetuk pintu. "Markisa?" panggilnya, kini suaranya sedikit melunak. Seolah sedang mengecek apakah aku ada di sini atau tidak. Setidaknya dia bisa menyebutkan namaku dengan benar, bukan? Tapi ini ..."Markisa buka, atau aku tinggal saja di sini."Aku masih diam. Setidaknya ditinggal laki-laki seperti dia itu lebih baik bagiku. "Umi nyuruh kita ke rumah Bibi. Kamu mau ikut, gak?" Aku tertegun sejenak. Oh, jadi semua orang sedang di rumah Umi? Apa Umi dan Abi sudah pulang? Aku harus ke sana juga. "Heh!" hardiknya. "Aku ke sana sendiri aja. Kamu duluan!" teriakku. Suasana hening kemudian. Aku rasa dia sudah pergi. Aku segera siap-siap. Pintu ku buka perlahan, celingak-celinguk terlebih dulu takut pria menyeramkan itu sembunyi dariku. Hingga turun dari tangga aku

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 62

    "Aduh, sebenarnya Neng ini mau ke mana?" tanya abang tukang ojek entah sudah ke berapa kalinya. Aku tak tahu mobil Haidar yang mana dan tak bisa membedakannya juga dengan yang lain. Dari tadi, aku celingak celinguk ke sana ke mari, tetapi tetap tidak ketemu. Perjalanan sudah terlalu jauh untuk seorang tukang ojek. Mungkin itulah yang membuat Abang ojek ini terus bertanya."Bang, aku gak bisa menemukan orang yang sedang aku cari. Gak papa deh, Abang anterin aku ke Tengerang ya?""Hah? Apa kata Neng? Tangerang? Jauh itu, Neng!" Abang ojek protes dan berteriak-teriak kencang sambil nengok-nengok ke samping."Tolong dong, Bang ... Nanti saya bayar, kok. Anggap aja saya nyewa abang sama motornya." "Ampuun ... Si Neng ... " Bang ojek itu tetap melajukan motornya mengikuti arahan dariku walau sambil merengut. Bahkan macet pun tak berpengaruh untuk motor yang bisa salip menyalip. Aku harus bisa sampai di depan rumah Jihan sebelum Haidar. Harus!Dua jam kemudian, aku sampai di tempat yang ku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status