Share

3. Hujatan

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2025-04-08 11:10:25

"Pada kemana yang lainnya?" tanya pak RT saat melihat rumah duka yang masih kosong.

"Emm, Pak ... Sebagian besar warga enggan datang karena mereka terus merutuki pekerjaan almarhumah semasa hidupnya. Jadii..." ucapan bapak-bapak itu tak diteruskan. Lagi-lagi aku menggeram kesal. Tak percaya mereka begitu sok suci sampai menelantarkan orang mati seperti ini.

Pak RT seolah sudah mengerti, dia pun keluar dari rumah dan memanggil seluruh warga untuk berkumpul di depan rumah Maya.

"Ada apa ini, Pak?" tanya salah satu warga.

"Begini, salah satu tetangga kita ada yang meninggal, kenapa kalian tidak bersedia untuk sekedar memberikan bantuan dan do'a untuk almarhumah?" tanya pak RT. Pembicaraan mereka masih dapat terdengar jelas hingga ke tempatku dan nenek duduk. 

"Pak, si Maya itu sudah banyak dosanya, walau kita do'akan juga gak bakalan diampuni."

"Iya nih, pak RT. Buat apa disolatkan, toh semasa hidupnya juga gak pernah solat."

"Astaghfirullaahal'adziiim ...!" ucap Pak RT. Aku refleks menirunya, merasa geram sekali dengan ucapan mereka. Nenek semakin tersedu di pelukanku. 

"Jangan bicara seperti itu. Tentang bagaimana nasib almarhumah kelak kita tak ada yang tahu, Wallahu a'lam. Jangan merasa jadi yang paling tahu dengan nasib seseorang di alam kubur, itu tidak baik. Jangan kita sok tahu dan menilai seseorang akan celaka atau akan selamat hanya karena pengamatan kita, kita tidak tahu banyak dan bukan penentu nasib seseorang. Kita juga tidak punya hak. Semuanya wallahu a'lam. Kita hanya perlu mengerjakan apa yang sudah menjadi tugas kita sebagai manusia yang masih hidup. Kita mandikan, kafani, solatkan, dan kemudian kuburkan, urusan selain itu kita tidak perlu repot-repot mengurusnya, kita serahkan saja semuanya pada Allah. Ingat, kalau kita tidak mau mengurus jenazah, itu malah membuat kita sendiri yang dosa," ucap pak RT dengan tegas sehingga membuat para warga terdiam menunduk. Hening seketika tanpa ada satu orangpun yang memprotes lagi. 

"Sudah, kalian sekarang pulang saja kalau masih kekeuh. Biar saya saja sama yang lainnya yang mengurus jenazah ini. Masih ada orang-orang yang punya hati dan sadar kewajiban di kampung ini," ucap pak RT membuat semuanya saling pandang.

Pak RT kembali masuk ke dalam rumah, duduk di samping bapak-bapak yang hadir dan ikut membacakan yasin.

Tak lama kemudian, satu persatu warga mulai berdatangan dengan wajah yang ditekuk. Ya, warga yang semula menonjolkan ego dan sifat arogan kini mulai berdatangan walau terlihat tak berani mengangkat wajah. Entahlah mereka malu atau mulai sadar.

Ruangan pun mulai penuh, orang-orang yang membacakan surat yasin dan do'a untuk mengantar kepergian Maya semakin banyak.  

Menjelang siang hari semua orang sudah mulai meninggalkan pemakaman. Kini tinggallah aku dan nenek di pemakaman, nenek masih terus menunduk dan sesekali mengusap sudut matanya. 

"Nek, apa ayahnya Maya belum dikasih tahu?" tanyaku. 

"Sudah. Oh ya Nak, nenek kok merasa aneh ya sama kematian Maya. Apa Maya sengaja dibunuh?"

Aku menghela nafas. "Sudah, nenek jangan banyak pikiran. Serahin aja semuanya sama Marisa. Marisa janji akan mencari kebenarannya."

Nenek menunduk dan memejam, tangan keriputnya mengusap air mata untuk ke sekian kali. "Nenek akan mengabari ayah Maya supaya dia mengurus semuanya ke kantor polisi. Pembunuh harus mendapat balasan setimpal." 

Aku terdiam, bingung harus berkata apa. Di satu sisi memang aku setuju dengan nenek, tapi di sisi lain, aku cemas karena mungkin aku harus kehilangan pekerjaanku kalau sampai polisi melacak tempat Maya meregang nyawa.

Aku harus apa?

***

Setelah tiba di rumah, rencana untuk mencari tahu tentang pelaku pembunuhan Maya mulai berputar di kepalaku. Pasti tidak mudah, tapi aku yakin akan bisa menemukannya. Secara, aku dan Maya sangat dekat, hampir semua hal tentang dia aku tahu. Kecuali memang hal yang sengaja Maya sembunyikan, seperti penyebab di balik kejadian ini.

"Huh, bagaimana ini? Langkah pertama yang harus aku lakukan adalah ... Apa ada sebuah petunjuk di dalam ponsel Maya? Ya, ponselnya! Kenapa aku gak kepikiran dari tadi?"

Dengan cepat aku berlari kembali menuju rumah Maya. Ya, langkah pertama aku harus menggali informasi terkait hubungan Maya dengan setiap orang yang ada di dunianya. Dalam ponselnya, aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa memberiku petunjuk. 

"Loh? Nak Marisa? Ada apa lari-lari?" 

Nafasku terengah-engah. Sejenak beristirahat memegang kedua lutut. 

"Nggak apa-apa, Nek. Marisa baru ingat, ada perlu sebentar."

"Ya sudah, ayo masuk."

"Nek, aku boleh masuk ke kamar Maya?" 

"Boleh, Nak. Kamu teman dekatnya Maya."

Aku langsung masuk ke dalam kamar Maya. Kamar sederhana yang aromanya membuatku merasa Maya masih ada di sekitarku. Tas Maya yang tadi kuserahkan pada nenek tergeletak di atas tempat tidur. Segera ku ambil dan membuka ponselnya. Aku teman dekatnya, jelas tahu password ponsel dan apa-apa yang tak Maya kasih tahu pada orang lain. 

"Nenek pikir Maya hanya bergaul dengan laki-laki hidung belang saja. Tapi ternyata dia juga bertemu dengan orang jahat yang akhirnya merenggut nyawanya."

"Bagaimanapun pasti ada motif dibalik semua ini, Nek." 

"Itu pasti, Nak, tapi apa? Kenapa ada yang sampai tega membunuh Maya? Apa cucu nenek itu sudah merebut suami orang sampai-sampai ada yang dendam padanya?" 

Aku langsung tertegun. Apa yang dikatakan nenek bisa saja memang kenyataan. 

"Itu semua harus kita cari tahu, Nek. Aku juga ingin supaya yang membunuh Maya mendapatkan balasan setimpal. Untuk itu, aku akan menyelidikinya lewat ponsel ini."

Nenek langsung celingukan. "Nak, nenek merasa pernah melihat Maya menulis sesuatu sambil menangis."

"Menangis? Apa yang dia tulis, Nek?" 

Nenek menatapku dengan serius. "Kita cari bukunya." 

Aku mengangguk semangat. Kami berdua memeriksa seluruh barang Maya untuk mencari kemungkinan buku diary atau apapun itu yang Maya gunakan untuk mencurahkan isi hati. 

"Ini buku apa, Nak?" 

Aku langsung menoleh. Sebuah buku diary tebal berwarna merah muda ada di tangan nenek. Dengan cepat aku mendekat dan memeriksa buku itu. 

"Ini buku diary, Marisa yakin pasti di sini ada petunjuk, Nek. Tapi dikunci." 

"Kok buku bisa dikunci?" tanya Nenek kebingungan. 

Aku harus segera menemukan kunci diary ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 53

    Aku masuk ke dalam kamar, terlihat Haidar sedang khusyuk membaca ayat suci. Suaranya hanya bisa terdengar sayup-sayup olehku. Namun, aku tahu dia begitu menghayati setiap kalimat dan ayat yang dia lantunkan. Apakah Haidar mengerti arti dari apa yang baca?Selesai membaca Al-Qur'an, Haidar langsung menoleh ke arahku. Tatapannya datar seperti biasa. Nampaknya dia berusaha mengalihkan rasa gugupnya setelah tadi digoda keluarga dengan membaca Al-Qur'an itu. "Apa kamu?" tanyanya sambil bangkit. Aku tertegun. Maksudnya gimana?"Aku manusia." "Bukan markisa?" Aku nyengir sebal. "Jangan merusak namaku seperti itu." Haidar tak menyahut lagi, tapi dia berjalan ke arah pintu keluar. "Tidur!" ucapnya membuatku merasa dihardik. Dia ini kenapa jutek sekali, sih?Pintu tertutup kemudian. Aku menghela nafas. Sabar, Marisa. Aku beringsut naik ke atas tempat tidur, kemudian menarik selimut. Baru saja hendak berbaring, pintu kembali terbuka. Haidar masuk lagi dengan wajah kacau. Aku langsung dudu

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 66

    Selesai mandi, aku celingukan dengan panik saat tak mendapati baju ganti. Aku menepuk jidat ketika teringat aku lupa tak membawanya. Dan, tak ada kimono juga di sini. Hanya ada handuk biasa yang hanya membalut tubuhku dari dada hingga paha. Bagaimana ini?? "Cepat, Markisa! Aku ingin mandi sekarang." Teriakan Haidar itu membuatku semakin panik dan ketar ketir. Ah! Sial sekali aku. Bagaimana sekarang? Apa aku harus keluar dengan handuk ini? Toh, dia sudah sah menjadi suamiku? Tetapii ... Rasanya aku belum berani. Dan kalau aku tetap diam di sini, dia pasti marah dan mendobrak pintunya. Ah, bagaimana ini?"Markisa! Kamu sedang apa sih?" Kleeekk ...Kubuka pintu sedikit saja, menampilkan sebelah mataku mengintip ke balik pintu. Seketika Haidar muncul dan mendorong pintu cukup kuat hingga membuatku terkejut, dengan segera ku dorong pintu tersebut hingga kami pun saling dorong mendorong beberapa saat."Eh, ini perempuan maunya apa, sih?" ucapnya sambil terus berusaha mendorong pintu. Den

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 65

    "Ya Allah, Marisa, kamu cantik sekali." Ibu Panti langsung berhambur memelukku. Tanganku bersambut membalas pelukannya dengan hati mengambang."Kakak Marisa sangat cantik." Beberapa anak panti yang memang dekat denganku pun ikut mengatakan hal yang sama. Aku tersenyum tipis, lalu mengusap kepala mereka satu persatu."Iya, Kakak Marisa sangat cantik. Dan Kakak Suami juga sangat tampan," celoteh Gina, balita berusia empat tahun. Pujian mereka seakan sebuah angin lalu bagiku. Aku tahu, mereka hanya ingin menghiburku saja. "Marisa ... " Aku memutar badan ke belakang, Umi dan Abi dari A Luqman tersenyum bahagia menatapku. Ku peluk mereka satu persatu, mau tak mau aku menangis di sini. "Jangan nangis, semoga pernikahan kalian dirahmati Allah, dan kalian bahagia selamanya."Aku tersenyum tipis. "Aamiiin.""Ayo duduk di sana, Kak." Jihan menegurku. Lalu ia menuntunku semakin mendekati pria yang sudah merusak namaku itu. Haidar langsung menggeser duduknya begitu aku duduk. Tidak masalah,

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 64

    Setidaknya melihat orang lain bahagia karena aku itu yang terbaik. Karena jujur, aku sudah tak memikirkan apapun lagi untuk kebahagiaanku. Tak ada yang aku harapkan, tak ada yang kuinginkan. Entahlah ... Aku tak putus asa. Tetapi, aku hanya takut untuk mengharapkan kebahagiaan lagi. Setiap kali aku hendak mencecap manisnya sebuah kebahagiaan, malah pahit yang aku rasakan. Jadi, biarlah kini semua berlalu seperti air yang mengalir. Mau aku bahagia atau tidak nantinya, aku hanya akan melakukan semuanya semata-mata untuk meraih ridho Allah dan kebahagiaan keluargaku. Seperti nasehat Abi, aku harus tegar dan ikhlas, inilah jalan takdir yang harus aku jalani.Semua orang sangat bahagia mendengar persetujuanku. Mereka langsung mempersiapkan seluruh persiapan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tapi baik aku dan Haidar sepakat untuk tidak membuat pesta, hanya acara ijab kabul dan syukuran saja. Kini, untuk kedua kalinya rumah megah ini dihias dengan sedemikian rupa untuk pernikahanku. Tet

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 63

    "Markisa buka!" Aku memeluk guling, itu benar Haidar. Mau apa dia sampai mengetuk pintu kamarku? Apa dia masih mau menghajarku?Ketukannya tak kunjung berhenti walaupun sedari tadi ku abaikan. Dia bahkan semakin keras mengetuk pintu. "Markisa?" panggilnya, kini suaranya sedikit melunak. Seolah sedang mengecek apakah aku ada di sini atau tidak. Setidaknya dia bisa menyebutkan namaku dengan benar, bukan? Tapi ini ..."Markisa buka, atau aku tinggal saja di sini."Aku masih diam. Setidaknya ditinggal laki-laki seperti dia itu lebih baik bagiku. "Umi nyuruh kita ke rumah Bibi. Kamu mau ikut, gak?" Aku tertegun sejenak. Oh, jadi semua orang sedang di rumah Umi? Apa Umi dan Abi sudah pulang? Aku harus ke sana juga. "Heh!" hardiknya. "Aku ke sana sendiri aja. Kamu duluan!" teriakku. Suasana hening kemudian. Aku rasa dia sudah pergi. Aku segera siap-siap. Pintu ku buka perlahan, celingak-celinguk terlebih dulu takut pria menyeramkan itu sembunyi dariku. Hingga turun dari tangga aku

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    bab 62

    "Aduh, sebenarnya Neng ini mau ke mana?" tanya abang tukang ojek entah sudah ke berapa kalinya. Aku tak tahu mobil Haidar yang mana dan tak bisa membedakannya juga dengan yang lain. Dari tadi, aku celingak celinguk ke sana ke mari, tetapi tetap tidak ketemu. Perjalanan sudah terlalu jauh untuk seorang tukang ojek. Mungkin itulah yang membuat Abang ojek ini terus bertanya."Bang, aku gak bisa menemukan orang yang sedang aku cari. Gak papa deh, Abang anterin aku ke Tengerang ya?""Hah? Apa kata Neng? Tangerang? Jauh itu, Neng!" Abang ojek protes dan berteriak-teriak kencang sambil nengok-nengok ke samping."Tolong dong, Bang ... Nanti saya bayar, kok. Anggap aja saya nyewa abang sama motornya." "Ampuun ... Si Neng ... " Bang ojek itu tetap melajukan motornya mengikuti arahan dariku walau sambil merengut. Bahkan macet pun tak berpengaruh untuk motor yang bisa salip menyalip. Aku harus bisa sampai di depan rumah Jihan sebelum Haidar. Harus!Dua jam kemudian, aku sampai di tempat yang ku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status