Home / Romansa / Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta / 8. Antara Penolakan dan Tawaran

Share

8. Antara Penolakan dan Tawaran

Author: UmmiNH
last update Last Updated: 2025-06-06 07:24:23

"Ibuu ... Ampun Bu, tolong maafkan Marisa. Marisa mau berhenti Bu, Marisa juga mau taubat. Ibu tolong maafin Marisa yang sudah salah jalan, tolong Bu..." Ku peluk kedua kaki bu panti sambil terus menangis.

Ibu terus saja terisak sambil memegang dadanya. Kulihat nadanya mulai terengah-engah. Panik, cemas, semua perasaan bercampur menjadi satu. Apalagi saat tiba-tiba ibu terduduk di kursi sambil memejam.

"Bu! Ibu kenapa Bu?!"

"Sudah, kamu pergi saja. Kamu lanjutkan saja hidupmu sendiri, anggap saja kamu tidak pernah tinggal di sini. Kamu sudah melupakan semua yang ibu ajarkan. Ibu malu punya anak seperti kamu!"

Deg!

Jantungku terasa berhenti berdetak.

"Apa Bu?" lirihku.

"Kamu pergi dari sini!" tegasnya lagi sambil melambaikan tangannya.

Jangan tanya perasaanku, kini satu-satunya tempat  kembali yang ku harapkan sebelumnya sudah tak bisa lagi menerima diriku. Harapan untuk mendapat dukungan, arahan, dan juga tempat untuk bersandar langsung hancur dalam sekejap.

Dengan tertatih aku bangkit. Kaki yang terasa begitu lemas ku paksakan untuk berdiri. "Baiklah, Terima kasih untuk semuanya, Bu. Walaupun Ibu memaksa Marisa melupakan tempat ini, Marisa tidak akan pernah bisa. Selamat tinggal Bu, semoga Ibu sehat-sehat selalu. Marisa sayang ibu ..." Tak kuasa menahan tangis saat mengatakan kalimat terakhir. Ku raih tangan ibu dan menciumnya dengan sepenuh hati.

"Maaf, Marisa sudah mengecewakan ibu sangat dalam."

Bu panti memalingkan wajahnya, namun tetap saja air mata tak hentinya turun dan membanjiri wajah yang biasanya selalu berseri itu.

Dengan hati hancur akhirnya aku pun berlari sambil menangis, teman-teman dan adik-adik yang melihatku hanya diam dengan tatapan heran. Tak ku hiraukan lagi, mereka juga pasti sama seperti ibu, menolak ku yang sudah tak layak mendapat teman ini.

"Sekarang aku harus gimana? Aku memang sekotor ini sampai ibu pun gak bisa lagi menerimaku, aku kotor aku hina, aku hina! Aku tidak pantas lagi dianggap manusia," racauku sambil memukul-mukul diri sendiri di tepi jalan.

"Aww!"

Tanpa sengaja aku menabrak seorang.

"Gladis?" ucapku dengan refleks. 

Gladis yang mendengar ku menyebut namanya pun langsung tertegun. "Kamu tahu namaku? Siapa kamu? Aku gak merasa punya kenalan yang berkerudung," ucap Gladis dengan sinis. 

Aku membuka kacamata, Gladis langsung melotot dan tercengang.

"Marisa?" ucapnya dengan keterkejutan yang luar biasa. Terlihat dari kedua matanya yang melotot serta mulutnya membentuk huruf o.

Aku menunduk, sebenarnya masih malu dan tak berani menunjukkan perubahan penampilan ini pada umum, apalagi pada teman-teman satu pekerjaannya.

"Lho ngapain di sini?" tanyanya sambil tersenyum mengejek melihat penampilanku.

Aku mengusap air mata dan menjawab, "Gue ... Gue cuma ..." ucapku dengan gugup.

"Lho abis dari pengajian?" tanya Gladis semakin meledek, memperhatikan penampilanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Nggak," jawabku sambil meraba hijab.

"Eh, udah beberapa malam gue gak lihat Lho di diskotik, kenapa Lho?" tanya Gladis lagi.

"Gak, gue gak bakalan ke sana lagi." 

"Hah? Kenapa? Karena si Maya udah mati yah? Gak papa kali, Mar, gue juga masih temen lho," ucap Gladis sambil menyentuh pundakku.

Aku tersenyum kecil, bimbang. Kini dengan berniat taubat, aku malah tak punya siapa-siapa lagi. Tapi jika aku masih melakukan pekerjaan hina itu, aku yakin tidak akan sendirian seperti sekarang. Aku akan masih punya teman, tidak sendiri seperti sekarang.

"Mar, udah! Lho ganti baju Lho ini. Bener-bener gak pantes deh cewek kaya kita ini pake baju beginian. Atau jangan-jangan Lho mau hijrah ya?" tanya Gladis sambil tertawa kecil. 

Aku masih diam, bingung harus berkata apa.

"Oh, iya. Gue ada job buat Lho, kalau Lho mau," bisik Gladis membuatku menatapnya dengan gamang.

"Job?" tanyaku.

"Iya, ada pengusaha kaya yang minta gue buat nemenin dia satu jam lagi, tapi katanya dia pengen pake dua cewe sekaligus, asik gak tuh? Yuk, ikut gue. Pasti uangnya tebel! Mumpung gue belum ngajak yang lain," ucap Gladis sambil menaik turunkan alisnya.

Bagaimana ini? Jalan mana yang harus aku pilih?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    10. Terjebak

    Kini waktu yang dinantikan tiba. Aku sudah bersiap, membawa cukup banyak baju ganti karena jaraknya yang memang jauh. Salah satu teman menawariku untuk menginap beberapa hari di rumahnya. Walau sungkan, tapi akhirnya aku setuju juga.Perjalanan sangat menyita waktu, 5 jam ke depan baru akan sampai di terminal. Entahlah, Allah mentakdirkan ku untuk punya teman baru yang terhalang jarak.Saat aku hendak mengirim chat ke Jihan, tiba-tiba beberapa orang laki-laki menyeret ku ke tempat sepi. Aku terus berontak, tapi mereka membekap mulutku dan meringkus ku dengan begitu kuat."Lepas! Siapa kalian? Ada urusan apa kalian sama aku?" teriakku begitu mereka menjebloskan ku ke dalam mobil. Namun, mereka malah pergi meninggalkanku di dalam mobil begitu saja."Heeyy! Kenapa kalian mengurungku di sini?" teriakku lagi sambil berusaha membuka pintu.Aku panik, lalu mengedarkan pandangan, seseorang tertawa dengan keras dari balik kemudi. Aku terjengkat kaget, dan semakin terkejut saat melihat kalau or

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    9. Bertahan

    Pikiranku kini bertarung, hasrat meminta untuk menyetujui ajakan Gladis yang sangat menggiurkan itu, tapi naluriku menolak. Seketika itu juga aku teringat kembali dengan mimpi yang teramat seram tadi malam. Dengan cepat aku mengerjap, berusaha meneguhkan hati."Maaf, Gladis. Gue ... Gue gak bisa," ucapku sambil mencoba berlalu meninggalkan Gladis."Udah lah, kita gak perlu berpikir buat hijrah dan taubat. Dosa kita udah terlalu banyak, Mar. Gak bakalan juga kita diampuni sama Tuhan. Mending kita nikmatin aja hidup ini, bersenang-senang dahulu, soal nanti gimana nanti aja," teriak Gladis membuat langkahku terhenti.Untuk kesekian kalinya lagi-lagi aku dibuat bingung. Entahlah ... walau sebelumnya niatku untuk berubah sudah sangat kuat, tapi aku selalu merasa was-was, seperti ada bisikan-bisikan yang terus berusaha untuk menggoyahkan tekadku. Bagaikan aku ini sebuah pohon kelapa tinggi di tengah lapangan, diterjang angin topan dan badai yang membuatku terombang-ambing ke sana ke mari.T

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    8. Antara Penolakan dan Tawaran

    "Ibuu ... Ampun Bu, tolong maafkan Marisa. Marisa mau berhenti Bu, Marisa juga mau taubat. Ibu tolong maafin Marisa yang sudah salah jalan, tolong Bu..." Ku peluk kedua kaki bu panti sambil terus menangis.Ibu terus saja terisak sambil memegang dadanya. Kulihat nadanya mulai terengah-engah. Panik, cemas, semua perasaan bercampur menjadi satu. Apalagi saat tiba-tiba ibu terduduk di kursi sambil memejam."Bu! Ibu kenapa Bu?!""Sudah, kamu pergi saja. Kamu lanjutkan saja hidupmu sendiri, anggap saja kamu tidak pernah tinggal di sini. Kamu sudah melupakan semua yang ibu ajarkan. Ibu malu punya anak seperti kamu!" Deg!Jantungku terasa berhenti berdetak."Apa Bu?" lirihku."Kamu pergi dari sini!" tegasnya lagi sambil melambaikan tangannya.Jangan tanya perasaanku, kini satu-satunya tempat kembali yang ku harapkan sebelumnya sudah tak bisa lagi menerima diriku. Harapan untuk mendapat dukungan, arahan, dan juga tempat untuk bersandar langsung hancur dalam sekejap.Dengan tertatih aku bangk

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    7. Langkah Baru

    Aku Marisa, dan aku wanita muslimah. Kutekankan itu dalam hati sambil memandang pantulan diri di cermin. Di mana seorang perempuan berhijab terlihat di sana.Aku merasa terlahir kembali ke dunia dalam pribadi yang berbeda. Ya, ini saatnya kulupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku. Menata hati dan hidup dengan sebaik mungkin untuk menjalani hari-hari yang baru. Melukiskan kenangan yang lebih baik untukku kenang kelak. Aku tak mau hidup sendirian lagi. Bagaimana nanti kalau tiba-tiba saja aku mati di sini, dan tak ada orang yang tahu. Aku ingin kembali ke panti, tetapi apa mereka akan menerimaku?Segera ku sambar tas dan mulai melangkah keluar dari kontrakan. Tak ku hiraukan tatapan melongo dari para tetangga yang melihatku dengan penampilan berbeda. Hanya senyuman kecil dan anggukkan kepala yang kulakukan."Assalaamu'alaikum, Ibu," ucapku begitu sampai di tempat ibu panti.Seorang wanita dengan memakai jubah dan hijab lebar datang mendekati, tatapannya menunjukan kebingungan.

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    6. Mimpi

    "Marisaaaaaaaaa....." Suara teriakan itu begitu melengking memekakan telinga. Aku celingukan, mencari sumber suara yang terus berteriak memanggil. Dengan berlari aku terus menyusuri tempat ini. Tempat yang begitu asing. Hawa panas sangat mendominasi tempat ini, ditambah lagi cahaya jingga kemerah-merahan terus membuncah mewarnai dinding-dinding tempat kini aku berada. Aku kepanasan, peluh bercucuran dengan hebat. "Marisaaaaaaaaa......" Lagi-lagi suara itu kembali terdengar, aku semakin mempercepat langkah untuk menuju sumber suara. Aku yakin, suara itu adalah Maya. Maya memanggilku. Langkahku langsung terhenti saat memasuki sebuah tempat yang begitu menyala, tempatku berdiri sekarang dikelilingi oleh sesuatu yang mirip dengan lava atau lahar panas gunung meletus. Lava itu terus mengepulkan asap sambil meletup-letup, membuat siapapun yang melihatnya pasti langsung menilai kalau lava itu sangatlah panas. "Marisaaaaaaaa...." Aku menoleh, mataku langsung membulat sempurna saat m

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    5. Teguran

    "Hei berenti!" Aku menoleh ke belakang, rasa panik langsung menjalar ke sekujur tubuhku saat melihat anak buah bos berlari berusaha menggapai ku. Ingin kabur, tapi aku akan semakin kena masalah jika dianggap menghindar. Dua pria berpakaian serba hitam dengan perawakan tinggi besar itu menarik ku ke dalam gang kecil di samping jalan. Mereka mengunciku, membuatku tak bisa berkutik sedikitpun. "Ada apa ini?" tanyaku. Tak lama kemudian seseorang muncul. Bos, dia pun ada di sini rupanya. Apa mereka di sini memang sengaja untuk mencari ku? "Gimana kabarmu, Marisa?" tanya pria berjanggut panjang itu. "A-aku baik. Ini ada apa, Bos? Kenapa aku diserang begini? Lepasin aku!" Bos memberikan isyarat pada anak buahnya yang langsung melepaskanku. Pria ber-aura kejam itu tersenyum kecil. "Sudah tiga malam kamu tidak masuk kerja. Kenapa? Mau lari, hah?" Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. "Jangan coba-coba macam-macam dengan saya, Marisa." "Aku ... Aku gak berni

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status