Aku Marisa, dan aku wanita muslimah. Kutekankan itu dalam hati sambil memandang pantulan diri di cermin. Di mana seorang perempuan berhijab terlihat di sana.
Aku merasa terlahir kembali ke dunia dalam pribadi yang berbeda. Ya, ini saatnya kulupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku. Menata hati dan hidup dengan sebaik mungkin untuk menjalani hari-hari yang baru. Melukiskan kenangan yang lebih baik untukku kenang kelak. Aku tak mau hidup sendirian lagi. Bagaimana nanti kalau tiba-tiba saja aku mati di sini, dan tak ada orang yang tahu. Aku ingin kembali ke panti, tetapi apa mereka akan menerimaku? Segera ku sambar tas dan mulai melangkah keluar dari kontrakan. Tak ku hiraukan tatapan melongo dari para tetangga yang melihatku dengan penampilan berbeda. Hanya senyuman kecil dan anggukkan kepala yang kulakukan. "Assalaamu'alaikum, Ibu," ucapku begitu sampai di tempat ibu panti. Seorang wanita dengan memakai jubah dan hijab lebar datang mendekati, tatapannya menunjukan kebingungan. Ibu menyipitkan mata melihatku. Seorang perempuan memakai pakaian syar'i dengan hijab modern yang melilit di kepala, ditambah dengan kacamata hitam yang membuat bu panti semakin terlihat tak mengenaliku. "Wa'alaikumussalaam... Siapa ya?" tanyanya. Aku dengan cepat meraih tangan ibu panti dan menciumnya, lalu kemudian berhambur memeluk ibu yang sudah membesarkan ku itu. Tiba-tiba saja mata ini menganak sungai saat melihat raut wajah ibu yang selalu memancarkan kasih sayang. Rasaku membuncah, ingin memberitahu ibu tentang masalahku. Aku butuh tempat untuk bersandar, aku butuh dukungan dalam langkah yang baru kupijak ini. Aku masih sangat membutuhkan bimbingan. Ibu membiarkanku menumpahkan seluruh kesedihan dan beban yang sebelumnya berusaha ku telan sendiri. Hingga kemudian ku rasakan sebuah belaian pada kepala, serta merambat ke punggung. Ibu pasti sudah mengenaliku. "Ayo masuk, kita bicara di dalam." Ibu panti merangkulku, kemudian menutup pintu, menciptakan ruang privasi antara kami berdua. "Marisa, kamu kenapa? Ada apa?" tanya ibu sambil menyentuh punggung tanganku yang saling meremas. "Emm, Bu, s-sebenarnya ... Marisa ingin bercerita, tapii ..." "Cerita saja, Nak, bukankah ibu sudah bilang sama kamu, kalau kamu butuh ibu, ibu akan selalu ada buat kamu." "Tapi Bu, Marisa takut Ibu ... Ibu tidak mau menerima Marisa lagi nantinya." "Gak papa, cerita saja," ucapnya setelah terdiam beberapa saat. Aku mengangkat wajah, menatap wajah teduh ibu panti yang tersenyum seolah memberiku kekuatan kalau semuanya akan baik-baik saja. "Ibu, Marisa... Marisa sudah kotor Bu, Marisa.. Marisa menjadi pendosa Bu," ucapku sambil kembali terisak. Sejenak ibu panti terlihat terkejut. Entah beliau sudah mengerti maksudku atau belum. Ibu masih diam tanpa kata. Sedangkan aku masih terus menangis hingga nafas tersengal-sengal. Beberapa menit sudah berlalu, masih tak ada yang keluar dari bibir ibu panti, beliau hanya mengulurkan tangannya dan mengelus punggungku lembut. "Nak, ibu juga sama, pendosa yang belum bisa menjadi ahli ibadah. Sudahlah, tenangkan dirimu. Allah maha pemaaf, Nak," ucap ibu panti. "Bu, Marisa ... Marisa selama ini jadi pelacur." Kedua mata ibu membola sempurna. Ia membeku, tak bergerak sedikitpun. Perasaanku mulai merasa tak enak melihat raut wajahnya yang jelas berubah. "Tidak, ibu ... Ibu tidak percaya," lirihnya dengan tatapan lurus ke depan. Tangannya yang semula memelukku mulai jatuh. "Bu, Ibu gak papa kan?" tanyaku. Bu panti masih belum tersadar, aku memutuskan untuk mengambil air minum dan memberikannya pada ibu panti. Ibu meminumnya dan terlihat lebih tenang. Aku menatap ibu dengan takut, jelas sekali kalau ibu sangat terkejut mendengar pengakuanku. Jika ibu panti tidak bisa menerimaku lagi, aku benar-benar tidak punya siapa-siapa di dunia ini. "Bu ..." Aku mencoba memegang pundak bu panti, namun sangat tak terduga, bu panti menghindar dan menatapku dengan tatapan penuh luka. "Kamu bohong, kan?" tanyanya. Aku menggeleng pasrah. "Kamu kecewakan ibu, Marisa. Hati ibu sakit mendengar semua itu. Kenapa Mar? Kenapa kamu melakukan itu?" Bu panti bertanya sambil mengguncang pundakku. Nadanya meninggi, terlihat emosi. Aku kembali terisak, akhirnya apa yang ku takutkan terjadi juga. Memang, siapa lah yang akan sudi menerima wanita kotor dan hina sepertiku? Aku bahkan sudah tega melukai hati ibu asuhku dengan pekerjaan hina itu. Ya, seharusnya aku pikirkan ini sedari dulu. "Apa tak ada lagi pekerjaan lain? Apa kamu senang dengan pekerjaan mu itu?" Suara bu panti semakin meninggi dan menuntut, membuatku takut dan menangis sejadi-jadinya.Aku masuk ke dalam kamar, terlihat Haidar sedang khusyuk membaca ayat suci. Suaranya hanya bisa terdengar sayup-sayup olehku. Namun, aku tahu dia begitu menghayati setiap kalimat dan ayat yang dia lantunkan. Apakah Haidar mengerti arti dari apa yang baca?Selesai membaca Al-Qur'an, Haidar langsung menoleh ke arahku. Tatapannya datar seperti biasa. Nampaknya dia berusaha mengalihkan rasa gugupnya setelah tadi digoda keluarga dengan membaca Al-Qur'an itu. "Apa kamu?" tanyanya sambil bangkit. Aku tertegun. Maksudnya gimana?"Aku manusia." "Bukan markisa?" Aku nyengir sebal. "Jangan merusak namaku seperti itu." Haidar tak menyahut lagi, tapi dia berjalan ke arah pintu keluar. "Tidur!" ucapnya membuatku merasa dihardik. Dia ini kenapa jutek sekali, sih?Pintu tertutup kemudian. Aku menghela nafas. Sabar, Marisa. Aku beringsut naik ke atas tempat tidur, kemudian menarik selimut. Baru saja hendak berbaring, pintu kembali terbuka. Haidar masuk lagi dengan wajah kacau. Aku langsung dudu
Selesai mandi, aku celingukan dengan panik saat tak mendapati baju ganti. Aku menepuk jidat ketika teringat aku lupa tak membawanya. Dan, tak ada kimono juga di sini. Hanya ada handuk biasa yang hanya membalut tubuhku dari dada hingga paha. Bagaimana ini?? "Cepat, Markisa! Aku ingin mandi sekarang." Teriakan Haidar itu membuatku semakin panik dan ketar ketir. Ah! Sial sekali aku. Bagaimana sekarang? Apa aku harus keluar dengan handuk ini? Toh, dia sudah sah menjadi suamiku? Tetapii ... Rasanya aku belum berani. Dan kalau aku tetap diam di sini, dia pasti marah dan mendobrak pintunya. Ah, bagaimana ini?"Markisa! Kamu sedang apa sih?" Kleeekk ...Kubuka pintu sedikit saja, menampilkan sebelah mataku mengintip ke balik pintu. Seketika Haidar muncul dan mendorong pintu cukup kuat hingga membuatku terkejut, dengan segera ku dorong pintu tersebut hingga kami pun saling dorong mendorong beberapa saat."Eh, ini perempuan maunya apa, sih?" ucapnya sambil terus berusaha mendorong pintu. Den
"Ya Allah, Marisa, kamu cantik sekali." Ibu Panti langsung berhambur memelukku. Tanganku bersambut membalas pelukannya dengan hati mengambang."Kakak Marisa sangat cantik." Beberapa anak panti yang memang dekat denganku pun ikut mengatakan hal yang sama. Aku tersenyum tipis, lalu mengusap kepala mereka satu persatu."Iya, Kakak Marisa sangat cantik. Dan Kakak Suami juga sangat tampan," celoteh Gina, balita berusia empat tahun. Pujian mereka seakan sebuah angin lalu bagiku. Aku tahu, mereka hanya ingin menghiburku saja. "Marisa ... " Aku memutar badan ke belakang, Umi dan Abi dari A Luqman tersenyum bahagia menatapku. Ku peluk mereka satu persatu, mau tak mau aku menangis di sini. "Jangan nangis, semoga pernikahan kalian dirahmati Allah, dan kalian bahagia selamanya."Aku tersenyum tipis. "Aamiiin.""Ayo duduk di sana, Kak." Jihan menegurku. Lalu ia menuntunku semakin mendekati pria yang sudah merusak namaku itu. Haidar langsung menggeser duduknya begitu aku duduk. Tidak masalah,
Setidaknya melihat orang lain bahagia karena aku itu yang terbaik. Karena jujur, aku sudah tak memikirkan apapun lagi untuk kebahagiaanku. Tak ada yang aku harapkan, tak ada yang kuinginkan. Entahlah ... Aku tak putus asa. Tetapi, aku hanya takut untuk mengharapkan kebahagiaan lagi. Setiap kali aku hendak mencecap manisnya sebuah kebahagiaan, malah pahit yang aku rasakan. Jadi, biarlah kini semua berlalu seperti air yang mengalir. Mau aku bahagia atau tidak nantinya, aku hanya akan melakukan semuanya semata-mata untuk meraih ridho Allah dan kebahagiaan keluargaku. Seperti nasehat Abi, aku harus tegar dan ikhlas, inilah jalan takdir yang harus aku jalani.Semua orang sangat bahagia mendengar persetujuanku. Mereka langsung mempersiapkan seluruh persiapan untuk melangsungkan acara pernikahan. Tapi baik aku dan Haidar sepakat untuk tidak membuat pesta, hanya acara ijab kabul dan syukuran saja. Kini, untuk kedua kalinya rumah megah ini dihias dengan sedemikian rupa untuk pernikahanku. Tet
"Markisa buka!" Aku memeluk guling, itu benar Haidar. Mau apa dia sampai mengetuk pintu kamarku? Apa dia masih mau menghajarku?Ketukannya tak kunjung berhenti walaupun sedari tadi ku abaikan. Dia bahkan semakin keras mengetuk pintu. "Markisa?" panggilnya, kini suaranya sedikit melunak. Seolah sedang mengecek apakah aku ada di sini atau tidak. Setidaknya dia bisa menyebutkan namaku dengan benar, bukan? Tapi ini ..."Markisa buka, atau aku tinggal saja di sini."Aku masih diam. Setidaknya ditinggal laki-laki seperti dia itu lebih baik bagiku. "Umi nyuruh kita ke rumah Bibi. Kamu mau ikut, gak?" Aku tertegun sejenak. Oh, jadi semua orang sedang di rumah Umi? Apa Umi dan Abi sudah pulang? Aku harus ke sana juga. "Heh!" hardiknya. "Aku ke sana sendiri aja. Kamu duluan!" teriakku. Suasana hening kemudian. Aku rasa dia sudah pergi. Aku segera siap-siap. Pintu ku buka perlahan, celingak-celinguk terlebih dulu takut pria menyeramkan itu sembunyi dariku. Hingga turun dari tangga aku
"Aduh, sebenarnya Neng ini mau ke mana?" tanya abang tukang ojek entah sudah ke berapa kalinya. Aku tak tahu mobil Haidar yang mana dan tak bisa membedakannya juga dengan yang lain. Dari tadi, aku celingak celinguk ke sana ke mari, tetapi tetap tidak ketemu. Perjalanan sudah terlalu jauh untuk seorang tukang ojek. Mungkin itulah yang membuat Abang ojek ini terus bertanya."Bang, aku gak bisa menemukan orang yang sedang aku cari. Gak papa deh, Abang anterin aku ke Tengerang ya?""Hah? Apa kata Neng? Tangerang? Jauh itu, Neng!" Abang ojek protes dan berteriak-teriak kencang sambil nengok-nengok ke samping."Tolong dong, Bang ... Nanti saya bayar, kok. Anggap aja saya nyewa abang sama motornya." "Ampuun ... Si Neng ... " Bang ojek itu tetap melajukan motornya mengikuti arahan dariku walau sambil merengut. Bahkan macet pun tak berpengaruh untuk motor yang bisa salip menyalip. Aku harus bisa sampai di depan rumah Jihan sebelum Haidar. Harus!Dua jam kemudian, aku sampai di tempat yang ku