Share

7. Langkah Baru

Penulis: UmmiNH
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-06 07:23:40

Aku Marisa, dan aku wanita muslimah. Kutekankan itu dalam hati sambil memandang pantulan diri di cermin. Di mana seorang perempuan berhijab terlihat di sana.

Aku merasa terlahir kembali ke dunia dalam pribadi yang berbeda. Ya, ini saatnya kulupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku. Menata hati dan hidup dengan sebaik mungkin untuk menjalani hari-hari yang baru. Melukiskan kenangan yang lebih baik untukku kenang kelak.

Aku tak mau hidup sendirian lagi. Bagaimana nanti kalau tiba-tiba saja aku mati di sini, dan tak ada orang yang tahu. Aku ingin kembali ke panti, tetapi apa mereka akan menerimaku?

Segera ku sambar tas dan mulai melangkah keluar dari kontrakan. Tak ku hiraukan tatapan melongo dari para tetangga yang melihatku dengan penampilan berbeda. Hanya senyuman kecil dan anggukkan kepala yang kulakukan.

"Assalaamu'alaikum, Ibu," ucapku begitu sampai di tempat ibu panti.

Seorang wanita dengan memakai jubah dan hijab lebar datang mendekati, tatapannya menunjukan kebingungan.

Ibu menyipitkan mata melihatku. Seorang perempuan memakai pakaian syar'i dengan hijab modern yang melilit di kepala, ditambah dengan kacamata hitam yang membuat bu panti semakin terlihat tak mengenaliku.

"Wa'alaikumussalaam... Siapa ya?" tanyanya.

Aku dengan cepat meraih tangan ibu panti dan menciumnya, lalu kemudian berhambur memeluk ibu yang sudah membesarkan ku itu.

Tiba-tiba saja mata ini menganak sungai saat melihat raut wajah ibu yang selalu memancarkan kasih sayang. Rasaku membuncah, ingin memberitahu ibu tentang masalahku. Aku butuh tempat untuk bersandar, aku butuh dukungan dalam langkah yang baru kupijak ini. Aku masih sangat membutuhkan bimbingan.

Ibu membiarkanku menumpahkan seluruh kesedihan dan beban yang sebelumnya berusaha ku telan sendiri. Hingga kemudian ku rasakan sebuah belaian pada kepala, serta merambat ke punggung. Ibu pasti sudah mengenaliku.

"Ayo masuk, kita bicara di dalam." Ibu panti merangkulku, kemudian menutup pintu, menciptakan ruang privasi antara kami berdua.

"Marisa, kamu kenapa? Ada apa?" tanya ibu sambil menyentuh punggung tanganku yang saling meremas.

"Emm, Bu, s-sebenarnya ... Marisa ingin bercerita, tapii ..."

"Cerita saja, Nak, bukankah ibu sudah bilang sama kamu, kalau kamu butuh ibu, ibu akan selalu ada buat kamu."

"Tapi Bu, Marisa takut Ibu ... Ibu tidak mau menerima Marisa lagi nantinya." 

"Gak papa, cerita saja," ucapnya setelah terdiam beberapa saat.

Aku mengangkat wajah, menatap wajah teduh ibu panti yang tersenyum seolah memberiku kekuatan kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Ibu, Marisa... Marisa sudah kotor Bu, Marisa.. Marisa menjadi pendosa Bu," ucapku sambil kembali terisak.

Sejenak ibu panti terlihat terkejut. Entah beliau sudah mengerti maksudku atau belum. Ibu masih diam tanpa kata. Sedangkan aku masih terus menangis hingga nafas tersengal-sengal. Beberapa menit sudah berlalu, masih tak ada yang keluar dari bibir ibu panti, beliau hanya mengulurkan tangannya dan mengelus punggungku lembut.

"Nak, ibu juga sama, pendosa yang belum bisa menjadi ahli ibadah. Sudahlah, tenangkan dirimu. Allah maha pemaaf, Nak," ucap ibu panti.

"Bu, Marisa ... Marisa selama ini jadi pelacur." 

Kedua mata ibu membola sempurna. Ia membeku, tak bergerak sedikitpun. Perasaanku mulai merasa tak enak melihat raut wajahnya yang jelas berubah.

"Tidak, ibu ... Ibu tidak percaya," lirihnya dengan tatapan lurus ke depan. Tangannya yang semula memelukku mulai jatuh.

"Bu, Ibu gak papa kan?" tanyaku.

Bu panti masih belum tersadar, aku memutuskan untuk mengambil air minum dan memberikannya pada ibu panti. Ibu meminumnya dan terlihat lebih tenang. Aku menatap ibu dengan takut, jelas sekali kalau ibu sangat terkejut mendengar pengakuanku. Jika ibu panti tidak bisa menerimaku lagi, aku benar-benar tidak punya siapa-siapa di dunia ini.

"Bu ..." Aku mencoba memegang pundak bu panti, namun sangat tak terduga, bu panti menghindar dan menatapku dengan tatapan penuh luka.

"Kamu bohong, kan?" tanyanya.

Aku menggeleng pasrah.

"Kamu kecewakan ibu, Marisa. Hati ibu sakit mendengar semua itu. Kenapa Mar? Kenapa kamu melakukan itu?" Bu panti bertanya sambil mengguncang pundakku. Nadanya meninggi, terlihat emosi.

Aku kembali terisak, akhirnya apa yang ku takutkan terjadi juga. Memang, siapa lah yang akan sudi menerima wanita kotor dan hina sepertiku? Aku bahkan sudah tega melukai hati ibu asuhku dengan pekerjaan hina itu. Ya, seharusnya aku pikirkan ini sedari dulu.

"Apa tak ada lagi pekerjaan lain? Apa kamu senang dengan pekerjaan mu itu?" Suara bu panti semakin meninggi dan menuntut, membuatku takut dan menangis sejadi-jadinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    10. Terjebak

    Kini waktu yang dinantikan tiba. Aku sudah bersiap, membawa cukup banyak baju ganti karena jaraknya yang memang jauh. Salah satu teman menawariku untuk menginap beberapa hari di rumahnya. Walau sungkan, tapi akhirnya aku setuju juga.Perjalanan sangat menyita waktu, 5 jam ke depan baru akan sampai di terminal. Entahlah, Allah mentakdirkan ku untuk punya teman baru yang terhalang jarak.Saat aku hendak mengirim chat ke Jihan, tiba-tiba beberapa orang laki-laki menyeret ku ke tempat sepi. Aku terus berontak, tapi mereka membekap mulutku dan meringkus ku dengan begitu kuat."Lepas! Siapa kalian? Ada urusan apa kalian sama aku?" teriakku begitu mereka menjebloskan ku ke dalam mobil. Namun, mereka malah pergi meninggalkanku di dalam mobil begitu saja."Heeyy! Kenapa kalian mengurungku di sini?" teriakku lagi sambil berusaha membuka pintu.Aku panik, lalu mengedarkan pandangan, seseorang tertawa dengan keras dari balik kemudi. Aku terjengkat kaget, dan semakin terkejut saat melihat kalau or

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    9. Bertahan

    Pikiranku kini bertarung, hasrat meminta untuk menyetujui ajakan Gladis yang sangat menggiurkan itu, tapi naluriku menolak. Seketika itu juga aku teringat kembali dengan mimpi yang teramat seram tadi malam. Dengan cepat aku mengerjap, berusaha meneguhkan hati."Maaf, Gladis. Gue ... Gue gak bisa," ucapku sambil mencoba berlalu meninggalkan Gladis."Udah lah, kita gak perlu berpikir buat hijrah dan taubat. Dosa kita udah terlalu banyak, Mar. Gak bakalan juga kita diampuni sama Tuhan. Mending kita nikmatin aja hidup ini, bersenang-senang dahulu, soal nanti gimana nanti aja," teriak Gladis membuat langkahku terhenti.Untuk kesekian kalinya lagi-lagi aku dibuat bingung. Entahlah ... walau sebelumnya niatku untuk berubah sudah sangat kuat, tapi aku selalu merasa was-was, seperti ada bisikan-bisikan yang terus berusaha untuk menggoyahkan tekadku. Bagaikan aku ini sebuah pohon kelapa tinggi di tengah lapangan, diterjang angin topan dan badai yang membuatku terombang-ambing ke sana ke mari.T

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    8. Antara Penolakan dan Tawaran

    "Ibuu ... Ampun Bu, tolong maafkan Marisa. Marisa mau berhenti Bu, Marisa juga mau taubat. Ibu tolong maafin Marisa yang sudah salah jalan, tolong Bu..." Ku peluk kedua kaki bu panti sambil terus menangis.Ibu terus saja terisak sambil memegang dadanya. Kulihat nadanya mulai terengah-engah. Panik, cemas, semua perasaan bercampur menjadi satu. Apalagi saat tiba-tiba ibu terduduk di kursi sambil memejam."Bu! Ibu kenapa Bu?!""Sudah, kamu pergi saja. Kamu lanjutkan saja hidupmu sendiri, anggap saja kamu tidak pernah tinggal di sini. Kamu sudah melupakan semua yang ibu ajarkan. Ibu malu punya anak seperti kamu!" Deg!Jantungku terasa berhenti berdetak."Apa Bu?" lirihku."Kamu pergi dari sini!" tegasnya lagi sambil melambaikan tangannya.Jangan tanya perasaanku, kini satu-satunya tempat kembali yang ku harapkan sebelumnya sudah tak bisa lagi menerima diriku. Harapan untuk mendapat dukungan, arahan, dan juga tempat untuk bersandar langsung hancur dalam sekejap.Dengan tertatih aku bangk

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    7. Langkah Baru

    Aku Marisa, dan aku wanita muslimah. Kutekankan itu dalam hati sambil memandang pantulan diri di cermin. Di mana seorang perempuan berhijab terlihat di sana.Aku merasa terlahir kembali ke dunia dalam pribadi yang berbeda. Ya, ini saatnya kulupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku. Menata hati dan hidup dengan sebaik mungkin untuk menjalani hari-hari yang baru. Melukiskan kenangan yang lebih baik untukku kenang kelak. Aku tak mau hidup sendirian lagi. Bagaimana nanti kalau tiba-tiba saja aku mati di sini, dan tak ada orang yang tahu. Aku ingin kembali ke panti, tetapi apa mereka akan menerimaku?Segera ku sambar tas dan mulai melangkah keluar dari kontrakan. Tak ku hiraukan tatapan melongo dari para tetangga yang melihatku dengan penampilan berbeda. Hanya senyuman kecil dan anggukkan kepala yang kulakukan."Assalaamu'alaikum, Ibu," ucapku begitu sampai di tempat ibu panti.Seorang wanita dengan memakai jubah dan hijab lebar datang mendekati, tatapannya menunjukan kebingungan.

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    6. Mimpi

    "Marisaaaaaaaaa....." Suara teriakan itu begitu melengking memekakan telinga. Aku celingukan, mencari sumber suara yang terus berteriak memanggil. Dengan berlari aku terus menyusuri tempat ini. Tempat yang begitu asing. Hawa panas sangat mendominasi tempat ini, ditambah lagi cahaya jingga kemerah-merahan terus membuncah mewarnai dinding-dinding tempat kini aku berada. Aku kepanasan, peluh bercucuran dengan hebat. "Marisaaaaaaaaa......" Lagi-lagi suara itu kembali terdengar, aku semakin mempercepat langkah untuk menuju sumber suara. Aku yakin, suara itu adalah Maya. Maya memanggilku. Langkahku langsung terhenti saat memasuki sebuah tempat yang begitu menyala, tempatku berdiri sekarang dikelilingi oleh sesuatu yang mirip dengan lava atau lahar panas gunung meletus. Lava itu terus mengepulkan asap sambil meletup-letup, membuat siapapun yang melihatnya pasti langsung menilai kalau lava itu sangatlah panas. "Marisaaaaaaaa...." Aku menoleh, mataku langsung membulat sempurna saat m

  • Antara Dendam, Hijrah, dan Cinta    5. Teguran

    "Hei berenti!" Aku menoleh ke belakang, rasa panik langsung menjalar ke sekujur tubuhku saat melihat anak buah bos berlari berusaha menggapai ku. Ingin kabur, tapi aku akan semakin kena masalah jika dianggap menghindar. Dua pria berpakaian serba hitam dengan perawakan tinggi besar itu menarik ku ke dalam gang kecil di samping jalan. Mereka mengunciku, membuatku tak bisa berkutik sedikitpun. "Ada apa ini?" tanyaku. Tak lama kemudian seseorang muncul. Bos, dia pun ada di sini rupanya. Apa mereka di sini memang sengaja untuk mencari ku? "Gimana kabarmu, Marisa?" tanya pria berjanggut panjang itu. "A-aku baik. Ini ada apa, Bos? Kenapa aku diserang begini? Lepasin aku!" Bos memberikan isyarat pada anak buahnya yang langsung melepaskanku. Pria ber-aura kejam itu tersenyum kecil. "Sudah tiga malam kamu tidak masuk kerja. Kenapa? Mau lari, hah?" Glek! Aku menelan ludah dengan susah payah. "Jangan coba-coba macam-macam dengan saya, Marisa." "Aku ... Aku gak berni

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status