Share

Antara Dilema & Cinta
Antara Dilema & Cinta
Penulis: Faver

1. Kecoa Terbang

Teet...teet....teet....

Alarm digital terdengar menggema di kamar Gracia. Kamar besar yang bisa dibilang mewah.

Namun karena Gracia tidak pernah mau membersihkannya, apalagi setiap kali dia menghabiskan semangkok mie ayam Mang Parman, sebotol air soda, buku-buku romantis ala drakor yang baru ia baca semalam.

Kamarnya seperti layaknya sarang tikus.

Direntangkan tangannya, keluar dari selimut. Selimut tebal yang ia tutupi sampai wajahnya. Tangannya meraba-raba ke meja di sampingnya. Sampai ia menemukan target, dipencetnya kasar.

"Hoam..., Kenapa hari ini harus senin lagi? Tidak bisakah aku tidak harus bekerja di kantor sialan itu." gerutunya.

Matanya nampak seperti zombie pagi ini. Semalaman, setelah ia membaca buku novel, ia lanjutkan dengan menonton drama korea.

Apapun drama korea yang trending apalagi terbaru pasti masuk ke dalam daftarnya.

"Gracia, ayo makan! Sudah jam berapa ini?" teriak Ibu Gracia. Arahnya dari lantai bawah, lebih tepatnya di dapur.

"Iya. Setelah aku mandi ya!" teriaknya balik.

Pagi ini alarmnya berbunyi telat. Ia salah mengatur jamnya.

"Aaaa!" teriaknya sekali lagi. Ia melompat-lompat tak karuan di kamar mandi.

Ibunya yang di bawah, bergegas naik tangga, memastikan anaknya tidak menghancurkan barang lagi. Ibunya sudah terbiasa, jika barang milik Gracia rusak. Ceroboh.

"Barang apa lagi yang kau rusakkan, Gracia?"

"Ada kecoa lewat, ma!" Ia bergegas keluar dari kamar mandi. Berlompatan geli. Masih terbayang saat kecoa itu balik memandangnya sebelum kecoa itu pergi entah kemana, "Iih!!!"

"Makanya, Mama kan udah pernah bilang, rapikan barang-barang kamu. Atau setidaknya itu tuh...bekas makananmu taruh di dapur atau buang ke tong sampah. Ngeyel sih jadi anak." Ibunya memang cukup geram dengan anak gadis satu-satunya ini.

"Coba lihat abangmu itu loh...kamarnya rapi, bersih, wangi lagi..kok anak-anak mama semua kebalik. Haduhhh...bisa pusing Mama. Ayo, cepetan turun. Udah jam berapa tuh, "

"Lalu kecoanya?"

"Ajak sarapan bareng aja di bawah."

"Mama!!!"

Dua puluh menit kemudian. Gracia sudah rapi. Hari ini ia memakai setelan berwarna merah muda. Warna kesukannya. Baju putih dengan jas lengan panjang dan celana panjang berwarna merah muda.

Kemudian, mengambil tas jinjing kecil berwarna putih. Melempar HP, bedak, lipstik, tisu, kunci rumah dengan asal ke dalamnya.

"Ciee..yang habis dimarahin mama, hahahaha", olok Abang Gracia.

"Dasar, sok rapi. Anda cowok atau bukan?"

"Dasar, kotor. Anda cewek atau bukan?"

"Iih"

"Iih"

"Sekali lagi kau ngulang kalimatku. Kulempar kecoa ke mulutmu,"

"Coba aja. Mana kecoanya?"

"Belum ketemu. Tunggu kalau ketemu, kuminta dia mampir ke kamarmu." Gracia memakan sandwichnya dengan gusar. Sambil meminum segelas susu hangat.

Tiba-tiba Abang Gracia terdiam. Wajahnya mendekat ke arahnya. Berbisik. "Itu di belakangmu ada kecoa loh."

"Apa?" spontan ia teriak dan berdiri. Tangannya menyenggol segelas susu hangat. Isinya tertumpah ke meja, mengalir terus ke lantai.

"Hahahaha", gelak tawa abangnya menggelegar.

"Iiih, Eric!"

"Apa lagi ini? Astaga, Gracia! Kamu mau pecahkan gelas mama juga? Itu gelas mahal loh. Papa beli di Paris sana. Jauh-jauh naik turun pesawat. Kamu mau pecahkan begitu aja?" Ibu melipat kedua tangannya di dada, "Dan jangan panggil abangmu hanya dengan nama. Tidak sopan."

"Kami cuman beda setahun, Ma. Salahnya dia kenapa lahir duluan."

"Eh, Gracia..!"

"Aku pergi dulu. Bye-bye." Ia mengambil potongan terakhir sandwichnya. Lalu segera berlari. Mengambil skuternya. Lalu melaju ke jalanan.

'Sial, aku seharusnya tidak mempercayai keisengan Eric. Jadinya aku lagi yang kena marah, Sial'

Skuter hijaunya melaju ke jalanan besar. Lagi-lagi yang ia ketemu adalah kemacetan. Setiap mendekati jam delapan pagi, pasti ada aja kemacetan.

Ditambah truk-truk pengangkut bahan pokok serta bahan bangunan. Menambah ketakutan hakiki jika tertimpak olehnya.

"Kau telat lagi Gracia!" Seorang wanita berambut pendek berdiri di depan pintu. Di bagian depan pintu tertulis "Ruang editor".

"Maaf, bu! Tadi jalanan macet sekali. Aku sudah berusaha nyelip dari tadi," jawabnya ngos-ngosan. Ia hampir kehabisan napas.

Bagaimana tidak? Jarak antara parkiran dan mesin absen kira-kira sepuluh meter jauhnya. Belum lagi, mesin absen adalah langganan antrian setiap pagi. Gila.

"Rumah kita searah. Tapi saya tidak ada kemacetan apapun. Mulus-mulus saja. Kamunya saja yang bangunnya telat. Anak gadis kok kalah sama ibu-ibu. Cih." Ia membalikkan badannya. Masuk ke dalam kantor. Duduk di tempatnya.

'Yah gak macet lah, yang diantar jemput sama suami tercinta setiap hari. Belum lagi nyetirnya.. wuhuuu...pembalap kelas dunia aja kalah.'

Gracia memicingkan matanya, tajam ke arah wanita itu. Wanita itu sudah duduk dan kepalanya telah terbenam, ditutup oleh layar komputer.

"Sabar Gracia. Dia itu seniormu loh itu!" Kini seorang gadis berdiri di belakangnya. Ia baru saja keluar dari ruang editor. Namun, ada lain satu hal yang membuatnya harus kembali ke ruangan itu.

"Sabar kamu bilang? Aku telat ditegur, anak-anak lain telat ditegur. Kalau dia telat? Kenapa gak ada yang mau tegur?" Gracia geram. Ia menggigit bibir bagian bawahnya.

"Makanya jadi kepala dulu sana. Itu saatnya dirimu tegur yang lain. Gimana?"

"Tak lucu Ananta." Mukanya merengut. Ia menoleh sedikit ke arah tangan Ananta, melihat berkas-berkas yang digenggam sahabatnya ini. "Revisi lagi?"

"Iya. Ini udah yang ketujuh kali."

"Emang itu orang minta disambal otaknya. Tak tahu apa dirimu udah kerja barang itu terus menerus dari dua minggu yang lalu?"

"Sudah-sudah. Itu urat lehermu itu loh. Udah mau keluar kayaknya. Hahahaha."

"Oo..udah pandai nge-bully ya kamu."

"Piece. Udah-udah ayok. Bantu aku revisi ini yuk. Wahai, editorku!"

"Iya, iya. Wahai penulisku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status