Kedua satpam berlari masuk ke dalam lobi. Berlari, lantas berhenti di persimpangan toilet pria dan wanita. Sambil menganggukkan kepala, mereka berlari ke toilet pria. Membuka satu per satu bilik toilet, sedikit menendang. "Siapa yang terjebak? Pak Nicho berkhayal mungkin.""Iya. Semua bilik baik-baik aja.""Kayaknya Pak Nicho mau kerjain kita deh!""Siapa yang mau kerjain siapa?" Nicho bertanya. Masuk ke dalam toilet pria. "Maaf pak, kami tidak menemukan siapapun yang terjebak dalam toilet. Bahkan semua pintu biliknya aman." Seorang satpam memberanikan diri. "Tadi kamu dengar saya bilang apa nggak?""Ada yang kejebak dalam toilet pak!""Lalu?" Nicho melipat kedua tangannya di dada. "Lalu tidak ada orang pak disini!""Kalau disini terjadi hal yang membahayakan sepertinya saya tidak bisa mengharapkan pertolongan cepat dari Anda."Kedua satpam di depannya menampakkan muka bingung. Saling melirik satu sama lain. "Saya perjel
Kantor Nicho yang dingin terkena AC terasa percuma. Ananta merasa kini ia sesak. Hanya berdua dengan seorang pria yang tampan. Kaya. Tinggi. Perfect man. Apalagi tadi bosnya mengatakan nama Stanley, menghubungi dirinya berkali-kali. Hanya sebatas menelepon. Tanpa menyusulnya ke kantor. Tanpa menolongnya. Padahal pasti Stanley tahu kalau sebelumnya gawainya mati.'Saat aku butuh kamu kemana? Jangan bilang kamu hanya nongkrong di cafe sama teman-teman yang porotin kamu terus.'"Karena kamunya belum bangun. Jadinya aku angkat. Aku yakin dia pasti khawatir sama kamu. Makanya ia telepon berkali-kali." Nicho menimpali."Apa?" Reflek Ananta berteriak."Hei, telingaku nggak pekak loh.""Maaf pak! Maaf!" Setelah itu ia menundukkan kepalanya, memandang ke bawah. Ia tidak berani menatap bosnya dengan tampang kucel seperti itu. "Yah, nggak apa-apa. Kamu cuci muka dan tanganmu dulu sana. Lalu makan. Baru pulang.""Baik pak!" Hanya itu. Ya, hanya itu yang bi
Dari dalam kedai kopi, terlihat langit di luar mendung. Memerah di tengah gelapnya langit. Hampir seluruh dinding kedai terbuat dari kaca.Di dalam kedai kopi, penuh dengan pengunjung. Ada yang menjalin kasih, mengerjakan tugas, kumpul keluarga, dan tentu saja tak lepas dari sejumlah anak muda yang kumpul sekedar mengobrol. Di sudut kedai, dekat jendela. Ada Stanley dan teman-temannya."Hmm""Kenapa loe? Itu muka ditekuk mulu. Tenang, kedai loe masih ramai tuh." Salah satu temannya menyeletuk saat melihat Stanley melempar gawainya di sofa. "Yah tekuk lah. Yang beli cuman itu-itu aja, yang nongkrong juga itu-itu juga. Dasar para pencari wifi gratis." Kini seorang wanita berkaos santai menyeletuk, sembari melempar kartu UNO yang kini memang gilirannya."Ya elah. Penjahat teriak penjahat." seru temannya, melempar kartu UNO."Stanley, kini giliranmu!" Stanley tak menjawab. "Ley, loe kenapa sih?" kini wanita yang berkaos santai itu bertanya, n
Pukul 23.30.Akhirnya kedai kopi sepi. Tak ada lagi pengunjung yang berkeliaran di dalam kedai. Stanley bisa bernapas lega. Badannya terasa remuk semua.Seharusnya cuman badan. Karena dari tadi dia bolak-balik beres sana-sini. Karena nggak mungkin saat kedai besok buka, kedainya berantakan yang terkesan kotor. Ia duduk di salah satu kursi kedai. Gio dan Bella sudah pulang sejak lima menit yang lalu, setelah beres-beres selesai. Mereka juga ikut merapikan kedai."Kata Gracia, Ananta sudah pulang. Tapi kenapa hati ini bilang nggak ya. Coba telepon lagi deh."Terdengar nada tersambung di sana. Stanley yakin kali ini Ananta pasti sudah mengisi daya gawainya. Namun, tak ada jawaban dari sana. Tak ada yang mengangkat. Satu-dua kali tetap tak diangkat."Ayo dong Ananta! Angkat!""Hallo!" Terdengar suara berat dari sana. "Ana-" Stanley yang awalnya semangat. Berpikir akhirnya Ananta mengangkat teleponnya. Berubah 180 derajat saat ia tersadar, yang menjawab bukan Ananta.Masih berpikir positi
"Ana, hari ini kamu nggak masuk kantor kan?" Ibunya memastikan.Alarm berbunyi keras dari samping tempat tidur Ananta. Ananta mematikannya dengan cepat. Tanpa buka mata. Sinyal lengannya cukup untuk bisa mencari keberadaan alarm dengan sangat akurat. "Mm..nggak Ma. Diberi izin untuk nggak masuk." jawabnya dengan kelopak mata masih tertutup. Ia hanya menggeliat. Mencari arah suara ibunya. "Kamu mau turun nggak? Atau masih capek?""Masih, ma. Badanku terasa pegal semua. Kenapa?""Ada Stanley di bawah.""Ha?" Kini ia membuka matanya perlahan. Menguceknya sekali. Terbangun dan duduk di ranjangnya. "Dia baru datang?""Iya.""Emang jam berapa sih sekarang?" Ananta mengambil gawainya. "Baru pukul enam gini kok. Astaga anak ini. Kemarin dicari nggak ada, sekarang pagi-pagi malah ganggu.""Ush...tak boleh ngomong kayak gitu. Dia itu pagi-pagi kesini karena khawatir.""Nggak ah. Nggak mau turun. Bilang aja aku masih tidur, ma!""Baiklah. Kamu
"Apa? Ana terkunci di toilet? Kok bisa? Kamu ngerjain dia? Kamu kan tahu aku cari-cari dia. Dan oh ya, katamu dia udah pulang. Kenapa malah bisa terjebak dalam toilet." Gracia berkoar dalam ruangan Nicho. Berdiri di depan meja Nicho. Sedang Nicho duduk di kursi kerjanya. "Ayo dong! Jawab aku, jangan diam aja!" Ia menopang setengah berat tubuhnya dengan meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Udah selesai ngomongnya?""Iya udah. Cepetan ngomong. Kenapa dia bisa gitu. Jangan diam aja. Kemarin dia kayak gimana? Ada yang luka nggak? Ayo cepetan!""Gracia... kamu ngomong terus. Bagaimana saya bisa jelaskan. Sekarang kamu duduk dulu.""Aku nggak mau duduk. Aku maunya penjelasan.""Sst... jangan keras-keras. Nanti orang kira aku ngapain dirimu.""Emang.""Apaan?""Kamu udah bohongin aku, bilang Ana udah pulang."Nicho menghela napas. Apa lagi cobaannya kali ini. Kemarin udah dibuat ribet sama Ananta yang pingsan di kantor. Satpam yang kurang ada
Stanley tak habis pikir. Kenapa malah situasinya berubah jauh. Di pikirannya sebelum sampai di rumah Ana, ia seharusnya marah dan geram atas kejadian semalam. Gawai mati. Pulang diantar bos. Lalu, Ana nggak mengabari dirinya kalau sudah pulang. Apalagi yang paling parah, tidur di ruang bosnya.'Damn!'Saat ia mengatakannya ada sebuah motor hitam berbelok di depannya. Jelas sekali tadi motor itu masih di belakangnya dan jelas-jelas lampunya tidak menandakan akan berbelok ke kiri."Hey, apa-apaan ini?" Ia memaki. Motor di depannya melaju. Terus melaju ke kiri. Stanley hampir aja akan menabrak badan motor itu, kalau ia tak segera mengerem.Ia menggeram tak karuan. Hatinya panas, otaknya panas. Kini satu pengendara nakal yang tak pakai lampu sen dengan benar. "Wah, gak bisa dibiarin nih!" Stanley menyusul, berbelok ke kiri. "Pantesan nggak bener, helm aja nggak dipakai, ugal-ugalan lagi.""Hei, berhenti. Yang pakai kaos biru di depan berhenti." Ia berteriak
Jalanan sudah kembali tertib. Lalu lintas berjalan dengan lancar. Udara pagi masih terasa menusuk walaupun matahari sudah bersinar terang sedari tadi.Stanley gelisah. Apa yang harus ia perbuat?"Bapak-bapak ini kenapa sih? Nggak ada yang mau ngomong. Atau saya giring kalian berdua ke kantor polisi supaya kalian bisa ngomong disana.""Pak, jangan gitu dong!""Nah, sekali dibilang kantor polisi langsung bisa bicara? Bapak nggak pakai helm dan berdasarkan kesaksian bapak ini, bapak tidak menyalakan lampu sen. Bisakah saya lihat SIM dan STNK bapak?""Maaf Pak, saya tidak bawa!""Udah nggak pakai helm. Berkas-berkasnya juga nggak bawa. Bapak tetap kami tilang ya.""Dan Bapak, SIM dan STNK sudah bisa saya lihat?" tanya Pak Polisi dengan Stanley. "Maaf Pak, tadi saya terburu-buru jenguk pacar saya. Waduh, dia sakit pak. Saya kan juga galau pak. Bapak juga pasti galau kalau orang kesayangan Bapak sakit, pasti terburu-buru juga sama seperti saya.""Tapi tetap pak. Surat-menyurat berkendara i