Stanley tak habis pikir. Kenapa malah situasinya berubah jauh. Di pikirannya sebelum sampai di rumah Ana, ia seharusnya marah dan geram atas kejadian semalam. Gawai mati. Pulang diantar bos. Lalu, Ana nggak mengabari dirinya kalau sudah pulang. Apalagi yang paling parah, tidur di ruang bosnya.'Damn!'Saat ia mengatakannya ada sebuah motor hitam berbelok di depannya. Jelas sekali tadi motor itu masih di belakangnya dan jelas-jelas lampunya tidak menandakan akan berbelok ke kiri."Hey, apa-apaan ini?" Ia memaki. Motor di depannya melaju. Terus melaju ke kiri. Stanley hampir aja akan menabrak badan motor itu, kalau ia tak segera mengerem.Ia menggeram tak karuan. Hatinya panas, otaknya panas. Kini satu pengendara nakal yang tak pakai lampu sen dengan benar. "Wah, gak bisa dibiarin nih!" Stanley menyusul, berbelok ke kiri. "Pantesan nggak bener, helm aja nggak dipakai, ugal-ugalan lagi.""Hei, berhenti. Yang pakai kaos biru di depan berhenti." Ia berteriak
Jalanan sudah kembali tertib. Lalu lintas berjalan dengan lancar. Udara pagi masih terasa menusuk walaupun matahari sudah bersinar terang sedari tadi.Stanley gelisah. Apa yang harus ia perbuat?"Bapak-bapak ini kenapa sih? Nggak ada yang mau ngomong. Atau saya giring kalian berdua ke kantor polisi supaya kalian bisa ngomong disana.""Pak, jangan gitu dong!""Nah, sekali dibilang kantor polisi langsung bisa bicara? Bapak nggak pakai helm dan berdasarkan kesaksian bapak ini, bapak tidak menyalakan lampu sen. Bisakah saya lihat SIM dan STNK bapak?""Maaf Pak, saya tidak bawa!""Udah nggak pakai helm. Berkas-berkasnya juga nggak bawa. Bapak tetap kami tilang ya.""Dan Bapak, SIM dan STNK sudah bisa saya lihat?" tanya Pak Polisi dengan Stanley. "Maaf Pak, tadi saya terburu-buru jenguk pacar saya. Waduh, dia sakit pak. Saya kan juga galau pak. Bapak juga pasti galau kalau orang kesayangan Bapak sakit, pasti terburu-buru juga sama seperti saya.""Tapi tetap pak. Surat-menyurat berkendara i
"Udahlah. Yuk! Semangat! Anak-anak lain juga nggak semangat kalau pemiliknya aja nggak semangat." Si barista menepuk lembut bahu Stanley.'Siang nanti aku ke rumahnya Ana lagi deh!'***"Gimana ya anak itu? Temannya Gracia? Siapa tadi namanya. Oo ya Ananta. Aku coba telepon aja dulu deh." Nicho mengambil gawai. Mendekatkan pada telinga."Hallo Pak Nicho!""Gimana badanmu? Besok bisa masuk kerja kan?""Saya sudah mulai membaik pak. Tinggal istirahat lebih lama lagi. Besok sudah bisa masuk seperti biasa.""Oke. Baiklah. Dan oh iya, Gracia tadi khawatir sama kamu. Kamu kabari dia dulu ya!""Oh iya Pak, Gracia. Maaf Pak. Saya akan segera mengabarinya. Terima kasih pak! "Sama-sama."Gawai dimatikan. Cuaca pagi ini terasa sejuk namun tidak untuk hati Ana maupun Stanley. Begitu juga dengan Nicho. Karena Gracia berulah, ia sudah terasa panas dari tadi. Berdiri di depan jendela super besar kini lumayan membuatnya tenang. Di luar sana terdapat taman kecil dengan pemandangan yang serba hijau da
"Selamat siang, tante!" Stanley melongo ke dalam rumah. Bukan rumahnya pastinya.Kalau rumahnya sendiri, siang bolong seperti ini. Papanya pasti sudah pergi entah kemana, apalagi adiknya, mungkin hanya di dalam kamar. Dia hanya akan keluar kalau sudah waktunya makan.Sekarang ia ke rumah Ananta. Siapa lagi kalau bukan rumah gebetan."Ooh, Stanley! Selamat Siang! Siang-siang udah nongol aja kesini. Kenapa?" Ibu Ana membuka pintu. Tangannya penuh dengan tepung. Belum dibersihkan. "Wah, sepertinya aku ganggu tante ya! Sedang buat apa tante? Sini, biar aku aja yang nutup pintunya!"Ibu Ananta masuk ke dalam rumah, berjalan menuju dapur. Stanley mengikutinya dari belakang."Wah, buat kue ya tante?"." Iya nih. Kue lapis. Kamu tahu lah untuk siapa?""Ana kan pasti. Dia kan bentar lagi ulang tahun.""Ingat aja kamu!""Ingat dong, Tan!" Ia menjawab dengan bangga.Saat Ibu Ana mulai mengaduk adonan. Stanley mencuci tangannya di wastafel.
"Bukan hanya itu, tadi pagi Om juga dengar kalau Ana teriak dan nangis sama kamu. Pria macam apaan kamu? Bahkan membiarkan pacarnya sendiri diantar pulang sama bosnya. Untung bosnya baik dan masih muda. Kalau udah tua dan genit, bagaimana?" Pria paruh baya itu berbicara frontal. Ia adalah papanya Ananta. Calon papa mertua untuk Stanley. "Maaf, Om. Saya tidak bermaksud menyakiti Ana. Tadi kami hanya ada sedikit salah paham.""Ley, lebih baik kamu ngobrol sama Om di luar aja ya. Tante mau lanjut panggang kuenya."Ibunya mengambil alih. Mengambil spatula dan sendok besar dari tangannya Stanley.Stanley mengikuti saran Tante. Mengikuti Om yang sudah berjalan terlebih dahulu ke ruang tamu. Sebelum ia benar-benar pergi, ia menatap sekilas mata tante, berkaca-kaca dan nampak tidak memendam kebohongan di matanya. Sama sekali. Hanya ada mata yang penuh dengan kasih sayang. Om lebih dulu duduk di sofa. Menghela napas berat. Matanya menerawang ke luar jendela, ke luar rumah, memandang daun-dau
Hari ini kantor nampak sangat sibuk sekali. Dari tadi pagi, karyawan bolak-balik keluar-masuk dari ruangan Nicho. Banyak karyawan yang masuknya santai, tapi sekali keluar seperti cacing kepanasan.Ada yang masuk dengan energi yang luar biasa, sekali keluar langsung lemas.Tapi ada juga yang masuknya gugup, setelah keluar mereka nampak lega dan bahkan nampak santai. Melihat hal ganjil yang terjadi di kantornya seperti itu, Gracia penasaran. Gracia bisa melihat dengan jelas antrian para karyawan di depannya. Satu per satu masuk ke dalam ruangan Pak Nicho.Sekarang ia sudah mendapat meja kerja baru. Mejanya tepat di luar ruangan Nicho. Persis di samping kanannya. Di sana ada dua meja. Satu untuknya dan satu untuk Aini, sekretaris pribadi Bu Pramita."Aini, ini kenapa sih orang-orang pada antre gini. Pak Nicho lagi bagi-bagi sembako?"Aini menoleh ke barisan antrean. Lalu, kembali menatap angka-angka yang tertulis di dokumen yang sedang dikerjakannya.
Daripada ia harus berdebat lebih jauh lagi. Nicho memilih untuk mengalah. Sebenarnya, ia agak kelewatan memberikan pekerjaan yang banyak. Tapi, jika mau sukses, Gracia harus cepat belajar untuk melakukan pekerjaan ini semua, supaya kelak ia bisa menjadi pendamping hidup sekaligus partner kerjanya. Apalagi, ia masih mengingat dengan jelas cita-cita Gracia kecil.Panas kian terik saat jam menunjukkan pukul 13.00. Gracia kecil yang saat itu duduk di bangku kelas 6 SD menunggu papanya untuk dijemput pulang. Ia menunggu di pos satpam. Semua teman sekelasnya sudah pulang semuanya. Tinggal kakak kelas yang masih belajar dan akan selesai setengah jam kemudian.Nicho masih belajar di kelas. Pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran yang membosankan baginya. Kita sudah bisa berbicara lancar dengan bahasa Indonesia, untuk apa lagi belajar? Nicho uring-uringan. Walaupun, ia duduk di pojokan paling belakang. Sesaat aja ia membenamkan wajahnya ke tangan yang ia lipat di atas me
Kantor PT Pramita nampak minimalis jika dilihat dari luar. Tapi jika dilihat dari dalam, kantornya sungguh memanfaatkan setiap detil ruangan dengan seksama. Misalnya saja rak buku di bawah tangga dan loker-loker para karyawan. Tertata rapi. Di setiap sudut ruangan juga ada tanaman hijau. Sedang di luar jendela, ditanam pohon cemara dan bambu.Taman yang berada di samping dan belakang kantor juga selalu dirawat dengan baik. Itulah juga yang membuat Nicho betah berlama-lama di kantornya. Kantor Bu Pramita yang sementara ditempatinya. Pukul 18.30. Kantor sudah sepi. Lampu di semua ruangan telah dimatikan, menyisakan lampu lorong.Tapi untuk malam ini, lagi-lagi ruangan Nicho masih terang-benderang."Ada pekerjaan yang kamu nggak ngerti?" Nicho bertanya. Gracia duduk di meja pertemuan di dalam kantor Nicho. Dua tumpuk kertas mengelilinginya."Bukannya nggak ngerti. Tapi ini loh, mengapa rata-rata semua ingin bertemu kamu di jadwal yang sama. Hari Rabu puku