Lantunan azan Ashar mengalir lembut membelai telinga. Hana beranjak dari kursi lalu mengambil air wudu dan salat empat rakaat. Setelah selesai, dia duduk di kursi samping jendela dengan sekat kaca persegi yang terbuka. Wanita yang tengah hamil itu menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Entah kenapa sejak tadi perasaannya tak enak, pikirannya terus tertuju kepada mantan suaminya.
“Hana, sore ini kamu ngajar, gak?” tanya Fatimah.Hana mengangguk. “Iya, ngajar. Tapi ... perasaanku gak enak, Bi. Kok tiba-tiba, inget A Razi terus, ya? Apa jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengannya?”“Kamu kangen kali,” timpal Fatimah.“Ah, Bibi.”“Jangan dipikirkan, kamu fokus aja dengan hidup kamu sekarang,” tukas Fatimah.“Kalau gak salah tebak, sekarang mereka pasti sedang bulan madu di luar negeri,” bisik Hana lirih. Ada perasaan teririsDelapan bulan berlalu. Kehidupan Razi dan Maida mulai banyak diisi dengan pertengkaran. Maida memang tak terbiasa melayani orang lain, karena sejak kecil ada pembantu yang biasa menyiapkan semua keperluannya. Sedang keinginan Razi juga tak terlalu sulit sebenarnya, dia ingin istrinya menyiapkan baju atau sekedar menyiapkan makanan. Tak perlu memasak, cukup menghidangkannya saja itu sudah cukup baginya.Di luar, mereka memang tampak baik-baik saja. Maida memang ingin membuat kesan bahwa mereka adalah pasangan bahagia dan romantis. Sedang dalam hati mereka, begitu sepi dan keropos.“Mana istrimu?” tanya Bu Ratna yang melihat Razi tengah sendiri menyesap kopi.“Masih ada urusan di kantor, Bu.”Bu Ratna menarik napas dalam-dalam.“Sampai malam begini?” Wanita itu menggeleng.Bu Ratna menatap putra semata wayangnya.“Razi, ibu tahu mungkin ibu gak pantas bertanya hal i
Bu Ratna menetap lekat wajah anaknya.“Apa yang akan kamu lakukan jika makanan itu memang benar dari Hana?” tanya Bu Ratna pelan.Razi balik menatap ibunya, dia sendiri pun tak tahu apa yang akan dilakukannya jika itu benar dari Hana.“Razi gak tahu, Bu.”Bu Ratna menepuk pundak anaknya. “Sudahlah, cepat berangkat.”“Kok lama sih? Aku udah selesai sarapan.” Maida sudah berdiri di depan pintu dapur.“Razi berangkat dulu, ya, Bu.” Lelaki itu mencium punggung tangan ibunya. “Assalamualaikum.”●●●Sepasang suami istri itu telah sampai di kantor. Razi masuk ke ruangannya. Lelaki itu melonggarkan dasi, pikirannya masih tertuju kepada mantan istrinya. ‘Bagaimanakah jika dia kembali, apakah dia masih membenciku, atau mungkin dia sudah menikah lagi?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalan
Razi turun dari mobilnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pandangannya tak lepas dari wanita yang hingga kini tak pernah sirna dari hatinya. Kabut di netranya tak terbendung lagi, buru-buru dia mengusapnya sebelum jatuh ke tebing pipi. Lelaki itu menyiapkan mental untuk segala kemungkinan yang akan terjadi.Hana menyadari kehadiran Razi, dia menoleh, diikuti oleh yang lainnya.“Razi ....” Bu Ratna tak menyangka bahwa putranya mengikuti dari belakang.Razi melangkah semakin dekat. “Hana, kamu ... hamil anak kita?”Hana bergeming, tak sedikit pun dia ingin menjawab pertanyaan Razi.“Sebaiknya kita masuk ke dalam dulu,” ujar Fatimah mengajak semuanya masuk.Mereka semua duduk di ruang tamu, melingkar, mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu. Tak satu pun dari mereka yang memulai percakapan.Hana tak sedikit pun menoleh ke arah Razi, ada pilu dan sak
Bian menghentikan mobilnya di sebuah klinik. Baru saja turun, dia melihat Fatimah tengah berjalan membawa beberapa botol air mineral. Pemuda itu segera menghampiri.“Bi, apa Hana sudah melahirkan?”“Belum.”Keduanya masuk ke klinik dan menunggu di ruang tunggu. Seorang perawat datang menghampiri Bian dan Fatimah.“Anda suami Bu Hana? Silakan masuk untuk temani,” ujar seorang perawat.“Ah, iya.” Bian bangkit dari kursi.“Heeeeiii!” Fatimah menarik lengan baju Bian dan memberi isyarat untuk duduk kembali.“Eh, iya, lupa.” ujar Bian sambil cengengesan.“Suaminya gak ada di sini, Bu.” ujar Fatimah.“Oh, baiklah kalau begitu.” Perawat itu berbalik kembali ke ruang bersalin.Dua puluh menit berlalu, Bian semakin gugup. Tangannya gemetar, kakinya mengentak-entak pelan
“Mas Bian,” ucap Hana tak percaya.“Maafkan aku Hana, yang seharusnya aku lakukan memang berbicara dengan pamanmu dulu. Tapi ... aku tak bisa menahan perasaanku.” Pemuda itu menundukkan wajahnya. Dia menyiapkan mental untuk segala kemungkinan jawaban Hana. Meski sebenarnya, dia tahu, perempuan itu tak mungkin menerimanya begitu saja. Yang terpenting, perempuan berjilbab besar itu tahu perasaannya.Bian mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Gak perlu dijawab sekarang, Hana. Lupakan! Fokus saja ke bayimu dulu.” Mata Bian menoleh ke dua tas yang tadi dibawanya dari klinik. “Ah, aku akan bereskan ini, istirahatlah.” Bian meninggalkan Hana yang masih mematung tak percaya.Setelah tahu Bian tak bersama Hana, Razi masuk ke rumah yang pintunya memang terbuka. Hana melempar pandangan kepada lelaki yang baru saja masuk hingga kedua manik coklat mereka saling berserobok.“Hana ... Alhamdulil
Manusia mulia sang pembawa risalah, menyerupakan wanita serupa dengan gelas kaca. Beliau berpesan kepada para lelaki agar menjaga gelas-gelas kaca itu dengan baik. Jika gelas kaca pecah, maka tak mungkin lagi bisa diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Seorang wanita, mampu menahan rasa sakit, tetapi sulit untuk melupakan rasa sakit itu. Serupa kaca, keras dan rapuh di saat bersamaan.Itu pula yang dirasakan wanita yang tengah mendekap bayinya di sudut jendela. Meski selama ini dia mampu menahan perasaan sakit, tapi rasa itu masih saja bercokol di dalam hatinya. Seberapa kuat pun dia mencoba menepis, nyatanya, tak mudah hilang begitu saja.“Hana,” Fatimah menyentuh pundak wanita yang kini telah menjadi ibu itu.“Ah, iya, ada apa, Bi?”“Tidurkan dulu anakmu di kasur.”Hana mengangguk, lalu meletakan bayinya di kasur. Kedua wanita itu keluar dari kamar dan duduk di sebuah sofa pan
Tangan Maida mengepal, matanya memerah, sedang dadanya naik turun menahan amarah. Tatapan matanya tajam menyorot bros yang dikenakan oleh Hana.Hana yang mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Maida, memberi isyarat kepada Razi.Awalnya Razi tak paham, tapi kemudian dia mengarahkan pandangannya kepada wanita di sampingnya. Lelaki itu menepuk pelan bahu Maida.“Mai.”Maida menengadah menatap mata lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Matanya memanas. Razi yang belum mengerti apa yang terjadi mengerutkan dahinya.“Kenapa kamu melakukan itu?” teriak Maida yang membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.Razi gelagapan, lalu menarik lengan wanita itu dan membawanya ke belakang. Sampai di halaman belakang rumah, Maida menepis tangan Razi dengan kasar.“Ada apa dengan kamu, Mai?” tanya Razi dengan setengah berbisik. Matanya mengawasi sekitar.&ldqu
Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”