Arrazi El Fathan, seorang pemuda yang terlibat cinta dengan anak dari atasannya. Dengan berani dia melamar gadis itu. Namun, lamarannya harus mengalami penolakan dari orang tua kekasihnya karena perbedaan status. Maida, gadis itu pun menolak lamarannya karena belum ingin terbebani dengan pernikahan. Razi yang kecewa tanpa berpikir panjang menerima perjodohan dari sang ibu. Hana, gadis sederhana yang lembut itu pun sah menjadi istrinya. Masalah dimulai ketika Razi kembali ke Jakarta bersama istri dan ibunya. Maida yang tidak terima berusaha keras agar Razi kembali ke sisinya.
Lihat lebih banyakLelaki berkemeja biru muda itu meminum teh yang baru saja dihidangkan. Dengan sedikit gugup dia meletakan kembali cangkir porselen dengan ornamen bunga itu ke atas tatakan di meja.
“Ehm ... jadi kedatangan Nak Razi ini untuk melamar anak kami, Maida?” tanya lelaki paruh baya yang duduk berseberangan dengannya. Pandangan matanya tegas menyorot wajah pemuda itu.Razi mengangguk sembari tersenyum. Dia belum bisa menghilangkan kegugupan sepenuhnya. Lelaki bertubuh tinggi itu memang bukan orang asing lagi bagi kedua orang tua Maida. Semenjak dulu, mereka telah mengenal Razi beserta latar belakangnya. Namun, menerima lamaran bagi putrinya tentu bukan soal kedekatan atau keakraban semata, karena setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi putrinya.“Begini Nak Razi, kami merasa tersanjung Nak Razi berkenan melamar putri kami satu-satunya, tetapi ... pernikahan bukanlah hal sembarangan. Ini terkait soal jaminan kebahagiaan masa depan,” tutur papa Maida, lembut tapi penuh penekanan.Razi berusaha meraba arah dan tujuan pembicaraan Pak Robi tetapi belum menemukannya.
“Nak Razi tahu sendiri, Maida tengah mengejar kariernya.” Bibir lelaki berusia awal lima puluhan itu menyunggingkan senyum. “Kami tidak mengatakan bahwa Nak Razi tidak pantas bagi anak kami karena status Nak Razi, akan tetapi ... berilah sedikit waktu bagi Maida dan juga kami untuk mewujudkan cita-citanya.”
Razi mulai mengerti akhir dari tujuan ucapan Pak Robby. Bahwa dia, ditolak. Dadanya mulai terasa berat. Tak satu pun kata mampu meluncur dari mulutnya, dia tiba-tiba membisu. Dia sadar akan keadaan dirinya yang hanya pegawai biasa di perusahaan papa Maida. Di situlah Razi merasa begitu lancang telah melamar anak bosnya sendiri. Dia pun paham, bahwa cinta saja tak cukup untuk menikahi gadis pujaannya.Pandangan Razi menyapu sekitar, berusaha mencari keberadaan gadis pujaannya. Namun, perempuan yang dikenalnya sejak SMP itu tak menunjukkan batang hidungnya. Padahal pemuda itu telah memberi tahukan bahwa dirinya akan datang. Hingga dirinya pulang, Maida tak menampakkan diri.●●●●Arrazi El Fathan, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang menjalin hubungan dengan putri dari atasannya. Sejak SMA, keduanya sudah saling suka, dan terus berlanjut meski Maida berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.Keesokan harinya di kantor, gadis yang memiliki jabatan lebih tinggi dari Razi itu menghampiri. lalu mengajaknya ke atap gedung tempat mereka biasa bertemu dan berbincang.“Aku minta maaf,” ujar Maida sembari menatap wajah lelaki di sampingnya.“Untuk apa?” tanya Razi tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan di depannya.“Aku ... tidak bisa kalau harus menikah secepat ini. Aku sudah bilang kepadamu untuk menunggu dua atau tiga tahun lagi kan? Kenapa kamu nekat datang menemui orang tuaku tadi malam?”Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. “Jadi itu sebabnya semalam kamu menghilang?”“Aku belum bisa kalau harus mulai direpotkan dengan urusan rumah tangga saat ini. Jika aku menikah, bukankah kamu akan memaksaku memakai jilbab? Lantas aku harus hamil, mengurus anak, lalu bagaimana dengan karierku?” Maida melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda.Razi tersenyum seolah apa yang diucapkan perempuan di sampingnya adalah hal yang lucu. “Jadi begitu ... baiklah. Bagaimana jika aku menikah dengan wanita lain?” tanya Razi, kali ini pandangannya mengarah ke wajah Maida.“Apa ini sebuah ancaman?” tanya gadis berambut sebahu itu. “Aku percaya hingga detik ini kamu masih mencintaiku, dan kamu tidak akan mengkhianatiku karena masalah ini,” ucap Maida yakin.Razi kembali tersenyum mendengar jawaban Maida.“Aku sudah mengajukan cuti selama seminggu, besok aku akan pulang ke Tasik,” ujar Razi.“Kenapa mendadak?”“Aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari.”●●●“Ibu senang kamu pulang, Nak,” ucap Bu Ratna seraya menempelkan kedua telapak tangan di wajah anaknya.“Maafkan Razi, Bu. Baru sekarang bisa pulang.”“Gak apa-apa, Nak. Ibu sudah senang. Ayo duduk, ibu sudah buatkan makanan kesukaan kamu.”Ibu dan anak yang telah berbulan-bulan tak berjumpa itu saling melepas rindu. Obrolan santai pun mengalir antara keduanya sembari menikmati nasi liwet dan ayam bakar kesukaan sang anak. Hingga raut wajah lembut sang ibu mulai berubah serius.“Nak, jadi bagaimana?” tanya Bu Ratna.Razi mengambil gelas berisi air putih kemudian meminumnya. Pemuda itu mengambil napas dan mengembuskannya pelan. Ada rasa berat dan bimbang di hatinya.“Ibu sudah tua, ibu takut tak bisa menimang cucu,” lanjut wanita berusia lima puluhan itu.Sejak seminggu yang lalu, Bu Ratna telah menghubungi Razi melalui sambungan telepon. Wanita paruh baya itu mendesak putranya untuk segera menikah. Bahkan dirinya akan mempersiapkan calon istri jika putranya itu belum memiliki wanita pilihan sendiri.Razi memandang ibunya lembut seraya tersenyum. “Bu, ibu ini bicara apa, sih? Ibu masih sehat, kuat, ibu masih sanggup menunggu Razi memberikan cucu untuk ibu.”“Umur itu gak ada yang tau, Nak. Ibu mohon, segeralah menikah!” Bu Ratna memelas kepada anaknya.Razi tak tahu lagi harus berkata apa. Bukannya dia tak mau segera menikah, tetapi wanita yang dicintainya malah menolak untuk segera menikah dengannya.“Razi, kalau seandainya kamu belum punya calon pendamping hidup, ibu ingin menikahkanmu dengan Hana,” tutur Bu Ratna dengan seulas senyum di wajahnya.“Hana?”“Iya, Nak. Kamu tahu kan? Selama ini Hana yang merawat ibu selama kamu gak ada di sini. Dengan telaten dia merawat ibu setiap hari. Ibu sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dia gadis yang cantik, berakhlak baik, dia pantas menjadi istrimu.”Razi tak menyangka bahwa sang ibu akan menjodohkan dirinya dengan Hana. Gadis berjilbab lebar itu bukan orang asing baginya, dia adalah anak sahabat ibunya yang telah meninggal ketika gadis itu masih kecil.“Bagaimana, Razi?” tanya Bu Ratna tak sabar.“Bagaimana dengan Hana sendiri? Apa dia mau ibu jodohkan denganku?”“Ibu yakin dia mau.”●●●●Razi berjalan-jalan menikmati udara sore di kota kelahirannya. Jalan beraspal yang diapit oleh sawah itu memang tak begitu sering dilewati kendaraan. Sekumpulan anak yang baru pulang mengaji berlari riang melewatinya. Dari kejauhan, tampak sesosok wanita yang berjalan ke arahnya. Razi menghentikan langkah, menunggu wanita itu mendekat.“Hana,” gumamnya.Gadis itu sedikit terkejut melihat sosok lelaki yang berdiri tak jauh dari dirinya. “A Razi,” bisiknya.“Baru pulang?” tanya Razi.Hana mengangguk. Sudah menjadi rutinitas baginya setiap sore, dia mengajari anak-anak di kampungnya belajar mengaji.“Kapan pulang?” tanya gadis berjilbab lebar itu.“Tadi siang.”Hana mengangguk paham, dan pamit pulang.“Kalau gitu, Hana pulang duluan. Assalamu’alaikum.”
“W*’alaikumussalam.”●●●●Malam kian larut, tetapi netra lelaki berparas tampan itu tak juga bisa terpejam. Dirinya memikirkan permintaan Sang Ibu.Razi mengambil ponselnya. Sebuah nama seorang wanita tertera di layar. Lelaki itu bimbang, antara harus menuruti permintaan sang ibu, atau mempertahankan cintanya yang dia sendiri tak tahu akan berakhir seperti apa.“Maida ...,” gumamnya. Lelaki itu mengurungkan niat untuk menghubungi gadis yang disukainya.●●●●“Saya terima nikah dan kawinnya Hana Faqiha binti Ahmad dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas seberat lima gram dibayar tunai.” Razi melafalkan ijab qabul dengan lancar. “Sah?"“Sah!”Setelah tiga hari berpikir, pemuda itu pun membuat keputusan berani.Rona bahagia menyelimuti wajah Bu Ratna. Keinginan yang selama ini tertunda akhirnya tercapai juga.Razi menatap sekilas wanita yang duduk di sebelahnya. Ada perasaan bersalah dalam hati. Dia sadar bahwa pernikahan ini seperti pelarian baginya. Rasa sakit karena ditolak wanita yang dicinta, dan keinginannya untuk membahagiakan sang ibu telah membawanya kepada satu kehidupan baru yang dia sendiri tak pernah tahu akan berjalan seperti apa ke depannya.Ada satu hal yang belum dipahami lelaki itu, bahwa saat dua manusia disatukan dalam sebuah mahligai pernikahan, maka berarti keduanya harus siap dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab. Karena sejatinya, pernikahan bukanlah permainan yang kita bisa berhenti seenaknya jika sudah merasa bosan.Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.
Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap
“Kita ke mana?” tanya Maida.“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”
Ponsel Maida bergetar. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Perempuan yang mengenakan blazer hitam itu mengambil gawai dan membukanya. Seketika matanya terbuka lebar, dadanya naik turun menahan amarah.“Kurang ajar kalian!”Maida menutup pesan yang memperlihatkan sebuah foto Razi dan Hana tengah duduk berdua.Perempuan itu mencoba menghubungi Razi, tetapi tak aktif. Maida memejamkan mata, baru saja dia ingin berubah menjadi lebih baik, mencoba membuka hati bagi Tsabit, tetapi melihat foto itu hatinya kembali memanas. Dia tak lagi bisa bersabar. Dirinya bermaksud untuk menyusul suaminya.●●●Razi menghela napas, tak menyangka bahwa perkataannya beberapa tahun yang lalu begitu membekas di hati Hana. Segurat penyesalan kembali hadir menyelusup hati.“Hana,” panggil lelaki itu sambil mengetuk pintu.Tak lama, Hana membuka pintu.“Hana ... sebena
Rinai hujan mendentum bumi. Gemercik airnya terasa merdu berpadu dengan tarian dedaunan yang tertimpa tetesnya. Seorang perempuan tengah menikmati indahnya rintikan air kali ini dari sudut jendela. Sesekali, ia mengulurkan tangannya agar terbasahi sang hujan.Secangkir teh hangat menemaninya menikmati sore yang cukup dingin kala itu. Ia menarik napas, lalu mengembuskannya bersama kebimbangan akan sebuah pilihan.“Mantapkan hatimu, istikharah lebih baik,” ucap wanita di seberang meja.“Bagaimana mas Bian menurut Bibi?”“Dia baik, tampaknya juga sayang sama Tsabit.”Perempuan itu kembali menarik napas. ‘Haruskah aku menerimanya?’ tanyanya dalam hati.●●●Razi kembali melihat sosok lelaki yang saat itu dilihatnya tengah berbicara dengan Andrean di sebuah jalan. Lelaki itu melirik ke arah Razi. Tak lama, lelaki itu pun pergi.Razi melaju
Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Razi sampai di kediaman Hana. Tampak sepi, seperti tak ada tamu yang hadir. Lelaki bersurai hitam itu menarik napas dan memberanikan diri mendekati rumah itu. Dia tak lagi memedulikan bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi bagi Hana, yang ada di pikirannya saat itu adalah, tak ingin wanita itu menjadi milik orang lain.Dengan ragu, Razi mengetuk pintu. Sekali, tak ada jawaban. ‘Apakah lamarannya tidak di rumah?’ batinnya gusar.Razi melangkah bermaksud meninggalkan rumah itu. Baru beberapa langkah, terdengar suara pintu terbuka. Razi berbalik. Tampak di hadapannya seorang wanita berjilbab menatapnya heran. Razi tersenyum, berjalan mendekat dan berusaha meraih tubuhnya. Sontak, wanita itu beringsut mundur.“Ah, maaf.” Razi tak bisa menahan perasaannya. “Hari ini kamu lamaran, Hana?”Perempuan bermata teduh itu mengernyit heran. “Enggak.”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen