“Kita ke mana?” tanya Maida.
“Puncak.”Maida menghela napas. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. “Mungkinkah ini perbuatan Mas Andrean?” tanya Maida. Pandangannya mengarah ke luar.“Apa dia bilang akan melakukan sesuatu?” tanya Andrean.Maida mengangguk.“Bodoh! Apa lu menyuruhnya?” Bian kembali bertanya dengan nada tinggi.“Enggak, Bian. Gue udah nyuruh dia buat gak ngelakuin apa pun.” Maida memijat keningnya.“Apa yang harus gue lakukan?”
“Lu telepon dan tanya dia lagi di mana dan lagi ngapain, tapi lu pura-pura kalau gak tau Tsabit diculik. Gue khawatir, Andrean tuh psikopat, lu ngerti kan?”Maida mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Andrean.“Halo Mai, ada apa?” tanya Andrean.“Mas, lagi di mana?”Razi menutup mata tatkala Andrean mengarahkan moncong senjata api ke arahnya. Tak henti hatinya merapal kalimat 'Laa ilaha illlallah', berharap jika saat itu adalah waktu ajalnya tiba, dia dalam keadaan mengingat Rabb-nya.Sejurus kemudian, sebuah letusan terdengar nyaring, dan tubuh itu pun ambruk.Razi membuka mata, jantungnya berdetak kencang, tubuh lelaki di hadapannya telah ambruk tertelungkup.Razi menghela napas lega. Jika saja polisi datang terlambat, mungkin saat ini dirinyalah yang tengah terbaring bersimbah darah.Maida segera dibawa Ambulans menuju rumah Sakit untuk mendapat perawatan, begitu juga dengan Andrean.Razi keluar dari rumah itu dengan dipapah seorang polisi. Di luar, Hana dan Tsabit telah menunggu dengan perasaan cemas.“Itu ayah!” ujar Tsabit, anak itu menghambur ke pelukan Razi.Razi berjongkok untuk menyambut Tsabit dan memeluknya erat. “Kamu gak ap
Dua bulan berlalu sejak kematian Maida. Razi dan ibunya kembali ke rumah yang dulu. Meski rumah itu diberikan kepadanya, tetapi lelaki pemilik wajah rupawan itu menolak secara halus. Dia merasa tak berhak memiliki rumah itu. Kenangan masa lalu tentang wanita itu kembali terputar dalam memori ingatan. Baik ketika mereka masih saling mencinta, pun ketika prahara mulai membersamai keduanya. Razi berpikir, perubahan sikap Maida adalah salahnya, wanita itu menjadi jahat karena dirinya. Lelaki itu melamun di sudut ruangan, di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan jendela. Menatap sekumpulan anak-anak yang berlarian ke sana kemari seolah memiliki energi yang tak pernah habis. Bu Ratna menatap putra semata wayangnya. Wanita itu meletakan telapak tangannya di bahu lelaki yang tengah diselimuti rasa bersalah. “Nak, ikhlaskan!” ujarnya singkat. Lelaki itu menengadah menatap wajah ibunya yang mulai dihiasi keriput.
Lelaki berkemeja biru muda itu meminum teh yang baru saja dihidangkan. Dengan sedikit gugup dia meletakan kembali cangkir porselen dengan ornamen bunga itu ke atas tatakan di meja.“Ehm ... jadi kedatangan Nak Razi ini untuk melamar anak kami, Maida?” tanya lelaki paruh baya yang duduk berseberangan dengannya. Pandangan matanya tegas menyorot wajah pemuda itu.Razi mengangguk sembari tersenyum. Dia belum bisa menghilangkan kegugupan sepenuhnya. Lelaki bertubuh tinggi itu memang bukan orang asing lagi bagi kedua orang tua Maida. Semenjak dulu, mereka telah mengenal Razi beserta latar belakangnya. Namun, menerima lamaran bagi putrinya tentu bukan soal kedekatan atau keakraban semata, karena setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi putrinya.“Begini Nak Razi, kami merasa tersanjung Nak Razi berkenan melamar putri kami satu-satunya, tetapi ... pernikahan bukanlah hal sembarangan. Ini terkait soal jaminan kebahagiaan masa dep
Tak ada resepsi mewah. Pernikahan yang terbilang mendadak ini hanya dihadiri oleh keluarga terdekat saja. Razi lebih sering terlihat diam, begitu juga dengan Hana. Meski tak banyak bicara, aura kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya. Gadis berparas jelita itu memang tak sering jumpa dengan Razi, karena sejak SMP lelaki itu tinggal di Jakarta. Hanya sesekali saja saat pulang kampung. Namun, ada perasaan tersembunyi yang sejak dulu dipendamnya.Hawa gigil menyergap kulit. Udara pedesaan di Kota Resik itu memang dingin tatkala malam menyapa. Hana masih terjaga menunggui suaminya di larut malam yang semakin beranjak. Tak lama, terdengar suara daun pintu di tekan, lalu pintu kamar itu pun terbuka perlahan.Razi sedikit terkejut tatkala melihat seorang gadis berada di kamarnya. Sejurus kemudian tersadar bahwa dirinya telah menikah.“Belum tidur?” tanya Razi dengan sedikit gugup. Ini adalah pertama kali baginya sekamar dengan perempuan
“Mai,” desis Razi sembari berusaha melepaskan pelukan Maida.“Maaaaaf, kamu sih lama banget perginya,” ujar Maida sembari melepaskan pelukannya lalu mengaitkan tangannya di lengan Razi.“Mai.” Razi melepaskan genggaman Maida di lengannya.Hana memalingkan pandangan ke halaman rumah di depannya, tak ingin melihat suami dan perempuan yang menurutnya sangat tidak sopan.Maida memandang ke arah Hana. “Ini siapa, Raz? Sodaramu dari kampung?” tanya Maida sembari menunjuk Hana dengan telunjuknya.“Itu ...." Razi menjeda ucapannya lalu menggenggam tangan Maida dan membawanya ke halaman menuju mobil Maida berada.“Hana, nanti aku jelaskan,” ucap Razi kepada Hana sebelum mereka berdua masuk ke mobil.Hana hanya mematung menyaksikan suaminya pergi bersama wanita lain. Tanpa terasa, buliran bening jatuh melewati pipinya.Razi m
“Jadi, siapa cewek yang tadi?” tanya Bian sambil tetap konsentrasi menyetir.“Kepo,” jawab Razi sekenanya.“Aaahhh ... gak asik, Lu!”Razi tersenyum puas. “Heh, playboy kaya lu gak cocok sama cewek kaya Hana. Lu liat dong penampilan dia! Pake jilbab gede, pake gamis, alim kaya gitu. Nah, elu?”“Oh, jadi namanya Hana.” Bian tersenyum. “Gue tuh bukan playboy. Gue cuma belum menemukan cinta sejati aja, jadi yaaa selama ini gue lagi dalam masa pencarian cinta sejati gitu lah pokoknya,” lanjutnya sambil terkekeh.Razi hanya geleng-geleng mendengarkan ocehan sahabatnya. Pandangan pemuda itu masih tertuju kepada kertas-kertas laporan di pangkuannya.Tring!Sebuah pesan mendarat di ponsel Razi.[Aku sakit, kamu bisa ke sini?]Sebuah pesan dari Maida.[Kerja]Balas Razi sing
Hana menepati janjinya untuk belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usianya yang baru sembilan belas tahun, dia memilih untuk berhenti kuliah yang baru dijalaninya selama dua semester. Dia ingin menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami juga ibu mertuanya.Nilai-nilai agama yang meresap dalam dirinya, 'memaksanya' untuk lebih mendahulukan tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Meski memang hal tersebut sangat berat baginya. Meninggalkan keluarga, pendidikan, kampung halaman, semua dilakukan demi bisa berbakti kepada lelaki yang telah menghalalkannya.“Assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumusalam, Hana, kok lama?” tanya Bu Ratna saat menantunya sampai di rumah.“Maaf, Bu. Tadi temannya A Razi sakit,” jawab Hana sambil melepas jilbabnya. Udara di ibukota memang terasa begitu panas baginya, terlebih selama ini dia tinggal di daerah yang hawanya sejuk.“Sakit kenapa, Han?
Terlahir dari keluarga kaya membuat Maida terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa sadar hal tersebut mendidiknya bahwa apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya. Maida adalah sosok pekerja keras, tetapi egois. Dia adalah seorang wanita yang tidak mudah menyerah atas sesuatu.“Mai ...,” bisik Razi. “Jangan seperti ini.”Maida semakin mengeratkan pelukannya.“Aku gak akan lepasin sampai kamu jawab pertanyaanku.”Razi menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Baiklah, aku jawab sekarang.”Maida melepaskan pelukannya.Razi memutar tubuh, kini keduanya saling berhadapan. Lelaki yang awalnya diliputi keraguan itu menatap kedua manik coklat Maida, dia meletakan tangannya di kedua bahu wanita yang begitu mengharapkan cintanya.“Mai, terima kasih, karena ... kamu sudah mencintaiku yang bukan siapa-siapa ini. Aku berusaha untuk melupakanmu, jujur ... itu memang sulit. Ta