Mone merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu ataupun melepas sepatunya. Seharian ini terasa melelahkan. Mone harus mengunjungi kantor bea cukai di Tanjung Priok untuk mengurus beberapa barangnya yang tidak bisa keluar.Ini semua karena supplier sialan yang memuat quantity barang tidak sesuai dengan yang ada di dokumen. Ia jadi harus menemui beberapa pejabat bea dan cukai untuk memberi pernyataan terkait kesalahan itu.Ringtone panggilan masuk ponselnya membuyarkan kesadaran Mone yang nyaris terlelap sejenak. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, lalu membaca nama pemanggil yang tertera di layar ponselnya.Rasa lelah bercampur kantuk seketika sirna saat Mone membaca nama pemanggil di ponselnya. Ia membiarkan ponsel itu terus berdering untuk beberapa detik, sebelum tangannya mengusap ikon berwarna hijau untuk mengangkatnya.Mone meletakan ponsel itu di telinganya, tangan kirinya meremat seprai, matanya terpejam untuk beberapa detik, ia berusaha m
Setengah jam kemudian, Pandu masuk ke dalam rumah dengan menenteng beberapa kantong plastik hitam. Ia meletakan bungkusan itu pada meja ruang tamu yang fungsinya merangkap sebagai ruang makan dan ruang-ruang lainnya."Tukang sate udah pulang, Pak. Yang masih buka cuma warung padang. Pandu beli rendang buat Bapak, buat Mone ayam bakar," kata Pandu, yang bersiap untuk ke dapur mengambil perlengkapan makan.Mone segera berdiri saat menyadari hal itu. "Aku aja yang siapin, Mas."Pandu menoleh pada Mone. Ia mendapati mata Mone yang masih sembap. Mata yang biasa berbinar, kini kembali meredup, persis seperti saat pertama kali ia melihat Mone datang ke rumahnya bersama ibunya.Mone segera mengalihkan pandangan saat bersitatap dengannya. Pandu mengembuskan napasnya, jika bukan karena kedatangan Bapak, ia tidak akan menghubungi Mone. Ia tahu persis seberapa sulit bagi Mone untuk menghadapinya kembali setelah aksi berengseknya malam itu."Dapurnya masih berantakan, Mon. Kamu duduk aja temenin B
Rafka keluar dari kamarnya. Ia mendapati Retha dan Mama yang sedang menonton tayangan layanan streaming dari televisi yang hanya ada di ruang tengah. Keduanya menonton sambil berbaring di atas permadani berbulu halus yang khusus dipesan adiknya itu agar ia dapat menonton dengan nyaman.Entah sejak kapan keduanya—Retha dan Mama—mampu berdamai perihal tayangan televisi, dengan Retha yang memenangkan pilihan tayangan berupa series yang ada pada layanan streaming tersebut. Rafka sampai berdecak melihatnya, Mama yang tetap ikut menonton dan berkali-kali menanyakan seputar jalan cerita pada Retha."Jaket gue yang kemaren lo pinjem mana, Tha?" tanya Rafka yang kini ikut duduk di ruang tengah."Belakang pintu kamar gue. Cari aja." Retha menyahut singkat, matanya tak teralihkan dari layar televisi."Kamu mau ke mana, Raf? Udah malem loh." Mama menoleh ke arah Rafka, melihat gelagat anaknya yang hendak keluar rumah."Mau cari makan, Ma.""Lah, bukannya tadi kamu udah makan?" Mama berusaha memfo
"Din, ke toilet dulu yuk!"Rafka menoleh ke asal suara yang dikenalnya. Ia melihat sekelompok karyawati yang hendak melintas untuk makan siang.Itu Fara, bersama teman-teman kantornya yang sedang berjalan beriringan di lobi gedung kantornya. Jam makan siang seperti ini biasanya mereka menuju kantin atau warung-warung makan yang berada di sekitar gedung ini."Ikut doong." Laely yang berjalan di belakang mereka kini menyejajari langkahnya dengan Fara dan Dini.Rafka yang sedang berdiri di ujung koridor untuk memasuki toilet di lantai ini, kini berpapasan dengan gerombolan Fara.Rafka dapat melihat Laely yang menyikut Fara sambil melirik ke arahnya, yang sukses membuat Fara kini benar-benar menoleh ke arahnya. Ia tidak mungkin berpura-pura tidak melihat. Saat matanya bertemu pandang dengan Fara, ia tersenyum ramah.Fara tidak tersenyum sama sekali, sorot matanya masi menampakkan kilat amarah begitu jelas. Alih-alih melihat wajahnya, Fara menjatuhkan pandangannya pada sesuatu yang berada
Setelah menghabiskan tiga loyang piza hanya untuk mereka berdua, Enand kini menerima dua box piza lagi dari pelayan, untuk dibawa pulang.Mone tidak menyangka bahwa masa pertumbuhan remaja bisa menghabiskan makanan sebanyak itu, sementara dirinya hanya menghabiskan satu loyang piza berukuran medium, itu pun dimakan berdua dengan Rafka."Kak Mone, makasih banget loh ini. Tapi, kalo misal lo gak ikhlas karena ini kebanyakan, remburs aja ya, ke Arsen." Enand mengangkat dua box piza di tangannya, menunjukan benda itu pada Mone."Iya, habisin! Kalo gak habis, bagiin ke tetangga kos kamu.""Siap, Kak!"Waktu sudah menunjukan pukul setengah dua siang. Mereka segera bergegas untuk meninggalkan restoran piza dan kembali pada aktivitas masing-masing. Namun, saat keluar dari restoran tersebut, mereka disambut derasnya hujan yang semula hanya berupa gerimis.Restoran piza yang memiliki lahan sendiri ini, membuat parkirannya terletak di belakang. Sehingga untuk mencapai ke mobil, mereka harus mele
Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang
Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin
Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e