Ketika Reina mengetuk pintu kamar Putri Salima, ia tidak menyangka akan mendengar suara lemari dibanting dan koper terbuka.“Putri Salima?” Reina memanggil hati-hati.Pintu terbuka dengan cepat, menampilkan wajah Putri Salima yang memerah, bukan karena bedak, tapi amarah.“Aku sedang sibuk! Kalau kau mau bergosip tentang pangeran sialan itu, lebih baik—”“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi,” potong Reina cepat, mencoba tetap tenang.Matanya terarah pada beberapa koper besar di ranjang. Gaun-gaun, sepatu, kotak perhiasan, dan semuanya berantakan. Jelas bukan sekadar ingin ganti baju.“Kamu mau pergi?” tanya Reina, menutup pintu perlahan.Salima menoleh, matanya basah. “Apa gunanya aku di sini kalau hanya dijadikan bahan lelucon?”Reina mendekat hati-hati. “Apa yang dia katakan?”Salima langsung duduk, napasnya berat. “Kemarin malam... dia datang ke kamarku. Setelah semua orang menyuruhku memilih dia, dia malah—” suara Salima tercekat, lalu berkata dengan penuh rasa sakit, “dia bilan
Angin malam berembus lembut di puncak Bukit Aeloria. Lampu lentera bergoyang pelan menggantung di dahan-dahan pohon, menerangi jalan setapak menuju sebuah tempat duduk kayu beratapkan bunga anggrek liar. Di kejauhan, danau tampak berkilau tertimpa cahaya bulan. Tempat itu sunyi, damai, dan nyaris seperti lukisan.Reina berdiri dengan jubah panjang, gugup. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. "Kenapa Salima belum datang juga..." gumamnya. Ia menyiapkan semuanya agar Salima bisa berbicara dari hati ke hati dengan Pangeran Satya. Tapi sudah hampir satu jam berlalu.Langkah kaki terdengar dari arah belakang.Reina buru-buru berdiri. "Salima?" tanyanya.Yang muncul... bukan Putri Salima.Melainkan sosok tinggi menjulang dengan mantel gelap dan topeng separuh wajah yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang.Pangeran Satya.Reina langsung menunduk sopan. “Yang Mulia… mohon maaf, seharusnya ini—”"Tempat yang sangat romantis untuk pertemuan rahasia," potong Satya dengan nada rendah namun menggoda.
Suara tongkat kerajaan menjejak marmer, memantulkan gema yang membuat ruang balairung terasa makin hening. Raja Mahesa berdiri tegak di hadapan para penasihat dan bangsawan istana."Sudah cukup waktu kita beri pada Pangeran Satya," katanya dengan suara yang dalam dan tenang, tapi menyiratkan ultimatum. "Musim perjanjian akan datang. Tanpa pernikahan kerajaan, persekutuan dengan Malaca terancam."Beberapa penasihat saling pandang, tapi tak ada yang berani menyela."Ayahanda," suara tegas menyela dari sisi ruangan.Satya melangkah masuk. Rambutnya masih agak basah, jelas ia datang terburu-buru. Setengah wajahnya masih tertutup topeng perak."Apa maksud Ayahanda ingin menikahkan saya tanpa persetujuan saya?" tanyanya dingin, tapi sopan. "Tidakkah itu melanggar hak saya sebagai putra mahkota?"Raja Mahesa menatapnya tajam. “Kau telah menolak Salima. Kau tidak memberi pilihan pada kami. Jika kau tidak bertunangan dengan Salima dalam tiga hari, maka aku yang akan menentukan pernikahan tanpa
Pintu terbuka cepat. Ditto masuk tanpa diizinkan.Satya, yang sedang mengikat sarung pedangnya, menoleh tajam. “Berani sekali masuk tanpa laporan," ucap Satya tersenyum bercanda .”“Maaf, Yang Mulia. Ini darurat,” kata Ditto cepat, napasnya masih belum teratur.Satya diam sejenak, lalu menaruh pedangnya ke meja. “Bicara.”Ditto menelan ludah. “Ada kemungkinan penyamaran Nyonya terbongkar.”Satya berhenti sejenak. “Sejak kapan?”“Tiga bulan lalu. Keluarga aslinya menghilang dari wilayah perbatasan. Rumah mereka dibakar habis. Tapi baru kemarin laporan lengkapnya sampai ke tangan saya.”Suara Satya turun dua oktaf. “Kenapa baru sekarang kau laporkan?”“Saya baru temukan salinan catatan pengungsi dari distrik timur. Sebelumnya... data itu disembunyikan oleh petugas lokal.”Satya mengepalkan tangan. Napasnya berat.“Dia tahu?”Ditto menggeleng. “Sepertinya tidak, Mayor. Dia terus jalankan tugas. Tidak ada tanda dia curiga.”Satya membalik badan, mengambil mantel, lalu melangkah cepat ke a
Langit mendung. Cahaya lampu hanya separuh menerangi lorong batu tua. Satya melangkah cepat, jubah panjang digulung ke lengan, sepatu botnya dibungkam kain hitam.Dua pengawal berjaga di depan kamar Reina. Ia menghentikan langkah di balik pilar batu.Isyarat tangan. Tiga jari.Satu napas. Dua langkah.Gerak cepat—pengawal pertama dihantam dengan bokong belati ke tengkuk. Satya menangkap tubuhnya sebelum jatuh. Pengawal kedua menoleh, sempat mengangkat senjata—Braak!Satya menjatuhkannya dengan hantaman lutut ke dada. Pistol terlepas. Ia hempaskan tubuh si penjaga ke dinding tanpa suara.Napasnya masih stabil. Ia buka pintu pelan-pelan.Di atas ranjang, seseorang duduk membelakanginya. Rambut digelung rapi, mengenakan gaun tidur tipis khas bangsawan Ghana. Reina menoleh kaget.“Mas Satya?”Dia berdiri setengah, bingung. “Bagaimana kau bisa di sini? Kau tak bisa—”Satya melangkah cepat, menutup pintu dan menguncinya.“Kita bicara sekarang,” katanya tegas.Reina beringsut mundur. “Apa y
Reina melangkah ringan di lorong rumah sakit, senyumnya tak bisa ditahan. Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan. Setelah berbulan-bulan bertugas di luar pulau akhirnya ia mendapat cuti, setelah tiga hari bertemu keluarga kini dia bisa bertemu dengan Vino, kekasihnya.Ia membayangkan ekspresi terkejut Vino saat melihatnya tiba-tiba muncul di ruangannya. Mungkin pria itu akan memeluknya erat atau sekadar tersenyum lebar seperti biasa. Namun, senyumnya perlahan pudar saat mendapati ruangan dokter itu kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan Vino. Rasa cemas mulai merayap di benaknya.“Permisi, Dokter Vino ada?” tanya Reina pada seorang perawat yang kebetulan lewat.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan nada hati-hati, “Dokter Vino sudah tidak bertugas di sini lagi, Mbak.”Reina mengernyit. “Maksudnya?”Perawat itu menghela napas. “Dokter Vino sudah pergi ke Amerika minggu lalu. Dia melanjutkan pendidikannya di sana.”Dunia Reina seketika terasa hampa. Suara-suar
Asap mesiu masih menguar di udara saat suara derap kaki terdengar dari segala penjuru. Kapten Satya Yudha Pratama berdiri di tengah reruntuhan desa kecil, dikepung puluhan pemberontak bersenjata lengkap.Di sekelilingnya, para prajuritnya telah gugur atau tertangkap. Hanya dia seorang yang tersisa.Seorang pemberontak bertubuh besar melangkah mendekat, menyeringai puas. “Kapten besar dari Malaca jatuh ke perangkap kami seperti tikus bodoh.”Tawa mencemooh bergema.“Katanya kau legenda di medan perang. Nyatanya? Kau hanya manusia biasa.”Satya tetap diam, ekspresinya tak berubah. Matanya menyapu medan—reruntuhan, mayat bergelimpangan, senjata yang berserakan.Seorang pemberontak lain menodongkan senapan ke arahnya. “Menyerahlah. Pangeran Ardian pasti akan membayarmu mahal jika kami menyerahkanmu hidup-hidup.”Alih-alih takut, Satya tersenyum tipis. “Kalian pikir aku masuk perangkap?”Para pemberontak mengernyit. Saat itu juga—Satya bergerak.Dengan kecepatan luar biasa, ia merunduk, me
Reina terbatuk, asap tebal masih membekas di tenggorokannya saat dia berjalan tertatih di antara pepohonan. Panas dari kebakaran semalam masih terasa di kulitnya, meski kini hanya ada kegelapan dan hawa lembab hutan yang menyelimutinya. Kakinya yang terluka berusaha melangkah stabil di atas tanah berlumpur. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara serangga dan sesekali lolongan binatang buas yang menggema dari kejauhan.Dia tak tahu sudah berapa lama berjalan, mungkin berjam-jam, mungkin lebih. Yang dia tahu, dia harus terus bergerak. Berhenti berarti kematian, dan Reina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.Ketika sinar matahari mulai menembus celah dedaunan, Reina melihat sesuatu di kejauhan—gubuk-gubuk kayu yang berdiri di sepanjang sungai. Matanya menyipit, memperhatikan lebih jauh. Ada orang-orang di sana, sebagian berpakaian lusuh, sebagian bersenjata. Jantungnya berdegup lebih cepat saat dia menyadari bahwa dia telah tersesat di wilayah Ghana.Ini adalah daerah konflik.
Langit mendung. Cahaya lampu hanya separuh menerangi lorong batu tua. Satya melangkah cepat, jubah panjang digulung ke lengan, sepatu botnya dibungkam kain hitam.Dua pengawal berjaga di depan kamar Reina. Ia menghentikan langkah di balik pilar batu.Isyarat tangan. Tiga jari.Satu napas. Dua langkah.Gerak cepat—pengawal pertama dihantam dengan bokong belati ke tengkuk. Satya menangkap tubuhnya sebelum jatuh. Pengawal kedua menoleh, sempat mengangkat senjata—Braak!Satya menjatuhkannya dengan hantaman lutut ke dada. Pistol terlepas. Ia hempaskan tubuh si penjaga ke dinding tanpa suara.Napasnya masih stabil. Ia buka pintu pelan-pelan.Di atas ranjang, seseorang duduk membelakanginya. Rambut digelung rapi, mengenakan gaun tidur tipis khas bangsawan Ghana. Reina menoleh kaget.“Mas Satya?”Dia berdiri setengah, bingung. “Bagaimana kau bisa di sini? Kau tak bisa—”Satya melangkah cepat, menutup pintu dan menguncinya.“Kita bicara sekarang,” katanya tegas.Reina beringsut mundur. “Apa y
Pintu terbuka cepat. Ditto masuk tanpa diizinkan.Satya, yang sedang mengikat sarung pedangnya, menoleh tajam. “Berani sekali masuk tanpa laporan," ucap Satya tersenyum bercanda .”“Maaf, Yang Mulia. Ini darurat,” kata Ditto cepat, napasnya masih belum teratur.Satya diam sejenak, lalu menaruh pedangnya ke meja. “Bicara.”Ditto menelan ludah. “Ada kemungkinan penyamaran Nyonya terbongkar.”Satya berhenti sejenak. “Sejak kapan?”“Tiga bulan lalu. Keluarga aslinya menghilang dari wilayah perbatasan. Rumah mereka dibakar habis. Tapi baru kemarin laporan lengkapnya sampai ke tangan saya.”Suara Satya turun dua oktaf. “Kenapa baru sekarang kau laporkan?”“Saya baru temukan salinan catatan pengungsi dari distrik timur. Sebelumnya... data itu disembunyikan oleh petugas lokal.”Satya mengepalkan tangan. Napasnya berat.“Dia tahu?”Ditto menggeleng. “Sepertinya tidak, Mayor. Dia terus jalankan tugas. Tidak ada tanda dia curiga.”Satya membalik badan, mengambil mantel, lalu melangkah cepat ke a
Suara tongkat kerajaan menjejak marmer, memantulkan gema yang membuat ruang balairung terasa makin hening. Raja Mahesa berdiri tegak di hadapan para penasihat dan bangsawan istana."Sudah cukup waktu kita beri pada Pangeran Satya," katanya dengan suara yang dalam dan tenang, tapi menyiratkan ultimatum. "Musim perjanjian akan datang. Tanpa pernikahan kerajaan, persekutuan dengan Malaca terancam."Beberapa penasihat saling pandang, tapi tak ada yang berani menyela."Ayahanda," suara tegas menyela dari sisi ruangan.Satya melangkah masuk. Rambutnya masih agak basah, jelas ia datang terburu-buru. Setengah wajahnya masih tertutup topeng perak."Apa maksud Ayahanda ingin menikahkan saya tanpa persetujuan saya?" tanyanya dingin, tapi sopan. "Tidakkah itu melanggar hak saya sebagai putra mahkota?"Raja Mahesa menatapnya tajam. “Kau telah menolak Salima. Kau tidak memberi pilihan pada kami. Jika kau tidak bertunangan dengan Salima dalam tiga hari, maka aku yang akan menentukan pernikahan tanpa
Angin malam berembus lembut di puncak Bukit Aeloria. Lampu lentera bergoyang pelan menggantung di dahan-dahan pohon, menerangi jalan setapak menuju sebuah tempat duduk kayu beratapkan bunga anggrek liar. Di kejauhan, danau tampak berkilau tertimpa cahaya bulan. Tempat itu sunyi, damai, dan nyaris seperti lukisan.Reina berdiri dengan jubah panjang, gugup. Ia melirik ke kiri dan ke kanan. "Kenapa Salima belum datang juga..." gumamnya. Ia menyiapkan semuanya agar Salima bisa berbicara dari hati ke hati dengan Pangeran Satya. Tapi sudah hampir satu jam berlalu.Langkah kaki terdengar dari arah belakang.Reina buru-buru berdiri. "Salima?" tanyanya.Yang muncul... bukan Putri Salima.Melainkan sosok tinggi menjulang dengan mantel gelap dan topeng separuh wajah yang hanya bisa dimiliki oleh satu orang.Pangeran Satya.Reina langsung menunduk sopan. “Yang Mulia… mohon maaf, seharusnya ini—”"Tempat yang sangat romantis untuk pertemuan rahasia," potong Satya dengan nada rendah namun menggoda.
Ketika Reina mengetuk pintu kamar Putri Salima, ia tidak menyangka akan mendengar suara lemari dibanting dan koper terbuka.“Putri Salima?” Reina memanggil hati-hati.Pintu terbuka dengan cepat, menampilkan wajah Putri Salima yang memerah, bukan karena bedak, tapi amarah.“Aku sedang sibuk! Kalau kau mau bergosip tentang pangeran sialan itu, lebih baik—”“Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi,” potong Reina cepat, mencoba tetap tenang.Matanya terarah pada beberapa koper besar di ranjang. Gaun-gaun, sepatu, kotak perhiasan, dan semuanya berantakan. Jelas bukan sekadar ingin ganti baju.“Kamu mau pergi?” tanya Reina, menutup pintu perlahan.Salima menoleh, matanya basah. “Apa gunanya aku di sini kalau hanya dijadikan bahan lelucon?”Reina mendekat hati-hati. “Apa yang dia katakan?”Salima langsung duduk, napasnya berat. “Kemarin malam... dia datang ke kamarku. Setelah semua orang menyuruhku memilih dia, dia malah—” suara Salima tercekat, lalu berkata dengan penuh rasa sakit, “dia bilan
Angin malam berembus lembut lewat jendela yang terbuka separuh. Reina duduk di kursi dekat meja rias, menatap kosong bayangan dirinya di cermin. Matanya kosong, pikirannya kacau.Apa yang kulihat tadi...? Mereka sedekat itu... Ia mendesah pelan, lalu menggigit bibir bawahnya. Kenapa aku peduli...?Pintu kamar mengeluarkan bunyi halus—nyaris tak terdengar. Tapi langkah kaki itu... Reina terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk menyadari.Satya masuk diam-diam, mengenakan pakaian malam biasa berlengan panjang, wajahnya tak tertutup topeng. Kali ini bukan Pangeran Satya yang masuk ke kamar itu. Tapi seorang suami.Matanya menemukan Reina. Duduk diam. Membisu.Dan Satya mengira... istrinya sedang cemburu.Ia mendekat perlahan, langkahnya tenang, lalu berhenti tepat di belakang Reina.“Reina,” bisiknya rendah.Tak ada jawaban.Satya tersenyum samar. Ia menyentuhkan tangannya perlahan ke bahu Reina. Lalu—tanpa aba-aba—ia memeluknya dari belakang. “Aku minta maaf.”Tubuh Reina menegang seke
Langit siang cerah di balik jendela kaca patri, tapi suasana meja makan istana jauh dari hangat. Pembicaraan diplomatik berlangsung tegang, tapi perhatian Reina terpusat pada satu hal—satu orang. Pangeran Satya. Pria itu duduk di ujung meja panjang, mengenakan topeng perak yang menutup sisi kiri wajahnya. Tegap, diam, penuh aura gelap. Dari tadi tak banyak bicara. Suaranya berat, datar, nyaris tanpa emosi. Dan itu membuat Reina... penasaran setengah mati. “Katanya dia diserang, Beruang” bisik Salima pelan. “Atau semacam kutukan. Lihat saja topengnya. Mereka bilang, wajahnya setengah hancur.” Reina menoleh, nyaris tersedak anggur. “Beruang? Yang benar saja…” “Dan konon,” Salima menambahkan dramatis, “wajah buruknya mencerminkan hatinya. Dingin. Kejam. Sempurna untuk jadi suamiku, kalau aku mau bunuh diri.” Reina hampir meledak tertawa, tapi buru-buru mengatup mulut. Wajah buruk. Dingin. Kejam. Jangan-jangan... dia cemburuan juga? Hah. Mirip seseorang... Matanya kembali m
Cahaya mentari menyelinap masuk melalui tirai tipis kamar Putri Alliya. Udara pagi membawa aroma bunga lavender dari taman istana, namun ketenangan itu tidak mampu menenangkan hati Reina yang duduk di tepi ranjang, memandangi jendela dengan mata kosong.Ia masih memikirkan kejadian semalam—kehadiran Satya yang tiba-tiba muncul di kamarnya dengan penyamaran dan ekspresi yang tak biasa. Dingin. Mencurigai. Dan diam-diam melindungi.Reina menggigit bibirnya. Ia tahu Satya menahan banyak hal—pertanyaan, rasa penasaran, dan mungkin… kekhawatiran. Tapi ia tidak bisa menjelaskan apapun. Misinya sebagai Putri Alliya adalah perintah langsung dari raja dan Kolonel Bram. Rahasia negara. Bahkan kepada suaminya sendiri, ia tak boleh membocorkannya.Suara ketukan di pintu menyentaknya dari lamunan.“Putri Alliya,” suara Malik dari luar, “Putri Salima meminta Anda menemaninya sarapan pagi.”Reina menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Sudah dimulai lagi, pikirnya.Dengan cepat, ia mengenakan
Suasana hening saat Satya berdiri di hadapan Raja Mahesa. Pilar-pilar marmer menjulang, sementara tirai berat warna emas bergoyang perlahan tertiup angin dari balkon. Mata Raja Mahesa tajam menatap putranya.“Kau sudah terlalu lama bersembunyi di balik status perwira, Satya.”Nada suaranya tenang, tapi mengandung tekanan yang tak bisa ditawar.“Besok malam, kau akan hadir sebagai pangeran Ghana dalam jamuan makan malam kenegaraan. Aku sudah muak menunggu. Ini perintah."Satya menunduk hormat, tapi rahangnya mengeras."Pa, jika boleh saya—"“Tidak ada jika. Satya, ini bukan tentangmu lagi. Ini tentang kerajaan. Tentang perdamaian dengan Malaca. Hadiri jamuan itu. Duduk di samping Putri Salima. Dan tunjukkan bahwa Ghana tidak bermain-main.”Raja Mahesa berdiri. Suaranya turun satu oktaf.“Atau… kau lepaskan gelar pangeranmu.”Satya menggertakkan gigi. Ia tahu, ini bukan sekadar tekanan. Ini ultimatum. Sebenarnya dia ingin melepas gelar itu, namun urusannya belum selesai. Satya duduk di