Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 29 – Dalam Tim Ada Mata

Share

Bab 29 – Dalam Tim Ada Mata

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-01 00:35:18
Hari itu dimulai seperti biasa—kopi pagi, rapat strategi mingguan, dan tinjauan ulang siaran pers untuk proyek ekspansi pendidikan digital. Tapi sebelum matahari benar-benar naik, dunia sudah kembali bergetar.

Satu paragraf dari dokumen internal mereka muncul dalam laporan eksklusif media daring.

Tertulis jelas: “Dirgantara Lestari akan mengalihkan dana sponsorship proyek kesehatan untuk kebutuhan rebranding digital.”

Padahal, keputusan itu belum pernah dipublikasikan. Bahkan belum final.

Nara menatap layar laptopnya, jantungnya berdetak cepat. Ia membaca ulang pernyataan itu berulang-ulang.

“Ini belum keluar dari tim,” katanya pelan.

Raydan, yang duduk di seberang meja, menatapnya lekat. “Hanya kamu, aku, dan enam staf yang tahu.”

Rapat darurat digelar dua jam kemudian. Semua anggota tim komunikasi hadir. Wajah mereka biasa. Tapi Nara tahu: dalam ruangan itu, seseorang telah berbicara ke luar.

Ia berdiri di depan layar proyektor, menunjukkan tangkapan layar berita bocoran itu. Semua t
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 57 – Merawat

    Hari itu Raydan pulang lebih awal dari biasanya. Langkahnya pelan. Wajahnya pucat, matanya merah, dan senyumnya hanya sisa.“Aku… agak menggigil,” katanya pelan sambil meletakkan tas kerja.Nara tak bertanya banyak. Ia hanya mendekat, menyentuh dahinya, dan bergumam:“Demam. Sudah istirahat sekarang. Biar aku yang urus semuanya.”Raydan mengangkat alis sedikit, seolah ingin bercanda. Tapi tubuhnya menyerah lebih dulu. Ia hanya sempat bergumam, “Maaf, ya…” sebelum akhirnya berbaring.Nara tidak panik. Tidak ribut.Ia menutup laptop, menunda rapat daring yang dijadwalkan. Lalu mulai rutinitas kecil: Merebus jahe. Menyiapkan handuk basah. Mencari selimut tipis. Memastikan suhu ruangan nyaman.Ia tidak mencoba membuat Raydan cepat sembuh. Ia hanya berusaha membuat tubuh yang sedang lemah… merasa ditemani dengan wajar.Pukul dua dini hari, Raydan menggeliat. Nafasnya berat. Nara duduk di lantai dekat ranjang, tertidur sambil memeluk lutut.Ia terbangun karena suara batuk Raydan. Tanpa

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 56 – Yang Diceritakan dan Yang Disisakan

    Pagi itu, email masuk ke kotak masuk Nara. Subjeknya: “Penawaran Serial Dokumenter – Cerita dari Suara yang Nyaris Hilang”Nara membacanya dua kali. Raydan sedang menuang kopi di dapur.“Dan,” panggil Nara.Raydan mendekat. “Hmm?”Nara menunjuk layar laptop. Raydan membaca:“…kami tertarik membuat serial mini berdurasi 5 episode tentang kisah pasangan muda yang mewarisi proyek perumahan sosial dari orang tuanya, lalu menghidupkannya kembali bukan dengan bangunan, tapi dengan suara-suara warga. Kami melihat ini bukan hanya kisah kemanusiaan, tapi juga narasi cinta yang berdimensi sosial...”Raydan meletakkan cangkir. “Mereka mau bikin kita jadi tokoh utama?”Nara mengangguk. “Dan... itu yang membuatku ragu.”Tiga hari kemudian mereka bertemu dengan tim kreatif dari rumah produksi itu. Kantornya sederhana, tapi penuh penghargaan film dan poster dokumenter puitis. Di ruang kecil dengan dinding bata terbuka, produsernya bicara dengan semangat:“Kami tidak ingin membuat kisah ini jadi vi

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 55 – Bukan Monumen, Tapi Ruang yang Masih Bisa Ditinggali

    Beberapa hari setelah mereka pulang dari kunjungan ke lokasi proyek lama, Nara duduk sendirian di ruang baca. Di hadapannya: beberapa foto rumah, catatan warga, dan suara anak kecil yang sempat ia rekam secara diam-diam.Di layar laptopnya, file dokumen terbuka dengan judul awal:“Jejak yang Masih Berdiri – Kisah-Kisah dari Proyek yang Tak Selesai”Tapi Nara menghapusnya. Lalu menulis ulang:“Rumah yang Tetap Dihuni – Mendengar Mereka yang Pernah Dititipi Mimpi”Raydan masuk sambil membawa dua cangkir teh.“Kamu nulis?” tanyanya pelan.Nara mengangguk. “Aku rasa, kita nggak perlu bangun ulang rumah-rumah itu. Mereka sudah ada, sudah hidup. Yang kita perlu bangun sekarang adalah ruang bicara mereka.”Raydan duduk di sampingnya. “Kamu punya bentuknya?”Nara membuka slide pertama presentasinya. Bukan angka. Bukan target. Hanya tiga kalimat: Ruang dokumentasi suara warga. 2. Podcast pendek tentang sejarah proyek dan dampaknya. 3. Program literasi untuk anak-anak penghuni—agar mereka

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 54 – Mencari Yang Masih Bertahan di Antara Yang Pernah Gagal

    Pagi itu langit mendung, seolah bersiap menurunkan sesuatu yang bukan hujan, melainkan kenangan yang belum selesai dijelaskan.Nara dan Raydan berkendara ke arah selatan Jakarta, melewati kawasan yang dulunya berkembang dalam diam, tapi kini mulai dipenuhi gedung tinggi dan iklan properti besar. Namun mereka tidak menuju gedung-gedung itu. Mereka mengikuti rute lama, peta usang dari salah satu dokumen peninggalan Dirgantara Prasetya.“Blok G, Kelurahan Suryamulya,” kata Raydan sambil menunjuk sepotong denah. “Di sinilah proyek perumahan kecil itu pernah dimulai.”Setibanya di sana, mereka turun di depan gerbang besi yang catnya mengelupas. Di baliknya: puluhan rumah sederhana, satu taman kecil, dan pos RW kosong yang sudah reyot.Nara berjalan perlahan. Beberapa warga menyapa. Anak-anak bermain bola di lapangan kecil.Di salah satu rumah, seorang ibu tua sedang menyiram bunga. Ia memandangi mereka sejenak, lalu bertanya:“Kalian dari dinas?”Nara tersenyum. “Bukan, Bu. Kami hanya ingi

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 53 – Di Antara Pondasi yang Tidak Pernah Dijelaskan

    Hari itu, Nara menerima sebuah amplop berwarna krem di kotak surat rumah barunya. Tak ada pengirim. Tak ada logo resmi. Hanya ditulis tangan: “Untuk Nara Ayuningtyas – Yang Dulu Saya Lihat Sebagai Ambisi Tanpa Arah” Tangannya sedikit bergetar saat membuka. Di dalamnya: satu lembar surat tulis tangan. Tinta hitam. Rapi. Tegas. Tapi... berbeda. Ia membaca perlahan. “Nara, Saya tidak tahu apakah kamu masih menyimpan bayangan tentang saya. Tapi jika kamu ingat, saya adalah orang yang dulu berkata: ‘Kamu terlalu kuat untuk jadi perempuan yang bisa dipercaya publik.’” “Saya melihat dirimu sebagai risiko. Sebagai citra yang tidak bisa dikendalikan. Dan saya mengira, dengan ‘mengikatmu’, saya bisa melindungi perusahaan dari kontroversi.” “Tapi beberapa hari lalu saya membaca esai tentangmu. Tentang Rumah Bicara. Tentang surat-surat dari perempuan lain. Dan saya tahu... saya salah.” “Kamu tidak pernah jadi risiko. Kamu adalah kemungkinan. Dan saya terlalu takut pada perubahan

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 52 – Surat-Surat dari Perempuan yang Tak Lagi Diam

    Tiga hari setelah esai “Kami Tidak Pernah Berniat Jatuh Cinta…” tayang, email redaksi internal Dirgantara dipenuhi pesan.Bukan dari investor. Bukan dari wartawan. Tapi dari perempuan-perempuan yang menuliskan kisah mereka dengan judul subjek:“Untuk Nara”“Dari Saya, yang Pernah Dihina Karena Menikah Lewat Jalan Tak Lazim”“Saya Membaca Esai Ibu Nara dan Saya Menangis”Mira menyerahkan bundel cetakan surat-surat itu ke meja Nara. Tebalnya hampir satu rim. Di antaranya, tiga kutipan paling menggugah:“Saya pernah menikah karena kehamilan yang tak direncanakan. Kami bertahan. Tapi tak pernah diakui. Hari ini, untuk pertama kalinya saya merasa bahwa bertumbuh dari kesepakatan bukanlah dosa.”“Saya belum menikah. Umur 36. Dan hari ini saya menyadari: rumah bukan soal status. Tapi soal ruang yang saya rawat, bahkan jika hanya untuk saya sendiri.”“Saya seorang guru di daerah. Esai Ibu membuat saya menulis surat ini kepada suami saya, isinya: ‘Terima kasih sudah tetap di sini, meski dul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status