Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 7 – Tamu Tak Diundang

Share

Bab 7 – Tamu Tak Diundang

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-05-28 11:00:50

Hari Sabtu datang dengan mendung yang menggantung ragu di langit Jakarta. Di dalam rumah keluarga Raydan—yang jarang sekali dihuni kecuali saat acara besar—hiruk-pikuk terdengar dari dapur hingga halaman belakang. Raydan menyuruh Nara bersiap sejak pagi. Ada makan siang keluarga besar, katanya, dan ini bagian dari “penyesuaian peran” mereka.

Nara berdiri di depan cermin dengan kebaya modern berwarna abu lembut, rambut disanggul anggun, dan riasan tipis yang membuat wajahnya terlihat dewasa tapi tetap teduh.

Ia menatap dirinya lama. Ini bukan sekadar pakaian, ini kostum. Dan hari ini, ia akan bermain dalam panggung yang lebih rumit dari sekadar wawancara pencitraan.

Ruang makan utama dipenuhi obrolan formal dan tawa yang terdengar ‘sopan’. Piring-piring porselen, sendok perak, dan meja panjang itu seolah jadi panggung kekuasaan—dan Nara, pemain baru yang belum hafal naskah.

Raydan duduk di sebelahnya, tenang dan karismatik, memainkan peran suami ideal dengan irama yang sudah terbiasa. Di seberang mereka, duduk Tanta Vira, dua sepupu perempuan Raydan yang haus gosip, dan—yang paling tajam lidahnya—Tante Melia, kakak ipar ibu Raydan.

“Cantik juga ya kamu, Nara,” ucap Tante Melia sambil menyendok sop. “Tapi sayang, keluarga kita nggak terlalu suka hal-hal yang mendadak. Apalagi yang tiba-tiba menikah.”

Nara tersenyum menahan diri. Raydan melirik tajam ke arah bibinya, tapi tak bicara.

“Eh, Ma,” sela sepupu Raydan yang paling muda, Raline, “Nara itu kerja di yayasan sosial ya? Bagus lho, jarang ada istri CEO yang mau repot turun ke lapangan.”

Nara mengangguk, bersyukur ada yang mencoba menetralkan suasana.

“Iya. Saya hanya bantu-bantu sebisanya. Lagipula, itu bukan tentang citra. Tapi soal tanggung jawab.”

“Wah,” sahut Tante Melia dengan nada dingin. “Hebat ya. Jadi istri Raydan, langsung bisa bicara soal tanggung jawab keluarga. Cepat sekali beradaptasinya.”

Nara hendak menjawab ketika suara pelayan membisik ke telinga Raydan, “Ada tamu yang ingin bicara dengan Nyonya Nara. Katanya penting.”

Wajah Raydan menegang. Ia menatap Nara, lalu bangkit dan menggamit tangannya.

Mereka tiba di ruang tamu yang lebih sepi. Di sana, duduk seorang pria berwajah letih, mengenakan kemeja lusuh dan celana jins pudar. Rambutnya agak panjang dan tak terurus. Tapi matanya tajam. Mata yang pernah Nara kenal.

Nara terpaku. Dunia di sekelilingnya membeku.

“Alvino...?”

Pria itu berdiri. Suaranya serak. “Aku harus bicara. Kita harus bicara.”

Raydan melangkah maju, tubuhnya setengah menutupi Nara. “Siapa kamu?”

“Aku... masa lalu yang Nara tinggalkan,” jawab Alvino pelan, tapi penuh tekanan. “Dan sekarang masa lalu itu harus dibereskan, sebelum segalanya terlambat.”

Nara merasa seolah-olah dirinya berdiri di tengah dua dunia: satu yang telah ia kubur dalam-dalam, dan satu lagi yang sedang ia bangun—dengan pondasi yang rapuh.

Raydan menatapnya. Mata pria itu bukan hanya bertanya. Mereka menuntut penjelasan.

Dan untuk pertama kalinya, Nara sadar, peran yang ia mainkan kini tak lagi hanya tentang kebohongan yang rapi.

Tapi tentang kebenaran yang menunggu meledak.

Raydan berdiri tegak di ambang ruang tamu, tubuhnya membentuk tembok tak kasat mata antara Nara dan pria itu. Aura dingin terpancar dari sorot matanya—bukan kemarahan, bukan pula cemburu. Lebih menyerupai kewaspadaan seorang pria yang baru menyadari bahwa dunia yang ia bangun di atas kontrak rapuh, ternyata menyimpan lebih banyak retakan daripada yang ia duga.

“Nara, siapa dia?” tanya Raydan. Suaranya tenang, tapi terlalu tenang—seperti angin sebelum badai.

Nara menghela napas. Di hadapan dua lelaki yang pernah dan sedang mengisi babak hidupnya, ia merasa seperti pecahan dari dirinya sendiri—berantakan, tak lagi utuh.

“Dia... Alvino. Dulu kami pernah bertunangan,” katanya, pelan, nyaris seperti pengakuan dosa.

Alvino menatap Nara, seakan mencari jejak perempuan yang dulu ia kenal dalam diri perempuan yang kini bersanding dengan pria lain. “Kau menghilang begitu saja, Nara. Dan sekarang aku tahu kenapa. Kau menikah. Dengan dia.”

Nara menggigit bibir. Luka lama menguar seperti kabut dari masa lalu.

“Bukan seperti itu, Vin.”

“Lalu seperti apa?” Alvino menatap Raydan, lalu kembali pada Nara. “Kau berutang penjelasan. Bukan hanya padaku, tapi pada dirimu sendiri. Kau tak bisa terus bersembunyi di balik peran yang kau paksakan pada dirimu.”

Raydan menahan napasnya. “Kau datang ke rumah ini tanpa izin, mengganggu istri saya, dan sekarang mengorek masa lalu tanpa tahu situasi sebenarnya.”

Alvino menyipitkan mata. “Jadi ini tentang status? Tentang siapa yang punya hak atas dia sekarang?”

“Saya tidak perlu berdebat soal hak. Tapi saya akan menjaga apa yang sekarang jadi tanggung jawab saya,” balas Raydan, nadanya datar tapi tegas.

Nara meremas jemarinya sendiri, merasa terjebak di antara dua poros waktu—yang satu memaksanya kembali, yang lain menuntutnya menetap.

Beberapa menit kemudian, Alvino pergi. Tanpa amarah, tanpa teriakan. Hanya tatapan kecewa yang menggantung di udara.

Nara dan Raydan kembali ke ruang atas. Suasana di rumah masih riuh, tapi dunia mereka sudah berubah.

Di kamar, Raydan melepaskan jasnya, menggantungnya perlahan. Lalu duduk di sofa tanpa menatap Nara.

“Ada banyak hal yang belum kau ceritakan.”

Nara berdiri terpaku. “Aku tidak pernah berniat menyembunyikan semuanya. Aku hanya tidak tahu kapan waktu yang tepat.”

Raydan menatapnya, kali ini bukan dengan penilaian, tapi keterbukaan yang menyakitkan.

“Kalau kita akan terus memainkan peran ini, Nara, aku butuh tahu siapa kamu sebenarnya. Apa kamu siap melepas topeng itu?”

Nara duduk di tepi ranjang, suaranya lirih, “Aku nggak tahu... apakah kau akan tetap biarkan aku di sini setelah kau tahu semuanya.”

Raydan tak menjawab. Tapi dalam diamnya, ada satu hal yang berubah: batas antara peran dan perasaan mulai mengabur.

Dan mungkin, dari sanalah segalanya akan benar-benar dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 14 – Hati yang Tak Lagi Pura-Pura

    Raydan bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia tidak bergegas membuka laptop, tidak langsung membaca laporan, tidak mencari jadwal meeting yang harus dikejar.Yang ia lakukan: memasak sarapan.Nasi goreng sederhana. Telur mata sapi yang agak gosong di pinggir. Dan teh manis panas yang diseduh terlalu manis karena ia tidak yakin berapa sendok seharusnya.Saat Nara muncul dari balik pintu kamar, rambutnya masih setengah basah, mata masih mengantuk, ia menemukan meja makan yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya soal menu, tapi tentang siapa yang menyusunnya. Dan niat di baliknya.“Tumben,” katanya singkat.Raydan menoleh. Ia nyaris terlihat canggung, tapi tetap menjaga gaya tenangnya yang biasa.“Mulai hari ini, aku pikir… aku mau mencoba menjadi suami. Yang beneran.”Nara duduk, mengamati piringnya. “Telurnya gosong.”Raydan tersenyum. “Cinta juga kadang gosong kalau dimasak buru-buru, kan?”Nara tak bisa menahan senyum. “Kamu baru aja nyontek

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 13 – Jejak yang Tak Bisa Dihapus

    Nara tidak tidur malam itu. Setelah Raydan tertidur di sofa, tubuhnya masih setengah basah dan dilingkupi mimpi buruk yang tak bersuara, Nara berjalan pelan ke kamar kerja. Ia duduk di depan laptop dan mengetik satu nama yang sejak beberapa jam terakhir mengendap dalam pikirannya:Aluna Maheswari.Tak banyak hasil yang muncul di mesin pencarian. Tidak ada foto, tidak ada berita besar. Hanya satu tautan menuju blog lama yang tak lagi aktif. Judul terakhirnya bertanggal empat tahun lalu, dengan judul yang menyayat:“Untuk yang Tak Pernah Datang Kembali.”Nara mengeklik.Tulisan di sana adalah catatan kehilangan. Tentang seorang perempuan yang kehilangan bayinya. Tentang laki-laki yang tak bisa ia benci, karena ia terlalu ia cintai. Tentang harapan-harapan yang patah tapi tak pernah ia kutuk.Kalimat terakhirnya membekas tajam di benak Nara.“Jika dia masih hidup, mungkin hari ini dia memanggilmu Ayah. Tapi kamu memilih menjadi asing.”Nara menutup laptop. Udara di ruangan terasa lebih b

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 12 – Tawar-Menawar Takdir

    Gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Nara, menjuntai anggun hingga lantai. Desainer pribadi keluarga Arsinaga yang memilihkan—katanya, supaya ia “seimbang” dengan Raydan di acara gala amal malam ini. Tapi Nara tahu, yang sesungguhnya diminta bukan hanya keindahan luar—melainkan pencitraan yang nyaris sempurna.Di depan cermin, ia menarik napas. Malam ini, bukan hanya tentang menghadiri acara. Ini tentang mempertahankan posisi, membungkam bisik-bisik yang kini mulai menggerogoti rumah tangganya.Raydan datang beberapa menit sebelum mereka berangkat. Mengenakan setelan gelap klasik, dasi perak, dan aura dingin yang biasa. Tapi saat melihat Nara, ia berhenti sebentar.“Kamu terlihat… luar biasa.”Nara tak menanggapi. “Kita akan main peran malam ini, kan? Ayo kita pastikan panggungnya megah.”Raydan menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Mereka berjalan ke mobil dengan keheningan yang lebih tajam dari percakapan mana pun.—Gedung opera tempat gala berlangsung bagaikan istana

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 11 – Retakan yang Halus

    Nara berdiri di balkon kamarnya, menyandarkan kedua tangan di pagar besi yang mulai berembun karena sisa hujan subuh tadi. Di dalam pikirannya, kata-kata Raydan terus terulang—"Seseorang dari masa laluku yang belum selesai." Dan kini, masa lalu itu punya nama dan wajah: Nadine.Angin berembus pelan, membawa aroma mawar dari taman bawah. Tapi aroma itu tak mampu menenangkan kegundahan dalam dada Nara. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini dibangun dari kesepakatan, bukan cinta. Tapi setelah semua langkah mereka, setelah pelan-pelan mereka membuka ruang kejujuran dan rasa, kenapa bayangan perempuan lain harus muncul saat ia mulai percaya?Raydan masuk ke kamar, tak mengetuk seperti biasanya. Mungkin karena ia tahu tak ada lagi dinding formalitas di antara mereka—yang tersisa hanya diam yang menggantung, seperti benang tipis yang nyaris putus.“Nara…” katanya lirih, mendekat.Nara tak menoleh. “Apa maksudmu belum selesai?”Raydan mendesah, duduk di tepi ranjang. “Nadine… dia dulu tunan

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 10 – Menjadi Kita

    Setelah semua kepergian, yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi keheningan kali ini tidak menyakitkan—ia seperti jeda yang dibutuhkan setelah tangis panjang. Nara duduk di kamar, di kursi dekat jendela, menyaksikan hujan tipis menghapus sisa debu di kaca. Di belakangnya, Raydan berdiri tanpa suara, membawa secangkir teh hangat."Masih hangat," katanya, meletakkan cangkir di meja kecil. “Katanya, teh bisa menenangkan detak jantung yang terlalu sibuk berpikir.”Nara menoleh, memberi anggukan kecil. “Terima kasih.”Raydan tak langsung pergi. Ia duduk di karpet, bersandar pada ranjang, sementara hujan menyanyikan lagu tenangnya sendiri.“Dulu,” ujar Raydan tiba-tiba, “aku pikir pernikahan cuma soal kesepakatan dan tanggung jawab. Tapi hari-hari denganmu... ternyata bukan cuma soal itu.”Nara membiarkannya bicara. Ini pertama kalinya Raydan membuka ruang di antara mereka tanpa topeng atau formalitas.“Aku lihat cara kamu menghadapi keluargaku. Cara kamu menyimpan kesedihan tapi tetap berdi

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 9 – Ujian Pertama

    Ruang tamu keluarga Wijaya pagi itu terasa seperti ruang sidang tak resmi. Para kerabat berkumpul—beberapa dengan tatapan tajam, sisanya menyembunyikan bisik-bisik di balik cangkir teh. Nara berdiri tegak di antara mereka, sementara Raydan duduk di sisi lain, diam seperti batu karang yang siap menahan gelombang.“Apa benar lelaki itu datang mencarimu semalam?” tanya Tante Lydia, nada suaranya setajam pisau dapur.Nara menahan napas. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja, ia tidak pernah siap menghadapi pertanyaan yang menggugat integritasnya sebagai seorang istri—meskipun pernikahan itu sendiri dibangun dari skenario yang tak sepenuhnya tulus.“Dia datang tanpa undangan. Dan dia bukan siapa-siapa lagi,” jawab Nara tegas.“Lucu,” sahut seorang sepupu Raydan. “Tapi bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kamu pikir keluarga ini akan diam saja setelah melihatmu menangis semalam?”Nara menoleh pada Raydan. Sekilas, ia mencari sandaran—tanda bahwa dirinya tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status