Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 7 – Antara Dua Dunia

Share

Bab 7 – Antara Dua Dunia

Author: Ayla
last update Huling Na-update: 2025-05-28 11:00:50

Nara menatap wajahnya di cermin kamar mandi. Cahaya lampu putih menyinari kulitnya dengan kejujuran yang menyakitkan—tidak ada riasan, tidak ada senyum palsu, hanya mata yang mulai terlihat seperti mata perempuan yang kehilangan pijakan.

Ia meraih sikat gigi, tapi tak langsung menggunakannya. Pikirannya masih tertinggal di butik siang tadi, di tatapan Nadine yang nyaris tak berkedip saat mengatakan: “Cepat atau lambat kamu akan jatuh—pada kenyataan, atau pada Raydan itu sendiri.”

Perempuan itu tidak menjerit, tidak mengancam, tidak menangis. Tapi justru karena itulah kata-katanya lebih menancap. Nadine tidak berusaha merebut apa pun—dia hanya memperingatkan, seolah tahu bahwa Nara akan kalah oleh dirinya sendiri.

Dan itu lebih menakutkan daripada ancaman mana pun.

Hari berikutnya, Raydan tidak sarapan di rumah. Ayu hanya mengatakan bahwa ia berangkat lebih pagi untuk bertemu investor luar negeri. Nara hanya mengangguk, lalu duduk di meja makan yang terasa semakin panjang sejak semalam.

“Apakah Bu Nara mau saya buatkan roti panggang?” tanya Ayu sopan.

“Teh jahe saja, Bu Ayu. Tidak lebih.”

Ayu menyajikan teh dalam cangkir putih berpola emas. Nara menggenggamnya seperti menggenggam sesuatu yang masih nyata, yang masih bisa dihangatkan, walau sesaat.

Ponselnya berbunyi.

Satu pesan masuk.

> Nadine: Aku minta maaf kalau aku mengejutkanmu kemarin. Tapi aku pikir kamu perlu tahu bahwa Raydan bukan pria yang mudah dijinakkan oleh siapa pun. Apalagi oleh kontrak.

Nara menatap layar itu cukup lama sebelum mengetik balasan yang sangat singkat.

> Terima kasih. Aku tidak mencoba menjinakkan siapa-siapa.

Tapi setelah pesan terkirim, ia merasa dadanya sedikit sesak.

Siang itu, Nara mengunjungi ibunya di rumah rawat. Tempat itu tenang, bersih, dan sedikit terlalu putih. Ibunya sedang membaca buku doa, kacamata setengah turun di batang hidung. Ketika melihat Nara, senyum lembut merekah seperti matahari yang lelah tapi tetap hangat.

“Nara sayang... kamu terlihat lelah.”

“Aku baik, Bu. Hanya terlalu banyak acara formal.”

“Orang-orang kaya itu memang sibuk dengan pesta,” ibunya tertawa pelan. “Tapi kamu... kamu masih anak Ayah. Jangan lupa caramu mencintai dengan sederhana.”

Nara menunduk. Matanya memanas tiba-tiba.

“Ayah pasti bangga padamu,” sambung ibunya. “Kamu... kamu bertahan. Itu sudah lebih dari cukup.”

Nara menggenggam tangan ibunya. Untuk sesaat, dunia di luar terasa diam. Tidak ada gala, tidak ada Nadine, tidak ada peran yang harus dijalani dengan senyuman yang diciptakan untuk kamera.

Hanya ibu dan anak. Dua jiwa yang pernah kehilangan, tapi menolak karam.

Malam harinya, ketika Nara kembali ke apartemen, Raydan sudah duduk di ruang tengah. Kemeja putihnya terbuka satu kancing. Wajahnya tampak letih, tapi ia menoleh saat Nara datang.

“Kamu pulang terlambat.”

“Aku dari rumah Ibu.”

Raydan mengangguk. “Apa kabarnya?”

“Masih mengingat semua tanggal penting. Bahkan tanggal saat aku lulus SMA. Tapi lupa nama perawat barunya.”

Raydan tidak menjawab. Hanya menatap teh di tangannya.

Lalu, tanpa aba-aba, ia berkata pelan, “Aku tidak mencintai Nadine.”

Nara terdiam.

“Aku tahu kamu bertemu dengannya,” lanjut Raydan. “Dan aku tahu dia punya cara bicara yang membuat orang mempertanyakan kenyataan yang mereka jalani.”

Nara duduk di seberang. “Kalau kamu tidak mencintainya, kenapa dulu hampir menikah?”

Raydan menatapnya, lama.

“Karena saat itu, aku pikir cinta adalah perjanjian. Sama seperti bisnis. Tapi Nadine menginginkan cerita. Aku tidak punya cerita. Hanya struktur.”

Nara nyaris tertawa kecil. “Ironis. Sekarang kamu justru menikahi seseorang berdasarkan struktur yang lebih kaku dari cinta itu sendiri.”

Raydan mengangkat bahu. “Mungkin karena sekarang aku sadar bahwa cinta bukan soal siapa yang paling memikat. Tapi siapa yang paling bertahan.”

Nara menatap pria itu. Sosok yang dulu begitu asing kini mulai terlihat... rapuh, dalam cara yang tidak ia duga.

“Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan,” katanya jujur.

Raydan mendekat, lalu duduk di sebelahnya.

“Tidak ada yang tahu. Tapi kalau kamu butuh alasan untuk bertahan satu hari lagi, anggap saja... kamu belum selesai memerankan dirimu sendiri.”

Nara menoleh. “Apa maksudmu?”

“Bisa jadi selama ini kamu hanya menjalani versi Nara yang diinginkan orang lain. Ibumu, ayahmu, bahkan aku. Tapi kalau kamu ingin... kamu bisa menulis versi Nara yang kamu pilih sendiri.”

Untuk pertama kalinya, Raydan tidak terdengar seperti direktur perusahaan atau pria kontrak dingin. Suaranya seperti seseorang yang juga tersesat di panggung yang sama—dan hanya ingin penonton berhenti menuntut akhir bahagia.

Nara tidak menjawab. Tapi ia bersandar pelan di sandaran sofa. Tidak dekat dengan Raydan, tapi cukup untuk tidak merasa sendiri.

Dan malam itu, mereka menonton film bisu yang tidak selesai. Tidak berbicara. Tidak bersentuhan. Tapi juga tidak pura-pura.

Karena terkadang, dua dunia tidak harus menyatu sepenuhnya—cukup saling mengerti bahwa mereka berdiri di garis yang sama, meski dengan pijakan yang berbeda.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 133 – Di Hadapan yang Telah Pergi, Aku Akhirnya Pulang

    Pagi itu mendung menggantung seperti awan-awan tua yang enggan bergerak.Nara menyetir sendiri, tanpa Raydan, tanpa Alana.Hanya satu tujuan: makam ayah.Buku memoarnya ia bawa, dibungkus kain flanel abu-abu.Di dalamnya terselip surat kecil yang belum pernah ia buka—tulisan tangan ayahnya yang ditemukan ibunya di kotak berkas lama.Nara belum pernah ke sana sejak pemakaman.Bukan karena tak peduli, tapi karena belum siap menatap nisan dan mengakui:> “Aku menyalahkanmu terlalu lama.”---Makam itu terletak di bawah pohon kamboja.Tanahnya sudah mulai rata.Batu nisannya sederhana—nama, tanggal, dan doa yang singkat.Nara duduk bersila, meletakkan bukunya pelan.> “Ayah… aku menulis buku.”“Tentang hidup yang ayah tinggalkan. Tentang aku yang belajar bertahan.Tentang cinta yang datang dengan cara yang… aneh.”“Dan aku benci mengakuinya, tapi banyak hal yang kuhadapi ternyata tak jauh berbeda dengan yang ayah alami.”Ia membuka halaman terakhir, dan mulai membacanya pelan.Suaranya pe

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 132 – Sorot Lampu dan Bayangan yang Tetap Tinggal

    Malam premiere berlangsung mewah.Karpet merah.Kilatan kamera.Wartawan berbaris.Para pemain tampil glamor dalam balutan busana rancangan desainer.Poster besar terpampang di pintu bioskop utama, dengan judul yang sama: Pulang Tidak Selalu ke Rumah.Nara berdiri di tengah keramaian itu.Wajahnya tersenyum. Tubuhnya diam.Tapi batinnya bergema: hening, nyaring, sepi, padat.> “Semua ini… terasa asing,” bisiknya pelan.Raydan di sisinya, mengenakan setelan sederhana, menoleh.“Karena ini bukan tentang kita lagi.Ini tentang kisah kita… yang kini dimiliki orang banyak.”Dan memang, saat film diputar dan layar lebar menyala,Nara tidak benar-benar menonton.Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi penonton:mereka tertawa saat adegan manis.Menangis saat adegan pertengkaran.Hening saat adegan Raydan versi layar memeluk Nara versi layar setelah pulang dari Eropa.Tapi tak satu pun dari mereka tahu:betapa nyata rasa takut yang menyelimuti setiap malam Nara selama di benua lain,betapa cang

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 131 – Kata yang Akhirnya Pulang

    Peluncuran buku “Pulang Tidak Selalu ke Rumah” diadakan di sebuah galeri kecil di jantung Jakarta.Dekorasi sederhana. Cahaya hangat.Barisan kursi penuh wajah-wajah penasaran—beberapa pembaca setia blog Nara,beberapa teman komunitas, dan…di baris depan, duduk seseorang yang tak pernah absen dalam proses penulisan: Raydan.Dan di sampingnya, mengenakan dress kuning muda yang dipilihnya sendiri, Alana menggenggam buket kecil.---Nara membuka acara dengan senyum gugup.> “Saat pertama menulis memoar ini, aku tidak tahu apa yang ingin kuceritakan.”“Apakah tentang pernikahan yang tak direncanakan?”“Atau tentang peran yang dipaksa dimainkan sebelum benar-benar siap?”> “Tapi saat menulis bab terakhir, aku sadar…”“Ini bukan buku tentang kegagalan yang dibungkus manis.”“Ini buku tentang kejujuran yang akhirnya berani bicara.”Ia lalu membuka lembar terakhir,yang selama ini hanya ia baca sendiri—hingga malam sebelum acara ini.> “Bab 23 – Orang yang Membuatku Percaya Lagi”> “Namanya

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 130 – Panggung yang Tak Pernah Mereka Minta

    Undangan itu datang lewat email dari universitas ternama.Acara seminar bertajuk “Pernikahan dan Pemulihan: Membangun Kembali Setelah Retak.”Mereka tak pernah mencari sorotan.Tapi kisah mereka—yang tersiar pelan dari mulut ke mulut melalui Rumah Pulang, melalui komunitas kecil, hingga media lokal—membuat nama Nara dan Raydan disebut-sebut sebagai pasangan yang layak bicara.Nara sempat ragu.Bukan karena ia malu, tapi karena ia tahu: bicara tentang masa lalu berarti membuka luka—yang bahkan belum sepenuhnya sembuh.> “Apa kita siap?” tanya Nara.Raydan menatapnya.“Kalau kita tunggu sampai benar-benar siap… mungkin kita enggak akan pernah datang.”---Di atas panggung, dengan mikrofon kecil di dada dan sorotan lampu putih,Nara membuka sesi itu bukan dengan teori. Tapi dengan kejujuran.> “Kami tidak menikah karena cinta.Kami menikah karena situasi. Karena syarat warisan. Karena rasa bersalah.Dan… kami tidak langsung jatuh cinta setelah itu.”> “Fase pertama kami adalah saling men

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 129 – Pohon dari Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Nara mulai menyadari sesuatu berubah di belakang rumah.Bukan secara tiba-tiba. Tapi perlahan, seperti musim yang bergeser diam-diam.Ada deru cangkul. Ada bau tanah basah.Dan ada Raydan—yang setiap pagi, setelah subuh, menyibukkan diri di taman kecil mereka.Nara sempat mengira itu bagian dari hobi barunya.Tapi ternyata lebih dalam dari itu.---Suatu siang, saat ia hendak menjemur cucian, Nara melihat sesuatu yang aneh.Di sudut taman, tersembunyi di balik semak lili paris, ada papan kayu kecil bertuliskan:> “Dari surat yang tak pernah sampai.”Penasaran, ia menyibak daun-daun yang menghalangi, dan menemukan sebuah kotak kayu kecil yang dilapisi pelapis tahan air.Di dalamnya, ada gulungan-gulungan kertas tua.Beberapa sudah lusuh, beberapa masih rapi.Saat dibuka, Nara tercekat.Itu surat.Tulisan tangan.Tulisan tangannya sendiri.---Surat-surat itu adalah draf lama yang ia tulis saat masa awal pernikahan—saat ia tak tahu harus berbicara pada siapa,saat luka terlalu malu unt

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 128 – Di Persimpangan Ambisi dan Akar

    Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status