Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 6 – Skenario di Balik Layar

Share

Bab 6 – Skenario di Balik Layar

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-05-28 11:00:47

Nara duduk di ruang kerja kecil yang baru diatur Raydan untuknya. Di balik meja kayu berlapis kaca, ia membuka berkas laporan kegiatan yayasan yang harus segera ia sunting. Tapi pikirannya masih sibuk membedah kalimat dalam email dari sekretariat. Nama itu—Alvino—masih menjadi beban samar yang menggantung di belakang kepala.

Kertas-kertas di mejanya tak benar-benar dibaca. Jari-jarinya justru menggulir layar ponsel, membuka dan menutup email itu lagi dan lagi, seperti menyiksa dirinya sendiri. Ia tahu apa yang harus dilakukan, tapi ia belum siap menghadapi dampaknya.

"Permisi, Nyonya..." suara Mbak Sri dari pintu menyentaknya. “Tamu dari majalah Femmina sudah datang. Katanya mau wawancara untuk liputan ‘Pasangan Muda Inspiratif’.”

Nara tertegun. Ah, benar. Wawancara pencitraan. Salah satu bagian dari kontrak pernikahan mereka.

Ia menarik napas panjang, berdiri, dan merapikan rambutnya secepat mungkin.

Ruang tengah apartemen telah diubah menjadi studio kilat. Ada dua jurnalis perempuan, fotografer, dan seorang asisten yang sibuk mengatur pencahayaan. Raydan sudah duduk di sofa, mengenakan kemeja putih bersih dan jam tangan mahal yang entah sejak kapan melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Sayang, sini duduk," ucap Raydan sambil tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip perintah halus daripada ajakan manis.

Nara duduk di sampingnya, menjaga jarak sesuai batas wajar yang bisa ditangkap kamera. Raydan merapat, menggenggam tangannya. Hangat, kokoh, dan... kosong. Tapi di mata orang lain, itu cinta.

"Jadi, bagaimana awal pertemuan kalian?" tanya jurnalis itu.

Raydan dan Nara saling pandang sejenak. Seperti aktor yang saling menunggu giliran dialog.

“Kami bertemu di sebuah acara amal,” jawab Raydan. “Dia berdiri di tengah keramaian, tapi entah kenapa, hanya dia yang terlihat.”

Jurnalis itu tersenyum kagum. “Cinta pada pandangan pertama?”

“Lebih seperti takdir yang menampar,” balas Nara, mengangkat alis sambil tertawa kecil. Raydan ikut tertawa. Tak berlebihan, tapi cukup untuk menyembunyikan kenyataan.

Sesi wawancara berjalan lancar. Mereka bicara soal kecocokan visi hidup, peran perempuan dalam pernikahan, hingga bagaimana mereka membagi waktu antara karier dan cinta. Semua dibalut dengan skrip elegan yang sudah mereka hafal.

Setelah semua tim pamit dan lampu-lampu dimatikan, hening pun kembali menguasai ruangan.

Raydan melepaskan jam tangannya, lalu duduk lagi di sofa. “Kita mulai pintar juga ya, memalsukan kehidupan.”

Nara tak menjawab. Ia hanya menatap jendela, lalu berkata pelan, “Kamu pernah bohong karena ingin melindungi seseorang?”

Raydan menoleh. “Tiap orang punya motif saat berbohong. Kadang demi kebaikan, kadang karena pengecut.”

“Aku gak yakin motifku termasuk yang pertama,” bisik Nara.

“Kamu takut aku tahu rahasiamu?”

Nara mengangguk. Tak ada gunanya menyangkal.

Raydan berdiri, meraih gelas dari meja, lalu melangkah menuju dapur kecil. “Berarti kamu belum percaya sepenuhnya.”

“Bukan soal percaya,” jawab Nara cepat. “Ini soal... aku belum siap jadi orang yang dilihat hanya dari masa lalunya.”

Raydan menatapnya lama. “Oke. Aku tidak akan paksa kamu cerita. Tapi jika masa lalu itu datang menghantam kita, jangan salahkan aku kalau aku ikut terdampak.”

Di hari yang sama, jauh di pusat kota, seorang pria bertubuh kurus duduk di teras sebuah rumah singgah. Namanya tertera di berkas—Alvino Haris. Tangannya gemetar saat membuka rokok yang sudah setengah rusak di kantong kemejanya. Ia menatap layar ponselnya. Tak ada balasan dari Nara.

“Dia gak akan datang,” gumamnya.

“Tapi dia harus tahu kebenarannya. Sebelum orang lain lebih dulu membongkar,” ujar seorang petugas sosial di sampingnya.

Alvino mengangguk pelan. Wajahnya suram. Tapi di balik tatapan kacau itu, ada niat yang tertanam kuat: ia akan bertemu Nara. Bukan hanya untuk meminta maaf.

Tapi untuk memperingatkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 14 – Hati yang Tak Lagi Pura-Pura

    Raydan bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia tidak bergegas membuka laptop, tidak langsung membaca laporan, tidak mencari jadwal meeting yang harus dikejar.Yang ia lakukan: memasak sarapan.Nasi goreng sederhana. Telur mata sapi yang agak gosong di pinggir. Dan teh manis panas yang diseduh terlalu manis karena ia tidak yakin berapa sendok seharusnya.Saat Nara muncul dari balik pintu kamar, rambutnya masih setengah basah, mata masih mengantuk, ia menemukan meja makan yang berbeda dari biasanya. Bukan hanya soal menu, tapi tentang siapa yang menyusunnya. Dan niat di baliknya.“Tumben,” katanya singkat.Raydan menoleh. Ia nyaris terlihat canggung, tapi tetap menjaga gaya tenangnya yang biasa.“Mulai hari ini, aku pikir… aku mau mencoba menjadi suami. Yang beneran.”Nara duduk, mengamati piringnya. “Telurnya gosong.”Raydan tersenyum. “Cinta juga kadang gosong kalau dimasak buru-buru, kan?”Nara tak bisa menahan senyum. “Kamu baru aja nyontek

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 13 – Jejak yang Tak Bisa Dihapus

    Nara tidak tidur malam itu. Setelah Raydan tertidur di sofa, tubuhnya masih setengah basah dan dilingkupi mimpi buruk yang tak bersuara, Nara berjalan pelan ke kamar kerja. Ia duduk di depan laptop dan mengetik satu nama yang sejak beberapa jam terakhir mengendap dalam pikirannya:Aluna Maheswari.Tak banyak hasil yang muncul di mesin pencarian. Tidak ada foto, tidak ada berita besar. Hanya satu tautan menuju blog lama yang tak lagi aktif. Judul terakhirnya bertanggal empat tahun lalu, dengan judul yang menyayat:“Untuk yang Tak Pernah Datang Kembali.”Nara mengeklik.Tulisan di sana adalah catatan kehilangan. Tentang seorang perempuan yang kehilangan bayinya. Tentang laki-laki yang tak bisa ia benci, karena ia terlalu ia cintai. Tentang harapan-harapan yang patah tapi tak pernah ia kutuk.Kalimat terakhirnya membekas tajam di benak Nara.“Jika dia masih hidup, mungkin hari ini dia memanggilmu Ayah. Tapi kamu memilih menjadi asing.”Nara menutup laptop. Udara di ruangan terasa lebih b

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 12 – Tawar-Menawar Takdir

    Gaun putih gading itu melekat sempurna di tubuh Nara, menjuntai anggun hingga lantai. Desainer pribadi keluarga Arsinaga yang memilihkan—katanya, supaya ia “seimbang” dengan Raydan di acara gala amal malam ini. Tapi Nara tahu, yang sesungguhnya diminta bukan hanya keindahan luar—melainkan pencitraan yang nyaris sempurna.Di depan cermin, ia menarik napas. Malam ini, bukan hanya tentang menghadiri acara. Ini tentang mempertahankan posisi, membungkam bisik-bisik yang kini mulai menggerogoti rumah tangganya.Raydan datang beberapa menit sebelum mereka berangkat. Mengenakan setelan gelap klasik, dasi perak, dan aura dingin yang biasa. Tapi saat melihat Nara, ia berhenti sebentar.“Kamu terlihat… luar biasa.”Nara tak menanggapi. “Kita akan main peran malam ini, kan? Ayo kita pastikan panggungnya megah.”Raydan menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Mereka berjalan ke mobil dengan keheningan yang lebih tajam dari percakapan mana pun.—Gedung opera tempat gala berlangsung bagaikan istana

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 11 – Retakan yang Halus

    Nara berdiri di balkon kamarnya, menyandarkan kedua tangan di pagar besi yang mulai berembun karena sisa hujan subuh tadi. Di dalam pikirannya, kata-kata Raydan terus terulang—"Seseorang dari masa laluku yang belum selesai." Dan kini, masa lalu itu punya nama dan wajah: Nadine.Angin berembus pelan, membawa aroma mawar dari taman bawah. Tapi aroma itu tak mampu menenangkan kegundahan dalam dada Nara. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini dibangun dari kesepakatan, bukan cinta. Tapi setelah semua langkah mereka, setelah pelan-pelan mereka membuka ruang kejujuran dan rasa, kenapa bayangan perempuan lain harus muncul saat ia mulai percaya?Raydan masuk ke kamar, tak mengetuk seperti biasanya. Mungkin karena ia tahu tak ada lagi dinding formalitas di antara mereka—yang tersisa hanya diam yang menggantung, seperti benang tipis yang nyaris putus.“Nara…” katanya lirih, mendekat.Nara tak menoleh. “Apa maksudmu belum selesai?”Raydan mendesah, duduk di tepi ranjang. “Nadine… dia dulu tunan

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 10 – Menjadi Kita

    Setelah semua kepergian, yang tersisa hanyalah keheningan. Tapi keheningan kali ini tidak menyakitkan—ia seperti jeda yang dibutuhkan setelah tangis panjang. Nara duduk di kamar, di kursi dekat jendela, menyaksikan hujan tipis menghapus sisa debu di kaca. Di belakangnya, Raydan berdiri tanpa suara, membawa secangkir teh hangat."Masih hangat," katanya, meletakkan cangkir di meja kecil. “Katanya, teh bisa menenangkan detak jantung yang terlalu sibuk berpikir.”Nara menoleh, memberi anggukan kecil. “Terima kasih.”Raydan tak langsung pergi. Ia duduk di karpet, bersandar pada ranjang, sementara hujan menyanyikan lagu tenangnya sendiri.“Dulu,” ujar Raydan tiba-tiba, “aku pikir pernikahan cuma soal kesepakatan dan tanggung jawab. Tapi hari-hari denganmu... ternyata bukan cuma soal itu.”Nara membiarkannya bicara. Ini pertama kalinya Raydan membuka ruang di antara mereka tanpa topeng atau formalitas.“Aku lihat cara kamu menghadapi keluargaku. Cara kamu menyimpan kesedihan tapi tetap berdi

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 9 – Ujian Pertama

    Ruang tamu keluarga Wijaya pagi itu terasa seperti ruang sidang tak resmi. Para kerabat berkumpul—beberapa dengan tatapan tajam, sisanya menyembunyikan bisik-bisik di balik cangkir teh. Nara berdiri tegak di antara mereka, sementara Raydan duduk di sisi lain, diam seperti batu karang yang siap menahan gelombang.“Apa benar lelaki itu datang mencarimu semalam?” tanya Tante Lydia, nada suaranya setajam pisau dapur.Nara menahan napas. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu hari ini akan datang. Tapi tetap saja, ia tidak pernah siap menghadapi pertanyaan yang menggugat integritasnya sebagai seorang istri—meskipun pernikahan itu sendiri dibangun dari skenario yang tak sepenuhnya tulus.“Dia datang tanpa undangan. Dan dia bukan siapa-siapa lagi,” jawab Nara tegas.“Lucu,” sahut seorang sepupu Raydan. “Tapi bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kamu pikir keluarga ini akan diam saja setelah melihatmu menangis semalam?”Nara menoleh pada Raydan. Sekilas, ia mencari sandaran—tanda bahwa dirinya tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status