Home / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 6 – Pertemuan Pertama

Share

Bab 6 – Pertemuan Pertama

Author: Ayla
last update Huling Na-update: 2025-05-28 11:00:47

Udara di ruang tunggu butik haute couture itu mengandung aroma parfum mahal dan tekanan sosial yang tidak terucapkan. Nara duduk di kursi beludru biru tua, menggenggam undangan gala amal berikutnya—acara yang disebut Raydan “lebih strategis dari yang kau kira”, karena dihadiri para pemegang saham dan keluarga elite Jakarta.

“Kita perlu tampil,” katanya semalam. “Dan kamu perlu gaun yang sesuai.”

Sekarang, Nara menunggu sesi fitting-nya sendiri sambil memperhatikan wanita-wanita sosialita yang berlalu-lalang—kulit mereka mulus, kuku mereka terawat, dan tawa mereka terdengar seperti bagian dari simfoni kelas atas. Ia merasa seperti penari latar dalam opera yang tak ia hafal naskahnya.

“Bu Nara?” suara seorang pegawai butik membuyarkan pikirannya. “Kami akan mempersilakan Ibu masuk ke ruang 3 setelah klien sebelumnya selesai.”

Nara mengangguk. Ia melirik jam. Sudah sepuluh menit menunggu.

Dan saat pintu ruang fitting 3 terbuka, seorang wanita melangkah keluar—tinggi, ramping, mengenakan gaun putih satin yang mengalun di tubuhnya seperti kabut. Rambutnya cokelat tua, diikat rapi ke belakang, dan mata almond-nya menatap Nara dengan kejutan kecil yang cepat ia sembunyikan.

Mereka sama-sama membeku sepersekian detik. Lalu wanita itu tersenyum tipis.

“Nara Ayuningtyas,” katanya. “Akhirnya aku bertemu denganmu.”

Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu yang mengambang di antara kata-katanya—seperti jaring tak terlihat.

“Anda siapa?” Nara berdiri, sopan tapi waspada.

Wanita itu mengulurkan tangan. “Nadine Surya. Maafkan aku kalau terlalu langsung. Tapi aku pernah... cukup dekat dengan Raydan.”

Jantung Nara berdetak sedikit lebih cepat. Nama itu—Nadine—adalah desas-desus samar yang ia dengar dari Ayu, dari komentar wartawan gosip, dan dari bisik-bisik yang muncul di pesta gala pertama mereka. Tapi belum pernah muncul langsung di hadapannya—begitu nyata, begitu tak tergoyahkan.

“Aku tahu,” jawab Nara akhirnya, menjabat tangan wanita itu. “Setidaknya, dari cara orang menyebut namamu.”

Nadine tersenyum, kali ini lebih tulus. “Tentu saja. Semua orang senang bercerita. Apalagi kalau tokohnya adalah Raydan Dirgantara.”

Mereka duduk. Entah mengapa, seperti ada magnet yang memaksa mereka tetap berada dalam ruang itu. Nadine tidak buru-buru pergi, dan Nara tidak ingin terlihat seperti yang kalah duluan.

“Kalian sudah menikah dua bulan, ya?” tanya Nadine, suaranya ringan seperti angin sore.

“Ya,” jawab Nara singkat.

“Aku tidak melihat fotomu di media sosial. Jarang sekali muncul.”

“Kami memilih untuk tidak menayangkan segalanya ke publik.”

Nadine menatapnya dalam-dalam, seakan sedang membaca bukan hanya wajah, tapi getaran yang ada di dalamnya.

“Aku mengenal Raydan cukup lama,” katanya pelan. “Ia tidak mudah percaya pada orang. Tapi kalau dia sampai menikah, itu berarti... sesuatu.”

Nara tidak langsung menjawab. Ia tahu setiap kata yang diucapkan Nadine bukan kebetulan. Semuanya terencana, terukur, dan mengandung muatan.

“Sesuatu,” ulang Nara akhirnya, “kadang bukan berarti cinta. Kadang hanya... kebutuhan.”

Nadine mengangkat alis sedikit. “Kamu jujur. Aku suka itu.”

Lalu ia berdiri, mengambil tasnya.

“Satu nasihat,” katanya sebelum pergi. “Raydan punya banyak sisi yang tidak semua orang bisa terima. Kalau kamu hanya memerankan istri, cepat atau lambat kamu akan jatuh—pada kenyataan, atau pada Raydan itu sendiri.”

Langkahnya menjauh. Gaun putihnya menghilang di balik tirai butik.

Malamnya, Nara tidak langsung bicara soal Nadine pada Raydan. Mereka makan malam dalam diam, seperti biasa. Hanya suara sendok dan piring, dan alunan musik jazz dari speaker tersembunyi di langit-langit ruangan.

Baru setelah Raydan meletakkan gelas terakhirnya, Nara membuka suara.

“Aku bertemu Nadine hari ini.”

Raydan menoleh perlahan. “Kamu bicara dengannya?”

“Dia bicara padaku. Aku hanya menjawab.”

Raydan menyesap air putih. “Apa yang dia katakan?”

“Bahwa kamu tidak mudah percaya pada orang. Dan kalau kamu sampai menikah, itu berarti sesuatu.”

Raydan menatap piringnya yang kosong. “Dan kamu percaya dia?”

“Aku percaya bahwa dia masih peduli. Entah karena cinta, atau karena harga diri.”

Raydan terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Aku tidak punya urusan lagi dengan Nadine.”

“Tapi dunia tidak melihatnya seperti itu. Dunia masih mengaitkan kalian.”

“Lalu kamu merasa terganggu?”

Nara menatap Raydan lama. “Bukan karena dia. Tapi karena kita menjalani ini tanpa fondasi. Dan ketika fondasi itu goyah, bahkan angin sepoi-sepoi bisa membuat semuanya runtuh.”

Raydan mengusap pelipisnya. “Kamu terlalu cepat membaca metafora.”

Nara berdiri. “Mungkin karena aku terlalu sering hidup dalam hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika.”

Ia berjalan ke kamarnya. Tapi sebelum menutup pintu, ia menoleh.

“Raydan,” katanya pelan. “Kau bilang kita hanya menjalankan peran. Tapi setiap panggung, cepat atau lambat, akan punya penonton yang jeli. Dan aktor yang lelah.”

Raydan tidak menjawab.

Dan malam itu, lampu di kamar Nara padam lebih cepat dari biasanya—tapi kepalanya justru dipenuhi cahaya, berkilau dari ketidakpastian yang datang dengan senyum seorang wanita bernama Nadine.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 133 – Di Hadapan yang Telah Pergi, Aku Akhirnya Pulang

    Pagi itu mendung menggantung seperti awan-awan tua yang enggan bergerak.Nara menyetir sendiri, tanpa Raydan, tanpa Alana.Hanya satu tujuan: makam ayah.Buku memoarnya ia bawa, dibungkus kain flanel abu-abu.Di dalamnya terselip surat kecil yang belum pernah ia buka—tulisan tangan ayahnya yang ditemukan ibunya di kotak berkas lama.Nara belum pernah ke sana sejak pemakaman.Bukan karena tak peduli, tapi karena belum siap menatap nisan dan mengakui:> “Aku menyalahkanmu terlalu lama.”---Makam itu terletak di bawah pohon kamboja.Tanahnya sudah mulai rata.Batu nisannya sederhana—nama, tanggal, dan doa yang singkat.Nara duduk bersila, meletakkan bukunya pelan.> “Ayah… aku menulis buku.”“Tentang hidup yang ayah tinggalkan. Tentang aku yang belajar bertahan.Tentang cinta yang datang dengan cara yang… aneh.”“Dan aku benci mengakuinya, tapi banyak hal yang kuhadapi ternyata tak jauh berbeda dengan yang ayah alami.”Ia membuka halaman terakhir, dan mulai membacanya pelan.Suaranya pe

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 132 – Sorot Lampu dan Bayangan yang Tetap Tinggal

    Malam premiere berlangsung mewah.Karpet merah.Kilatan kamera.Wartawan berbaris.Para pemain tampil glamor dalam balutan busana rancangan desainer.Poster besar terpampang di pintu bioskop utama, dengan judul yang sama: Pulang Tidak Selalu ke Rumah.Nara berdiri di tengah keramaian itu.Wajahnya tersenyum. Tubuhnya diam.Tapi batinnya bergema: hening, nyaring, sepi, padat.> “Semua ini… terasa asing,” bisiknya pelan.Raydan di sisinya, mengenakan setelan sederhana, menoleh.“Karena ini bukan tentang kita lagi.Ini tentang kisah kita… yang kini dimiliki orang banyak.”Dan memang, saat film diputar dan layar lebar menyala,Nara tidak benar-benar menonton.Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi penonton:mereka tertawa saat adegan manis.Menangis saat adegan pertengkaran.Hening saat adegan Raydan versi layar memeluk Nara versi layar setelah pulang dari Eropa.Tapi tak satu pun dari mereka tahu:betapa nyata rasa takut yang menyelimuti setiap malam Nara selama di benua lain,betapa cang

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 131 – Kata yang Akhirnya Pulang

    Peluncuran buku “Pulang Tidak Selalu ke Rumah” diadakan di sebuah galeri kecil di jantung Jakarta.Dekorasi sederhana. Cahaya hangat.Barisan kursi penuh wajah-wajah penasaran—beberapa pembaca setia blog Nara,beberapa teman komunitas, dan…di baris depan, duduk seseorang yang tak pernah absen dalam proses penulisan: Raydan.Dan di sampingnya, mengenakan dress kuning muda yang dipilihnya sendiri, Alana menggenggam buket kecil.---Nara membuka acara dengan senyum gugup.> “Saat pertama menulis memoar ini, aku tidak tahu apa yang ingin kuceritakan.”“Apakah tentang pernikahan yang tak direncanakan?”“Atau tentang peran yang dipaksa dimainkan sebelum benar-benar siap?”> “Tapi saat menulis bab terakhir, aku sadar…”“Ini bukan buku tentang kegagalan yang dibungkus manis.”“Ini buku tentang kejujuran yang akhirnya berani bicara.”Ia lalu membuka lembar terakhir,yang selama ini hanya ia baca sendiri—hingga malam sebelum acara ini.> “Bab 23 – Orang yang Membuatku Percaya Lagi”> “Namanya

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 130 – Panggung yang Tak Pernah Mereka Minta

    Undangan itu datang lewat email dari universitas ternama.Acara seminar bertajuk “Pernikahan dan Pemulihan: Membangun Kembali Setelah Retak.”Mereka tak pernah mencari sorotan.Tapi kisah mereka—yang tersiar pelan dari mulut ke mulut melalui Rumah Pulang, melalui komunitas kecil, hingga media lokal—membuat nama Nara dan Raydan disebut-sebut sebagai pasangan yang layak bicara.Nara sempat ragu.Bukan karena ia malu, tapi karena ia tahu: bicara tentang masa lalu berarti membuka luka—yang bahkan belum sepenuhnya sembuh.> “Apa kita siap?” tanya Nara.Raydan menatapnya.“Kalau kita tunggu sampai benar-benar siap… mungkin kita enggak akan pernah datang.”---Di atas panggung, dengan mikrofon kecil di dada dan sorotan lampu putih,Nara membuka sesi itu bukan dengan teori. Tapi dengan kejujuran.> “Kami tidak menikah karena cinta.Kami menikah karena situasi. Karena syarat warisan. Karena rasa bersalah.Dan… kami tidak langsung jatuh cinta setelah itu.”> “Fase pertama kami adalah saling men

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 129 – Pohon dari Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Nara mulai menyadari sesuatu berubah di belakang rumah.Bukan secara tiba-tiba. Tapi perlahan, seperti musim yang bergeser diam-diam.Ada deru cangkul. Ada bau tanah basah.Dan ada Raydan—yang setiap pagi, setelah subuh, menyibukkan diri di taman kecil mereka.Nara sempat mengira itu bagian dari hobi barunya.Tapi ternyata lebih dalam dari itu.---Suatu siang, saat ia hendak menjemur cucian, Nara melihat sesuatu yang aneh.Di sudut taman, tersembunyi di balik semak lili paris, ada papan kayu kecil bertuliskan:> “Dari surat yang tak pernah sampai.”Penasaran, ia menyibak daun-daun yang menghalangi, dan menemukan sebuah kotak kayu kecil yang dilapisi pelapis tahan air.Di dalamnya, ada gulungan-gulungan kertas tua.Beberapa sudah lusuh, beberapa masih rapi.Saat dibuka, Nara tercekat.Itu surat.Tulisan tangan.Tulisan tangannya sendiri.---Surat-surat itu adalah draf lama yang ia tulis saat masa awal pernikahan—saat ia tak tahu harus berbicara pada siapa,saat luka terlalu malu unt

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 128 – Di Persimpangan Ambisi dan Akar

    Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status