Sepanjang makan siang sampai perjalanan kembali ke kantor aku memilih untuk diam seribu bahasa. Bukan karena sedang sariawan, tapi malu! Richard menyeretku masuk ke lift eksklusif. Aku tidak kuasa melawan karena tenaga kami tidak sebanding. Sedetik sebelum pintu lift tertutup aku berhasil melarikan diri.
Aku rela berjejalan dengan rombongan karyawan segedung daripada berduaan dengan Richard dalam lift. Dia pasti mau meledekku habis-habisan tanpa ada saksi mata. Ketika pintu lift terbuka di lantai duapuluh Richard terlihat menungguku di meja Bernard. Aku pura-pura tidak melihat dan berjalan lurus masuk ke ruanganku. "Hazel," panggil Richard. "Ya?" Aku tersenyum gelisah. Mau apa dia membuntutiku? "Entah kenapa aku sering mengalami masalah komunikasi denganmu. Ada apa sebenarnya?" "Nggak ada apa-apa." Aku mempertahankan senyum sampai pipiku pegal.Aku semakin mengagumi Richard. Dia masih bertahan menghadapiku yang seperti ini. Beberapa kali aku berusaha melancarkan serangan ke titik vital, dia mementahkannya tanpa terbawa emosi. Katanya mau melakukan sesuatu yang gila? Ini sih tidak gila. "Mikir apa kamu??" Richard menyerang dengan pukulan ke arah wajah. Aku menepisnya dengan dua tangan, karena aku tahu satu tangan tidak akan cukup untuk beradu tenaga dengan Richard. Secepat kilat aku menyilangkan kaki kiri ke belakang dan menyodokkan tumit kananku ke perutnya. Richard terdorong mundur selangkah. Aku mengejar dengan pukulan menggunakan telapak tapi Richard mundur selangkah lagi sehingga seranganku mengenai udara. "Sial," cetusku. "Kenapa? Capek?" tantang Richard. "Enak aja!" Kami bertukar serangan dengan tempo cepat. Lenganku mulai ngilu karena terlalu banyak beradu dengan Richard. Besok pasti muncul
Benar kan. Beberapa lebam muncul di lenganku. Hari ini aku terpaksa memakai kaos turtle neck lengan panjang berwarna hitam. Saat melihat penampilanku di cermin aku senang juga. Sedikit mirip dengan gaya berpakaian almarhum Steve Jobs. "Pagi, Bernard," sapaku riang. "Pagi, Hazel. Wah, kamu terlihat keren sekali hari ini? Ada meeting?" sapa Bernard. "Richard nggak bilang sih, mungkin nggak ada." "Oke. Baguslah. Terlalu banyak meeting membuat pekerjaan tertunda." Bernard tersenyum. Aku langsung menuju ruanganku. Dari jendela kulihat awan mendung bergelayut di ufuk langit. Pertanda mau turun hujan. Semoga aku tidak kehujanan saat pulang nanti. "Pagi, Hazel." Richard masuk ke ruanganku. Matanya memperhatikan lengan bajuku. "Tanganmu nggak apa?" "Nggak, cuma lebam aja." Aku menyeringai. "Coba kulihat." Richard mendekati dan h
Aku heran saat telepon di mejaku berbunyi. Langka sekali. Tanpa banyak berpikir aku mengangkatnya. "Halo?" sapaku. "Masih ingat dengan saya?" tanya sebuah suara berat nan berwibawa. Mana bisa kulupa? Suara itu baru saja berceramah di depanku kemarin sore, berbicara panjang lebar tentang analisanya terhadap perasaanku dan Richard. Abram. "Tentu saja ingat, Pak Abram. Ada keperluan apa dengan saya?" Aku berbicara sesopan jiwa pemberontakku mengijinkan. "Saya mau mengundangmu makan malam bersama, di restoran Diamond." Abram menyebutkan nama sebuah restoran bintang lima. "Baiklah. Jam berapa saya harus tiba?" "Jam lima saya kirim sopir menjemputmu." "Baik, Pak." "Richard tidak tahu masalah ini." Nada suara Abram memberi peringatan. "Oke, saya mengerti." Abram memutus
Richard menungguiku dengan setia. Ekspresinya lumayan keruh sejak tadi siang karena akhirnya aku memberitahu tentang ajakan makan malam Abram. Aku khawatir Richard akan memaksa ikut, atau lebih buruk lagi mengurungku di penthouse. "Kamu nggak berniat aneh-aneh kan?" Aku memastikan. Richard menggeram tidak jelas. "Apa sih? Bicara bahasa manusia dong?" "Kalau mau pergi, ya pergi saja. Aku nggak mencegah." "Benar?" "Besok ceritakan semua obrolan kalian padaku. Atau kalau bisa kamu rekam diam-diam deh." Aku tercengang, memangnya aku ini anggota tim Mission Impossible yang punya peralatan penyadap canggih? "Udah ah. Ngomong melulu nggak kelar-kelar...," gerutuku. Waktunya hampir tiba dan aku merapikan meja. "Oke." Richard masih terlihat suram. Bukannya aku tega tapi janji dengan bos besa
Hari ini aku berusaha fokus pada pekerjaan, yang sangat sulit kulakukan dengan kehadiran Richard di ruanganku. Dia bersikeras duduk di mejaku dengan laptopnya. Aku kesal karena merasa dipojokkan. Aku menggerakkan mouse-ku dengan ribut. "Hazel, tenang sedikit, please? Kepalaku seperti mau pecah mendengar keributanmu. Aku sedang berusaha kerja," keluh Richard. "Di ruangan sendiri pasti lebih tenang," gerutuku. "Aku mau di sini." Richard menunjukkan sisi kepala batunya. "Ya udah, dibiasakan aja." Aku melengos. Ruanganku tidak sempit, peredaran udara pun sangat bagus. Jadi kenapa aku merasa sulit bernafas? Ini pasti gara-gara Richard memepetku. Kenapa sih ini orang? Tidak bisa baca situasi? Kalau seorang wanita bersikap ketus itu tandanya dia minta ditinggalkan sendiri! Dasar lelaki tidak peka! Bagaimana bisa jadi pasangan yang baik? Aku nyaris menampar diriku
Suasana mencekam di kediaman mewah Abram Yilmaz. Richard duduk di sofa ruang tamu berhadapan dengan sang ayah. Mata mereka bertemu. "Ayah, bisakah kamu tidak mengganggu Hazel?" Richard buka suara. "Oh? Gadis kecil itu bercerita apa padamu?" "Semuanya." Abram tertawa kecil melihat putranya yang sedang membela Hazel, "Masih menyangkal perasaanmu padanya?" "Dia bekerja di bawah pimpinanku, aku bertanggungjawab atas kenyamanan dan keamanannya, Ayah," elak Richard. "Kenapa tidak bilang bertanggungjawab atas kebahagiaannya juga?" ejek Abram. "Apa pun yang Ayah pikirkan, mohon jangan bawa-bawa Hazel. Dia seorang desainer yang baik, karena itulah aku mempekerjakannya." "Richard, Ayahmu bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Jika Ibumu masih hidup dia mungkin bisa tertipu, tapi aku tidak. Hidupku sudah melampaui setengah abad, Na
Aku sedang asyik mencari foto-foto gratisan di website saat Richard masuk ke ruanganku. Aku melirik ke arahnya sekilas. Otakku segera memutar ulang percakapan dengan Abram untuk mencegahku bersikap terlalu akrab terhadap Richard. Benar saja. Dia tertegun sesaat karena aku mengabaikan kehadirannya. Hatiku merasa sedih melihat ekspresi Richard. Oke, stop! Apa pun perasaan Richard tidak ada urusannya denganku! Please deh, aku tidak butuh dihina lagi oleh Abram atau makhluk sejenisnya. Level mereka terlalu jauh di atasku. "Kamu mengerjakan apa? Asyik banget kayaknya?" Richard menumpukan satu tangan di mejaku, membuat tubuhnya condong ke arahku. Aku langsung disergap oleh kehangatannya. Aku menggeser mundur kursiku hingga melindas kakinya. Argh! Dejavu! Richard mendelik, "Hazel, bisa nggak kamu bersikap biasa kalau ada aku?" Aku meringis, "Sorry...."
Hari ini hari Sabtu. Nanti sore aku dan Richard akan menghabiskan waktu berdua dalam pesta pernikahan orang yang tidak kukenal sama sekali. Demi mengejar jam empat sore aku kerja ngebut sejak pagi. Aku bahkan lupa waktu. Kalau bukan karena Richard menyeretku lepas dari meja aku pasti tidak makan siang. Tidak kusangka Richard menyeretku ke penthouse. Rupanya Bernard sudah naik duluan. Lelaki paruh baya itu sedang sibuk memanggang ayam di dapur. Aromanya membuat air liurku terbit. "Bekerja keras itu baik, tapi nggak boleh lupa makan," ucap Richard. "Iya, Paman Richard," ledekku. "Apa kamu bilang??" Richard mengernyit. "Paman. Kamu kan lebih tua sepuluh tahun dariku." Aku menahan tawa. Bernard geleng-geleng kepala. Dua bocah ini mulai lagi, batinnya. "Kalau begitu kamu harus sopan sama orang tua." "Nggak ah. Kecuali kamu t