Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore?
"Kok panas ya?" cetusku. "AC-nya dingin kok," jawab Richard. Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja. "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum. "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga. "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes. "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati." "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?" "Nggak kayak begini," gerutuku. "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepatSabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati. Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter. "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu. "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal. "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa." "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku. "Buset, dingin banget!" Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m
Seumur hidupku hingga saat ini tidak ada seorang pun yang curiga pada kacamata bingkai perak yang kupakai. Lensanya cuma plastik biasa tanpa plus, minus, atau silinder. Tidak ada yang tahu kacamataku berfungsi sebagai filter akan penglihatanku. Sampai saat ini cuma Wahyu yang tahu. Makanya dia meminta pertolonganku untuk melihat ketulusan Dion. Entah berkat atau kutukan, sejak kecil aku bisa melihat warna hati seseorang. Dalam penglihatanku warna hati itu seperti sepasang sayap, dan warnanya macam-macam tergantung pada isi hati orang tersebut. Aku bahkan telah belajar menafsirkan warna-warna yang kulihat itu. "Heh, bengong aja!" Wahyu menendang kakiku. Aku meringis, "Ujung sepatu lo keras amat sih??" "Halah, buat lo yang sabuk biru taekwondo tendangan segitu mah nggak ada apa-apanya, Bro!" Wahyu tertawa. "Tetap aja bikin memar," gerutuku sambil mengusap tul
Setelah ancaman resign-ku kemarin Richard tidak lagi bersikap arogan, tapi tetap saja dia membujukku untuk menerima kartu akses ke lantai duapuluh satu. Hanya karena Bernard juga memegang salah satu duplikat kartu lah aku menerimanya. "Hazel, ayo makan siang. Aku mau bicarakan sesuatu denganmu," ajak Richard. "Hah? Memangnya jam berapa...?" gumamku. "Setengah satu." Aku mengernyit, pantas saja perutku terasa lapar. "Aku tunggu di--" "Nggak usah, aku mau ke kantin saja." Aku membetulkan kacamataku yang merosot. "Oke. Sehabis makan siang kita bicara sebentar." Aku mengangguk. Otakku masih melekat di pekerjaan. Richard naik ke atas sementara aku turun ke kantin. Aku berharap masih bisa bertemu Wahyu. "HEEEEEIIIIIII PENGHUNI LANTAI DUAPULUHHH!!!" Aku menutupi wa
Aku memutuskan untuk fokus pada satu perusahaan terlebih dulu daripada memaksakan diri untuk mengerjakan ketiganya sekaligus. Sekarang aku sudah tidak perlu berusaha untuk tidak bertemu Richard, kan? Kuakui, dinding kaca dengan pemandangan langit membuat pikiranku lebih jernih. Gagasan datang dengan cepat dibandingkan ketika aku bekerja di lantai limabelas. Aku bebas memutar lagu apa saja tanpa terganggu oleh celotehan Wahyu. Kadang kalau sudah teramat bosan aku akan mengobrol dengan Bernard. "Oh, jadi hari Minggu kemarin kamu sampai tidak pergi ke pantai saking lelahnya?" kata Bernard. "Betul banget. Biasanya aku bisa nongkrong seharian tuh. Mudah-mudahan Minggu ini bisa pergi." Bernard mengangguk. "Ngomong-ngomong selama ini kamu selalu sendirian di kantor dong? Richard kan sering keluar?" tanyaku penasaran. "Aku sudah terbiasa. Kalau bosan aku tinggal ku
Bernard terkejut melihat wajahku yang sekeruh air kobokan. Dia pasti terheran-heran karena tadi aku keluar dengan wajah cerah, eh satu jam kemudian berubah seratus delapanpuluh derajat. "Hai Bernard..., sudah makan siang...?" tanyaku. "Sudah. Bagaimana di kantin? Aman?" "Hmmm...." gumamku. "Oke." Aku tidak dapat menceritakan obrolanku dengan Wahyu karena akan berdampak bagi banyak orang. Biarlah kusimpan sendiri. Mood-ku untuk bekerja sudah lenyap. Aku merebahkan diri di sofa oranye dan memeluk bantal. Kucoba melupakan obrolan tadi. Percuma! Wajah Daniel terbayang-bayang di pelupuk mataku. Aku ingin sekali memojokkan dan menamparnya bolak-balik dengan sandal jepit yang diolesi cabai rawit. Aku mengendap-endap ke depan, hampir membuat Bernard terkena serangan jantung karena muncul di sampingnya t
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Jiwa petualangku memberontak ingin segera melaju ke pantai. Aku sarapan sekedarnya, roti oles mentega dan segelas besar susu cokelat. Sehabis makan aku cepat-cepat mandi dan berpakaian. Aku ingin waktu berjalan lebih cepat menuju jam delapan. Aku mematut diri di depan cermin. Rambutku kuikat ekor kuda. Pakaianku ringkas berupa kaos putih dan jeans selutut. Sepasang sayap berwarna putih terkembang di punggungku. Aku memakai kacamata dan sayap itu pun lenyap dari pandangan. Betul, seperti itulah cara kerja kacamataku. Dia memfilter penglihatanku. Tidak betah menunggu aku turun ke lobby. Sekarang sudah jam setengah delapan. Semoga Richard datang lebih cepat. Aku nyaris tertidur di sofa saat handphone berdering. Hatiku bersorak kegirangan melihat nama penelepon. Richard! "Halo? Sudah sampai?" "Sudah. Aku di depan gerbang."  
Richard jadi sedikit diam sejak kutolak. Aku pun merasa tidak nyaman memaksanya ngobrol, maka kami berjalan dalam keheningan. Mudah-mudahan tidak mempengaruhi pekerjaan kami. Aku menggamit lengan Richard untuk berbelok. Richard mengikutiku. Bu Ani sudah melambai heboh dari kejauhan. Aku tahu lambaiannya lebih kepada Richard daripada aku. "Heh! Non! Ke mana aja kok baru kelihatan?? Ihhh nongol-nongol bawa bule ganteng! Kenalin dong sama Ibu," cerocos Bu Ani sambil mengedipkan bulumata palsu. Aku menahan tawa, "Apa sih Ibu. Baru juga seminggu nggak kemari." "Nggak penting!" Bu Ani menepuk lenganku keras-keras. "Ini siapa? Kayaknya pernah lihat deh? Pacarnya Non bukan? Gantengnyaaaa kayak Ahmad Albar! Pasti blasteran Timur Tengah! Ibu punya saudara yang kerja di Saudi loh. Katanya mau ajak Ibu main ke sana, tapi sampai sekarang belum kesampean! Kali aja Non nanti ajak Ibu ke sana juga." 
Aku tidak mengerti kenapa orang membuat jargon 'I hate Monday'. Memang apa yang salah dengan hari Senin? Sama saja kan dengan hari-hari yang lain dalam minggu? Dalam kasusku hari Senin ini berbeda karena manusianya. "Serius, aku kegerahan...," gerutuku sambil mengipasi wajah dengan selembar kertas. "Itu masalahmu. AC di ruangan ini sudah cukup dingin," sahut Richard tanpa peduli. Dia tetap duduk mepet di sebelahku. "Aduh, lebih baik biarkan aku selesaikan satu halaman ini, baru nanti sore kita lihat bersama. Bagaimana?" "Aku mau lihat." Aku mengomel tanpa suara. "Apa kamu bilang?" "Nggak." Richard menghela nafas, "Ayo, mulai bekerja." "Ya Tuhan, sejak kapan kamu jadi mandor jaman perbudakan? Ini serius mau ditongkrongin sampai selesai?" "Aku jarang bercanda soal p